“Anakku, Basoko… Kok durhaka kamu, hmm?! Berani dengan Ayahandamu… Oh… Anakku…. Ingatlah pada nasehat-nasehat Ibu, to… Rela jika kehilangan, menerima kalau sakit, dan iklas bila menghadapi kenyataan…”.
“Ibu…! Bagaimana dalam keadaan yang demikian, Ibu malah ikut memojokkan saya… Seharusnya sedari tadi, Ibu harus bicara, mengingatkan Ayahanda Prabu Mengkuwaseso, dari kesalahannya, Ibu…”.
Melihat Permaisuri Sepuh Ajengastuti dibantah, Prabu Sepuh Mengkuwaseso memutus ocehan Pangeran Baskoro.
“Cukup…! Baskoro… Dengan Ibumu saja kamu tidak punya rasa takut dan kasih, tidak punya sopan-santu. Juga dengan saya… Apalagi kepada rakyat kecil di Pendhawan. Yang sudah pasti bakal kamu sepelekan dan kamu bikin sewenang-wenang… Maka dari itu, Basoko, kamu tidak saya beri wewenang menjadi raja Pandhawan, Basoko… Dan, mawas diri lah mawas diri lah kamu, Basoko…”.
“Ya, ya, ya kalau begitu…. Sudah!!!”
Pangeran Basoko menarik diri penghadapannya dengan terlebih dulu menyempatkan menatap sinis Prabu Sancoyo. Kemudian berbalik untuk meninggalkan pendapa.
“Aduh Kangmas Mengkuwaseso… Bagaimana ini, Nanda Basoko?!, ratap Permaisuri Sepuh Ajengastuti kepada Prabu Sepuh Mengkuwaseso, dan berlanjut kepada Prabu Sancoyo.
“Oh Anak Prabu Sancoyo… Jangan salah paham ya, Anak Prabu… Saudaramu ya kakakmu Basoko sudah berani meninggalkan sopan santun”.
“Sudah, sudah Ibu… Namanya orang sedang terbakar amarah ya memang demikian. Suka lupa aturan…”, tanggap tenang Prabu Sancoyo kepada Ibu Permaisuri Sepuh Ajengastuti.
Dan, Prabu Sancoyo mulai berkonsentrasi memikirkan kerajaan lebih lanjut dengan memberikan perintah pertama kepada Patih Wiro.
“Paman Patih Wiro…”.