OLEH: Khoeri Abdul Muid
Suara debur ombak terdengar samar-samar dari kejauhan, seolah menenangkan hati yang tengah bergolak. Di tepi pantai itu, Ratri duduk memeluk lututnya, menatap cakrawala yang semakin buram. Dalam hatinya, badai berkecamuk. Seumur hidupnya, ia tak pernah membayangkan hidupnya akan hancur dalam sekejap. Suaminya, Bayu, yang selama ini dianggapnya sebagai tempat bersandar, tiba-tiba pergi meninggalkannya untuk perempuan lain.
"Kenapa harus aku?" bisiknya pada angin yang berhembus lembut, namun jawabannya hanya keheningan yang menyakitkan.
Hidup Ratri dulu terasa sempurna. Bayu adalah seorang pengusaha sukses, dan mereka hidup dalam kemewahan. Ketika uang mengalir dengan mudah, sahabat dan keluarga selalu berada di sekeliling mereka. Pesta-pesta mewah, liburan ke luar negeri, dan hadiah-hadiah mahal selalu menjadi bagian dari hidup mereka. Namun sekarang, semua itu lenyap. Perusahaan Bayu bangkrut, dan dalam kekacauan itulah ia bertemu dengan perempuan lain yang dianggapnya sebagai pelarian.
Pacobaning urip kuwi darbe wirasa --- setiap cobaan dalam hidup pasti punya makna, pikir Ratri, mengingat nasihat almarhum ibunya. Namun, bagaimana ia bisa menemukan makna di tengah kehancuran ini? Setiap harinya, ia hanya merasa dikhianati, ditinggalkan, dan diabaikan.
Suara dering telepon memecah lamunannya. Ia menatap layar ponselnya; nama sahabatnya, Rina, muncul di sana. Namun Ratri hanya menatap telepon itu, ragu untuk mengangkat. Sebelum badai menghantam, Rina adalah salah satu orang yang selalu ada di sisinya, menikmati kemewahan hidup. Namun kini, ketika keadaan berubah, Rina perlahan menjauh. Mungkin ia tidak tahu bagaimana menghadapi Ratri yang kini terpuruk. Mungkin, seperti banyak teman lainnya, Rina hanya datang saat hidupnya gemerlap.
Ratri mengabaikan panggilan itu. Ia tahu, badai ini bukan hanya tentang kehilangan suaminya, tapi juga tentang kesepian yang perlahan merayap ke dalam hidupnya. Teman-teman yang dulu selalu ada, kini satu per satu menghilang. Mungkin benar, kita harus selalu eling lan waspada (ingat dan waspada) dalam segala kondisi --- saat sedang di puncak, banyak orang yang akan mendekat, tapi saat jatuh, kita baru tahu siapa yang setia.
Malam itu, di rumah yang kini terasa kosong, Ratri merenung. Di masa jayanya, ia terlalu sibuk menikmati kemewahan hidup tanpa menyadari banyak hal berharga yang ia lewatkan. Waktu bersama keluarganya, waktu untuk introspeksi, bahkan waktu untuk sekadar menghargai orang-orang yang tulus di sekitarnya. Semua terasa sia-sia sekarang.
Tuhan memang tidak pernah menjanjikan bahwa langit selalu biru, pikirnya. Namun, bukankah setiap badai pasti membawa pelangi? Ratri menggenggam tangan erat, bertekad untuk tidak terus-menerus terperangkap dalam kesedihan. Ia tahu, pelangi tidak akan muncul jika ia terus menutup hatinya.
Keesokan harinya, Ratri memutuskan untuk menemui Rina. Mereka duduk di sebuah kafe kecil yang jauh dari kesan mewah, jauh dari tempat-tempat yang dulu sering mereka kunjungi. Rina tampak canggung, mungkin merasa bersalah karena lama tidak menghubungi.
"Maaf, Rat," kata Rina akhirnya. "Aku... aku nggak tahu bagaimana harus bersikap setelah semua yang terjadi."
Ratri tersenyum tipis. "Tidak apa-apa. Aku juga butuh waktu untuk mencerna semuanya."
Mereka berbicara lama, kali ini tanpa topeng kebahagiaan yang dulu sering mereka pakai. Untuk pertama kalinya, Ratri merasa benar-benar mendengarkan dan didengarkan oleh sahabatnya. Di tengah obrolan itu, Ratri menyadari satu hal: di saat-saat terburuk inilah ia bisa melihat siapa yang benar-benar peduli.
Setelah pertemuan itu, Ratri mulai membuka dirinya kembali. Ia mulai mencari makna di balik badai yang menimpa hidupnya. Ia tahu, semua ini adalah proses untuk menemukan dirinya yang sejati, jauh dari gemerlap dunia yang dulu ia anggap segalanya. Hidupnya kini lebih sederhana, tapi ia mulai menemukan keindahan di balik kesederhanaan itu.
Ratri mulai mengikuti kelas yoga dan meditasi, sesuatu yang dulu ia anggap tidak penting. Di sana, ia belajar tentang ketenangan batin dan penerimaan. Ia juga mulai terlibat dalam kegiatan sosial, membantu orang-orang yang kurang beruntung. Dalam proses itulah, Ratri menemukan makna di balik cobaan hidupnya. Ia belajar bahwa hidup tidak hanya tentang mengumpulkan harta atau mencari kebahagiaan dari luar, tapi tentang menemukan kedamaian di dalam diri sendiri.
Badai hidup Ratri belum sepenuhnya reda. Namun, ia kini mampu melihat pelangi yang mulai muncul di ufuk kehidupannya. Tuhan memang tidak pernah menjanjikan langit yang selalu biru, tapi Ratri tahu bahwa setiap badai pasti berlalu, dan di balik setiap air mata pasti ada senyum yang menunggu.
Sambil menatap senja yang mulai memerah di cakrawala, Ratri tersenyum. Hidup ini memang hanya singgah sebentar untuk minum, "bebasan mung mampir ngombe," Â tapi ia berjanji pada dirinya sendiri, bahwa selama ia masih di sini, ia akan membuat hidupnya berharga.*
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI