Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

REKTOR sanggar literasi CSP [Cah_Sor_Pring]. REDAKTUR penerbit buku ber-ISBN dan mitra jurnal ilmiah terakreditasi SINTA: Media Didaktik Indonesia [MDI]. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Gara-gara UKG Guru Move-On hingga Ngompasiana

18 November 2024   05:47 Diperbarui: 18 November 2024   07:35 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Pada 9 s.d. 27 November 2015  Kemendikbud cq Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) ---yang notabene rumah sekaligus bapak dari para guru ini, mengadakan program yang disebut dengan Uji Kompetensi Guru (UKG) secara manual dan online. Bagi peserta UKG online, begitu selesai, maka ia langsung mengerti nilainya. Lulus atau tidak lulus. (Tahun ini KKM-nya 5,5).

Yup. UKG 2015 bukanlah yang pertama dan maunya bukan yang terakhir. Sejak 2012 UKG sudah setidaknya 2 kali diadakan. Namun hingga disusul oleh UKG 2015 ini praktis tidak ada tindaklanjutnya apa-apa. Bahkan disinyalir hasil UKG yang katanya rata-rata nilainya hanya 4,7 itu menjadi bahan ledekan beberapa pihak saja.

 Karakteristik UKG 2015 

Dari sisi  materi, meski UKG 2015 ini hanya menguji 2 dari 4 kompetensi keguruan, yakni pedagogik dan professional, tetapi cakupan aspek yang diujikan terasa luas dan padat-sesak (masif). Banyak yang mampu mengerjakan tapi tidak sedikit juga yang kewalahan.

Sebagai contoh, pada UKG SD Kelas Atas yang jumlah soalnya hanya 80 tetapi indikator materinya mencapai 400-an. Itupun merupakan indikator longgar (belum rigid operasional) yang masing-masing masih bisa dikembangkan ke dalam puluhan soal lagi.

Kemudian, UKG 2015 juga dilakukan for all. Baik bagi guru PNS maupun yang non-PNS. Mulai dari guru biasa hingga guru yang diberi tugas tambahan sebagai Kepala Sekolah dan yang diberi jabatan sebagai Pengawas.

Tercatat bahwa untuk guru Kemendikbud ada tiga juta lebih (3.015.315 orang). Dan, diwartakan UKG untuk guru-guru non Kemendikbud akan segera menyusul. Bahkan, Uji Kompetensi Profesi semacam UKG ini juga akan diberlakukan untuk profesi-profesi lain seperti dokter, pilot, akuntan dan seterusnya.

Di samping itu, UKG 2015 yang mengkorelasi dan mengintegrasikan hasilnya dengan program Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) dan Penilaian Kinerja Guru (PKG) sebagai syarat kenaikan pangkat (juncto Permen PAN-RB 16/2009) katanya juga akan ditidaklanjuti secara lebih serius.

Dan, oleh karena itu, karakter UKG 2015 yang relative masif, massal dan garang tersebut berdampak pada timbulnya fenomena semacam UKG-phobia di kalangan guru ---mungkin tepatnya: dalam tataran gejala. Baik pada masa sebelum maupun pasca-UKG, khususnya bagi guru-guru senior (sepuh) dan guru-guru yang pointnya rendah. Terlebih lagi, setelah dipublikasikannya rencana strategis Dirjen GTK, yang mengobsesikan KKM UKG tahun depan (2019) adalah 8,0 (jpnn).

Ketika hari ketiga UKG 2015 sedang berlangsung saja diberitakan bahwa UKG telah membuat sebagian guru stress (news.okezone.com Rabu, 11 November 2015 - 15:06 WIB). Stress tersebut secara psikologis mungkin saja wajar karena ada tekanan untuk hasil yang baik. Karena pula sempat tersiar kabar, hasil UKG berdampak terhadap TPG (suaramerdeka.com dalam www.pendidikanguru.com  01:02 30 November 2015) ---meski berulang Dirjen GTK menegaskan bahwa UKG 2015 untuk pemetaan dalam rangka memperoleh baseline kompetensi guru, bukan untuk pemotongan TPG (www.solopos.com dalam www.pendidikanguru.com. ---00:51 1 Desember 2015).

Namun adalah tidak lucu apabila karena benar-benar menjadi agenda tahunan dan target KKM-nya yang begitu melompat-lompat tinggi maka kemudian fokus guru sepanjang tahun tersita hanya mengarah pada UKG unsich. Dan, proses belajar mengajarpun sangat mungkin terganggu.

