Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

REKTOR sanggar literasi CSP [Cah_Sor_Pring]. REDAKTUR penerbit buku ber-ISBN dan mitra jurnal ilmiah terakreditasi SINTA: Media Didaktik Indonesia [MDI]. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Cerpen] Masikhu Dajjal

22 September 2024   14:10 Diperbarui: 22 September 2024   14:11 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Setahun yang lalu ---Rofiq, teman kami yang paling aneh, membuat sebuah postingan yang meresahkan seluruh lingkaran diskusi kami. Postingan itu menceritakan tentang sebuah pulau misterius di tengah Samudra Hindia, di sisi selatan semenanjung Arab. Pulau itu, katanya, menyimpan rahasia terbesar umat manusia---tempat terpasungnya Masikhu Dajjal, si Anti-Kristus. "Ini bukan legenda," tulisnya di akhir postingan, membuat darah kami berdesir. "Ini kenyataan yang akan segera tiba."

Tak butuh waktu lama bagi diskusi itu untuk berubah menjadi medan tempur. Syam, seorang ateis skeptis, adalah yang paling keras menolak. "Kau gila, Rofiq," katanya saat kami berkumpul dalam sebuah diskusi daring yang diikuti hampir seratus orang. "Ini semua omong kosong! Tidak ada yang namanya Dajjal, pulau terkutuk, atau takdir apokaliptik. Ini semua hanyalah cerita lama untuk menakut-nakuti orang bodoh!"

Rofiq tersenyum tipis. "Syam, kau bicara seolah kau tahu segalanya. Tapi ada hal-hal di dunia ini yang lebih besar dari apa yang bisa kau pahami."

"Seperti apa? Shamiri? Musa palsu yang terpasung di sebuah biara tua?" Syam mencemooh tanpa ampun.

Rofiq menatap Syam dengan mata yang menyiratkan kelelahan yang mendalam. "Kau tidak akan mengerti sampai kau melihatnya sendiri."

Hari demi hari, diskusi kami semakin memanas.

Setiap kali topik itu muncul, Rofiq dan Syam berseteru. Rofiq terus menegaskan bahwa dia memiliki sumber kredibel---hadits dari Ibn Majjah---yang menyebutkan bahwa Tamim ad-Dari, seorang pelaut Kristen, pernah menemukan Dajjal yang terpasung di pulau tersebut pada masa hidup Nabi Muhammad SAW. Syam, tentu saja, tidak percaya.

"Apa buktimu? Semuanya hanya kisah takhayul!" Syam berteriak pada suatu malam. "Kau berbicara seolah tahu rahasia alam semesta!"

Rofiq menatapnya dalam diam, lalu dengan suara rendah yang penuh keyakinan berkata, "Namanya Musa Shamiri, bukan Nabi Musa. Dan dia sudah terpasung sejak zaman yang tidak bisa kita bayangkan. Tapi rantainya semakin lemah."

"Shamiri?" Syam semakin marah. "Kau bahkan tidak bisa membuktikan itu benar. Siapa yang memasungnya? Dan untuk apa?"

Rofiq tersenyum pahit. "Waktu akan menunjukkan, Syam. Kau akan tahu. Tapi mungkin saat itu, sudah terlambat."

Konflik pun semakin meledak.

Dalam waktu singkat, berita tentang diskusi kami menyebar ke luar forum, menarik lebih banyak perhatian. Orang-orang mulai terpecah antara yang percaya pada kisah Rofiq dan yang berdiri di sisi Syam. Grup kami terpecah menjadi dua kubu, dan atmosfer yang dulu hangat kini dipenuhi ketegangan. Setiap diskusi berubah menjadi perdebatan sengit, hingga akhirnya Syam tak bisa lagi menahan emosinya.

"Kau tahu apa, Rofiq? Aku akan membuktikan bahwa kau salah! Aku akan pergi ke pulau itu, dan aku akan tunjukkan pada semua orang bahwa cerita gilamu tidak ada artinya!"

Itu adalah momen yang menentukan. Semua orang terdiam. Bahkan aku sendiri tak percaya pada apa yang baru saja didengar. Pergi ke pulau itu? Bukankah itu hanya legenda?

Rofiq, yang biasanya tenang, kini tampak terkejut. "Syam, jangan lakukan itu. Kau tidak tahu apa yang akan kau hadapi di sana."

Syam mengabaikannya. Dia sudah mengambil keputusan. Dalam hitungan minggu, Syam benar-benar memulai perjalanan gilanya. Dia menyiapkan segala sesuatunya dengan detail, dari peta laut hingga informasi navigasi yang diperoleh dari sumber-sumber aneh di internet. Semua orang mencoba mencegahnya, tapi tekadnya sudah bulat.

Dan kemudian, Syam menghilang.

Seminggu berlalu tanpa kabar dari Syam. Dua minggu. Sebulan.

Kekhawatiran mulai merayapi setiap percakapan. Kami tidak tahu apakah Syam benar-benar pergi ke pulau itu atau hanya menghilang karena marah. Tapi kemudian, sebuah pesan aneh muncul di ponselku, berasal dari nomor yang tak dikenal. "Aku di pulau itu. Dia nyata. Segera."

Nomor itu milik Syam.

Aku segera menghubungi Rofiq. Dia mendengar cerita itu dengan wajah dingin, meski ada sedikit kegelisahan di matanya. "Syam sudah pergi terlalu jauh," katanya pelan. "Aku sudah memperingatkan dia."

"Apa yang sebenarnya terjadi, Rofiq?" tanyaku putus asa. "Apa ini semua nyata?"

Rofiq menatapku tajam. "Kau mau tahu kebenarannya, Naufal? Kebenaran yang sebenarnya?"

Aku mengangguk.

"Shamiri adalah Musa yang lain, bukan Nabi Musa, tapi seseorang dari suku yang berbeda, suku yang dibentuk dari kebencian dan pengkhianatan. Ia terkutuk oleh para Nabi sendiri, dipasung di pulau itu sejak ribuan tahun lalu. Tapi rantainya melemah setiap abad yang berlalu, dan sekarang, dia hampir bebas."

Aku menggigil. "Dan Syam?"

"Jika dia sudah menemui Shamiri, maka dia mungkin tidak akan pernah kembali dengan cara yang sama seperti sebelumnya."

Malam itu aku tidak bisa tidur. Pikiran tentang Syam dan Shamiri menghantuiku. Aku tahu aku harus melakukan sesuatu, tapi apa? Mengapa aku terlibat dalam semua ini?

Seminggu setelah pesan itu, aku membuat keputusan bodoh.

Aku memutuskan untuk pergi ke pulau itu.

Perjalanan panjang di tengah samudra menguji ketahanan mental dan fisikku. Aku tak yakin apa yang akan kutemui di sana, tetapi ketakutan mendorongku maju. Ketika akhirnya pulau itu terlihat di cakrawala, aku merasa napasku berhenti. Pulau itu seperti bangkit dari kabut gelap yang menyelimuti samudra, menunggu untuk menelan siapa pun yang berani mendekatinya.

Saat menjejakkan kaki di pantai, aku melihat reruntuhan biara kuno, sama seperti yang Rofiq ceritakan. Di dalamnya, di antara batu-batu berlumut, aku menemukan Syam. Dia berdiri diam, matanya kosong, seolah jiwanya telah diambil.

"Syam!" teriakku. Tapi dia tidak menjawab. Hanya berdiri di sana, memandang sesuatu di depannya.

Lalu aku melihatnya. Sosok itu---terikat dengan rantai besar, tubuhnya setengah tertutup bayangan. Shamiri.

Mataku membelalak. Dia nyata.

Sosok itu menatapku dengan senyum licik. "Selamat datang, Naufal. Kau datang untuk menyaksikan akhir dunia?"

Syam, dengan suara yang bukan miliknya, berkata, "Dia akan segera bebas. Dan ketika itu terjadi, semuanya akan berubah."

Aku tak mampu bergerak, napasku tercekat oleh rasa takut. Shamiri terkekeh pelan, suara tawa yang menggema di dalam biara tua itu.

Aku menyadari bahwa dunia yang kukenal... sudah berakhir.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun