Ratri tersenyum tipis. "Tidak apa-apa. Aku juga butuh waktu untuk mencerna semuanya."
Mereka berbicara lama, kali ini tanpa topeng kebahagiaan yang dulu sering mereka pakai. Untuk pertama kalinya, Ratri merasa benar-benar mendengarkan dan didengarkan oleh sahabatnya. Di tengah obrolan itu, Ratri menyadari satu hal: di saat-saat terburuk inilah ia bisa melihat siapa yang benar-benar peduli.
Setelah pertemuan itu, Ratri mulai membuka dirinya kembali. Ia mulai mencari makna di balik badai yang menimpa hidupnya. Ia tahu, semua ini adalah proses untuk menemukan dirinya yang sejati, jauh dari gemerlap dunia yang dulu ia anggap segalanya. Hidupnya kini lebih sederhana, tapi ia mulai menemukan keindahan di balik kesederhanaan itu.
Ratri mulai mengikuti kelas yoga dan meditasi, sesuatu yang dulu ia anggap tidak penting. Di sana, ia belajar tentang ketenangan batin dan penerimaan. Ia juga mulai terlibat dalam kegiatan sosial, membantu orang-orang yang kurang beruntung. Dalam proses itulah, Ratri menemukan makna di balik cobaan hidupnya. Ia belajar bahwa hidup tidak hanya tentang mengumpulkan harta atau mencari kebahagiaan dari luar, tapi tentang menemukan kedamaian di dalam diri sendiri.
Badai hidup Ratri belum sepenuhnya reda. Namun, ia kini mampu melihat pelangi yang mulai muncul di ufuk kehidupannya. Tuhan memang tidak pernah menjanjikan langit yang selalu biru, tapi Ratri tahu bahwa setiap badai pasti berlalu, dan di balik setiap air mata pasti ada senyum yang menunggu.
Sambil menatap senja yang mulai memerah di cakrawala, Ratri tersenyum. Hidup ini memang hanya singgah sebentar untuk minum, "bebasan mung mampir ngombe," Â tapi ia berjanji pada dirinya sendiri, bahwa selama ia masih di sini, ia akan membuat hidupnya berharga.*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H