Mungkin saja benar pengandaian Mendikbud Anies Baswedan terhadap UKG sebagaimana orang bercermin saja karena katanya, pada dasarnya UKG ekuivalen belaka dengan self assesment (penilaian diri) (news.detik.com 29/11/15). Tapi, toh, kalaupun bercermin, pastinya ada beban mental bagi guru untuk selalu meng-makeup diri.

Masalahanya adalah bagaimana menyiasati agar proses berlanjut make-over itu zero negative effect terhadap proses belajar mengajar siswa?

 

Kritik UKG 2015

Siasat menjadi guru pembelajar baik ada ataupun tidak ada UKG tetap saja penting dan perlu. Tapi kalaupun makhluk UKG itu harus selalu ada, maka belajar dari UKG 2015 yang baru lalu, dalam beberapa perspektif ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.

Pertama, UKG 2015 merupakan tes yang masih perlu disempurnakan. Uji validitas dan reliabilitasnya masih terasa diperdebatkan. Misalnya, masalah tingkat kesulitan antar paket soal masih ada yang dirasa tidak berimbang.

Kemudian, jadwal UKG yang tidak bersamaan antar sesama bidang juga dipandang tidak adil. Karena akan lebih menguntungkan peserta yang berjadwal belakangan oleh sebab disamping memiliki waktu belajar yang relative panjang, juga info-info (baca: rembesan) soal sudah berseliweran.

Kedua, UKG khususnya UKG 2015 seolah sebagai bentuk program Kemendikbud RI yang mubadzir karena tumpang-tindih dengan program Kemendikbud RI yang lainnya. UKG sepertinya menafikan atau kurang mempercayai proses perolehan dan keberadaan ijazah sarjana kependidikan dan juga sertifikat pendidik para guru cq Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang notabene adalah program Kemendikbud RI juga.

UKG ---tepatnya uji kompetensi keguruan (penguasaan kompetensi profesional dan pedagogik dalam ranah kognitif) pada dasarnya telah lunas dilaksanakan ketika calon guru duduk dibangku kuliah di LPTK, yang kemudian dimatangkan lagi ketika menjadi guru oleh proses sertifikasi.

Sehingga kalaupun harus ada UKG kiranya perlu dipikirkan bagaimana meminimalisir nuansa tumpang-tindih tersebut.

Ketiga, legalitas dan legitimasi UKG yang didiklirkan melalui Permendikbud 57/2012 tentang UKG itu juga masih layak dipertanyakan. Lantaran di dalam UU 20/2003 tentang Sisdiknas dan UU 14/2005 tentang Guru dan Dosen hingga peraturan pelaksana UU tersebut, yakni PP 74/2008 tentang Guru yang kesemua itu diklaim sebagai dasar hukumnya, ternyata tak ada 1pasalpun yang memerintahkan UKG. Melainkan hanya perintah pembinaan dan pengembangan profesi guru secara berkelanjutan.

Dan, kalaupun berdalih demi pembinaan itu lalu pemerintah butuh pemetaan maka system perpangkatan dan penggolongan guru adalah peta kompetensi guru yang komprehensif dan benderang. Kenapa tidak itu saja yang digunakan?

Sebab pada dasarnya system pangkat/golongan adalah refleksi dari prestasi dan dedikasi yang mencerminkan pula penguasaan dan penerapan kompetensi pada UKG, juga pada PKG.

Tanpa menutup mata. Kalaupun memang dirasa masih ada masalah pada penguasaan kompetensi keguruan pada guru-guru kita, mestinya yang pertama-tama perlu dibenahi adalah LPTK-nya.  Dan, bila pula ada problem pada hal pemetaan kompetensi guru melalui pangkat/golongan dan masa kerja, maka yang perlu dievaluasi adalah system kenaikan pangkatnya. Itu saja.

Ketiadaan perintah eksplisit UKG oleh UU ataupun PP pada satu sisi dan pada sisi lain justru Peraturan Menterinya yang mengeksplorasi mengadakan UKG tersebut, menurut Edy Gurning, Pengacara LBH Jakarta, ialah sebagai sesuatu yang rawan menurut kacamata hukum (kabar24.bisnis.com 01:15 1 Desember 2015).

