Sehingga kalaupun harus ada UKG kiranya perlu dipikirkan bagaimana meminimalisir nuansa tumpang-tindih tersebut.
Ketiga, legalitas dan legitimasi UKG yang didiklirkan melalui Permendikbud 57/2012 tentang UKG itu juga masih layak dipertanyakan. Lantaran di dalam UU 20/2003 tentang Sisdiknas dan UU 14/2005 tentang Guru dan Dosen hingga peraturan pelaksana UU tersebut, yakni PP 74/2008 tentang Guru yang kesemua itu diklaim sebagai dasar hukumnya, ternyata tak ada 1pasalpun yang memerintahkan UKG. Melainkan hanya perintah pembinaan dan pengembangan profesi guru secara berkelanjutan.
Dan, kalaupun berdalih demi pembinaan itu lalu pemerintah butuh pemetaan maka system perpangkatan dan penggolongan guru adalah peta kompetensi guru yang komprehensif dan benderang. Kenapa tidak itu saja yang digunakan?
Sebab pada dasarnya system pangkat/golongan adalah refleksi dari prestasi dan dedikasi yang mencerminkan pula penguasaan dan penerapan kompetensi pada UKG, juga pada PKG.
Tanpa menutup mata. Kalaupun memang dirasa masih ada masalah pada penguasaan kompetensi keguruan pada guru-guru kita, mestinya yang pertama-tama perlu dibenahi adalah LPTK-nya. Â Dan, bila pula ada problem pada hal pemetaan kompetensi guru melalui pangkat/golongan dan masa kerja, maka yang perlu dievaluasi adalah system kenaikan pangkatnya. Itu saja.
Ketiadaan perintah eksplisit UKG oleh UU ataupun PP pada satu sisi dan pada sisi lain justru Peraturan Menterinya yang mengeksplorasi mengadakan UKG tersebut, menurut Edy Gurning, Pengacara LBH Jakarta, ialah sebagai sesuatu yang rawan menurut kacamata hukum (kabar24.bisnis.com 01:15 1 Desember 2015).
Move On
Beberapa kritik dan efek negatife UKG, termasuk fenomena UKG-phobia tersebut pastinya pula ada sisi positifnya. Paling tidak UKG dapat difungsikan sebagai stimulus bagi guru agar melakukan move on atau moving on, lepas bergerak dari kejumudan (zona nyaman) menuju zona learning (belajar) tentu dalam konteks life long education.
Dan, memasuki zona learning bagi guru dengan tantangan yang secara kwantitatif maupun kwalitatif semakin meningkat tersebut pada satu sisi dan keterbatasan waktu karena juga harus bertatap muka dengan para siswa maka tiada lain dibutuhkan trik yang relative lebih mudah, murah, cepat dan sukses.
Dan, trik itu menurut pengalaman saya adalah dengan beraktifitas ngeblog. Coba bandingkan saja dengan belajar cara manual dengan materi yang macam-macam dan seabrek-abrek, yakni dengan mencari, meminjam atau membeli buku, Â baru kemudian membacanya. Rempong, khan (?).