Sejenak kemudian, Permaisuri Sepuh Ajengastuti perlahan-lahan berbalik kanan. Seperti teringat masa lalu yang selama ini dipendamnya dalam-dalam.
“Lalu, siapa Ayahanda saya, Ibu?... Siapa?!...”.
“Jangan salah paham ya, Nak Basoko… Terpaksa saya harus membuka rahasia ini. rahasia yang sudah hampir setengah abad saya simpan rapat-rapat…”.
Permaisuri Sepuh Ajengastuti terhenti sejenak, kemudian…
“Sesungguhnya, sesungguhnya… dirimu itu putra Tumenggung Bagaswaras, Nak Basoko…!”.
“Tumenggung Bagaswaras?!!”, Pangeran Basoko terkejut minta ampun.
“Lalu, sekarang di mana Ayahanda Tumenggung Bagaswaras itu, Ibu?...”.
Permaisuri Sepuh Ajengastuti justru menangis pilu.
“Anakku Basoko… Bagai tersayat-sayat hatiku, jika Ibu teringat kejadian masa lalu itu, Anakku… Ibu teramat menyesali. Karena Ibu merasa ikut berdosa besar… Padahal sejatinya Ibu tahu bahwa kesengsaraan dan kebahagiaan itu seperti roda gerobag yang selalu ikut kemana saja arah sapi yang menariknya…. Kesengsaraan bakal timbul oleh adanya kebahagiaan…”.
“Aduh, Ibu Ajengastuti… Ibu jangan menambah bingung pikiran saya, Ibu… Yang saya butuhkan itu hanya keterangan Ibu, bab Ayahanda sejati, Ayah Tumenggung Bagaswaras… Tapi Ibu kok malah menangis…”.
“Anakku Basoko… Ketika kamu masih berada di dalam kandungan, Ayahandamu Tumenggung Bagaswaras dibunuh oleh Prabu Mengkuwaseso… Hanya karena Prabu Mengkuwaseso ingin mengambil istri perempuan yang wjudnya seperti Ibumu, ya aku ini, Nak…!”.