Supitnya berada di Mataraman Margerejo dan Pakuwon Juwana. Sementara sengatnya ada di Cengkalsewu Sukalila yang dipimpin langsung oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma.Â
Maka Adipati Jayakusuma dengan gagahnya menjemputnya ke Cengkalsewu.
Nasib! Adipati Jayakusuma yang sedang ‘rolasan’ (istirahat) dibokong, ditombak oleh Nayadarma, abdi Sultan Agung Hanyakrakusuma ---suatu pelanggaran berat atas hukum perang.Â
Maka Tiguna dan Anggajaya berjibaku menyelamatkan beliau yang sedang terluka parah melalui jalur tikus. Diantaranya perjalanan darurat itu meninggalkan jejak ‘Desa Bogorame.
Adipati Jayakusuma yang disandikan sebagai Penggedhe Pati agar tidak ketahuan musuh itu dirawat sementara di desa Kuryo.Â
Tak disangka. Ketika Mumpangati mengetahui luka Adipati Jayakusuma yang demikian parahnya. Ia terkejut hingga tewas. Begitupun, entah kenapa, bagaikan Tiguna sedang menyempurnakan 7 syarat Ki Mundri yang cinta anak istri tidak berubah saja, ia mendadak tewas pula.Â
Sehingga meninggalkan jejak ‘Punden Mbah Sirna’, ---‘Sirna’, suatu gelar spontan dari ummat yang dalam khasanah makrifat merupakan derajad tertinggi. Karena dengan derajad sirna (fana) seseorang ‘bertemu’ Tuhan sebagai puncak nikmat segala nikmat.
Selanjutnya Adipati Jayakusuma dibawa ke keraton Pati dan dirawat tabib spesialnya  namun gagal dan gugur.
Prajurit Mataram menjarah Pati. Merampas harta benda juga wanita. Termasuk di dalamnya Raden Ayu Retnasari.Â
Dan, istri mendiang Adipati Jayakusuma itu berkesempatan membeberkan detail adu domba Tumenggung Endranata. Maka Sultan Agung Hanyakrakusuma menyesal. Dipidana matilah Tumenggung Endranata.Â
Sementara Anggajaya di Pati dan Tumenggung Alap Alap si panglima perang Mataram yang menjadi saksi dari peristiwa-peristiwa mencengangkan itu pun masing-masing mengambil hikmah ‘emas’ darinya.