Dok lovethispic.com
Dok lovethispic.com

Move On

Beberapa kritik dan efek negatife UKG, termasuk fenomena UKG-phobia tersebut pastinya pula ada sisi positifnya. Paling tidak UKG dapat difungsikan sebagai stimulus bagi guru agar melakukan move on atau moving on, lepas bergerak dari kejumudan (zona nyaman) menuju zona learning (belajar) tentu dalam konteks life long education.

Dan, memasuki zona learning bagi guru dengan tantangan yang secara kwantitatif maupun kwalitatif semakin meningkat tersebut pada satu sisi dan keterbatasan waktu karena juga harus bertatap muka dengan para siswa maka tiada lain dibutuhkan trik yang relative lebih mudah, murah, cepat dan sukses.

Dan, trik itu menurut pengalaman saya adalah dengan beraktifitas ngeblog. Coba bandingkan saja dengan belajar cara manual dengan materi yang macam-macam dan seabrek-abrek, yakni dengan mencari, meminjam atau membeli buku,  baru kemudian membacanya. Rempong, khan (?).

Yup. Ngeblog?

Dok Kompasiana
Dok Kompasiana

Kata ngeblog terbangun dari awalan (tak baku) nge- ---semacam kata ngetop, ngebass, ngegitar, ngegituin, dsb--- dan kata serapan: blog. Sementara kata blog sendiri merupakan akronim dari kata Web dan Log (WEBLOG), yang artinya catatan online (yang berada di web).

Blog biasanya berwujud situs web yang berisi tulisan, artikel atau informasi bermanfaat yang diupdate (diperbaharui) secara teratur dan dapat diakses secara online baik untuk umum maupun pribadi.

Sehingga gampangnya, ngeblog secara pasif dapat diartikan sebagai aktifitas membaca informasi di internet dan secara aktif merupakan aktifitas menulis di internet. Atau dalam bahasa lain, ngeblog pada dasarnya merupakan atifitas iqro’net.

Secara umum keuntungan menjadi blogger (sebutan para pengeblog) beraneka-macam. Mulai dari yang untuk memuaskan kebutuhan aktualisasi diri hingga untuk mencari duit dan sebagainya.

Tapi bagi guru fadhilah ngeblog di samping sebagaimana fungsi umum tersebut juga khas, yakni sebagai media belajar-mengajar yang akan menumbuhkembangkan 4 (empat) kompetensi keguruannya sekaligus. Yakni kompetensi pedagogic, kompetensi professional, kompetensi kepribadian dan kompetensi sosialnya.

Bagi rekan-rekan pemula, yang baru bisa membaca blog, silahkan lanjutkan saja. Dan, bagi guru yang sudah bisa (berkesempatan) menulis, saya merekomendasikan agar ngeblognya bisa di blog gratisan rombongan atau buat blog pribadi, seperti di blogspot, atau yang lainnya.

Pengalaman saya di Kompasiana, bahwa ngeblog di blog rombongan, selain mudah ngeblognya juga kualitas tulisan kita secara tidak langsung akan terkontrol dengan lebih intensif oleh rekan-rekan sesama kompasianer ataupun admin. Karena memang ada fasilitas untuk itu.

Sekali lagi!

Dengan demikian, UKG-phobia yang berkorelasi dengan PKG, PKB juga pangkat merupakan stimulus moving on-nya guru dan ngeblog adalah zona learning-nya guru untuk mencapai dan menjaga predikat pendidik yang betul-betul professional.

Jika dilihat dari kacamata teori motivasi, maka penyikapan fenomena UKG-phobia dengan aktifitas belajar (ngeblog) tersebut kiranya sesuai dengan teori X dan Y-nya Mc. Gregor. Fenomena UKG-phobia merupakan manifestasi dari teori X yang berasumsi bahwa pada dasarnya rata-rata pekerja itu malas yang mesti dipaksa.

Sementara aktifitas  ngeblog merupakan manifestasi teori Y, yakni rata-rata manusia bersedia belajar dalam kondisi yang layak, tidak hanya menerima tetapi mencari tanggung jawab. 

Dan, jikapun nanti program UKG akan berlangsung lanjut atau bahkan sudah tak ada lagi UKG sekalipun, ngeblog bagi guru tetap saja relevan dan urgen demi tidak masuk ke Suicidal zone (zona frustasi).

Apa layakkah seorang berpredikat guru justru terjerembab ke dalam zona frustasi karena tak mau lagi belajar?

Tentu, tidak, bukan?***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun