Ketika hari ketiga UKG 2015 sedang berlangsung saja diberitakan bahwa UKG telah membuat sebagian guru stress (news.okezone.com Rabu, 11 November 2015 - 15:06 WIB). Stress tersebut secara psikologis mungkin saja wajar karena ada tekanan untuk hasil yang baik. Karena pula sempat tersiar kabar, hasil UKG berdampak terhadap TPG (suaramerdeka.com dalam www.pendidikanguru.com 01:02 30 November 2015) ---meski berulang Dirjen GTK menegaskan bahwa UKG 2015 untuk pemetaan dalam rangka memperoleh baseline kompetensi guru, bukan untuk pemotongan TPG (www.solopos.com dalam www.pendidikanguru.com. ---00:51 1 Desember 2015).
Namun adalah tidak lucu apabila karena benar-benar menjadi agenda tahunan dan target KKM-nya yang begitu melompat-lompat tinggi maka kemudian fokus guru sepanjang tahun tersita hanya mengarah pada UKG unsich. Dan, proses belajar mengajarpun sangat mungkin terganggu.
Mungkin saja benar pengandaian Mendikbud Anies Baswedan terhadap UKG sebagaimana orang bercermin saja karena katanya, pada dasarnya UKG ekuivalen belaka dengan self assesment (penilaian diri) (news.detik.com 29/11/15). Tapi, toh, kalaupun bercermin, pastinya ada beban mental bagi guru untuk selalu meng-makeup diri.
Masalahanya adalah bagaimana menyiasati agar proses berlanjut make-over itu zero negative effect terhadap proses belajar mengajar siswa?
Â
Kritik UKG 2015
Siasat menjadi guru pembelajar baik ada ataupun tidak ada UKG tetap saja penting dan perlu. Tapi kalaupun makhluk UKG itu harus selalu ada, maka belajar dari UKG 2015 yang baru lalu, dalam beberapa perspektif ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.
Pertama, UKG 2015 merupakan tes yang masih perlu disempurnakan. Uji validitas dan reliabilitasnya masih terasa diperdebatkan. Misalnya, masalah tingkat kesulitan antar paket soal masih ada yang dirasa tidak berimbang.
Kemudian, jadwal UKG yang tidak bersamaan antar sesama bidang juga dipandang tidak adil. Karena akan lebih menguntungkan peserta yang berjadwal belakangan oleh sebab disamping memiliki waktu belajar yang relative panjang, juga info-info (baca: rembesan) soal sudah berseliweran.
Kedua, UKG khususnya UKG 2015 seolah sebagai bentuk program Kemendikbud RI yang mubadzir karena tumpang-tindih dengan program Kemendikbud RI yang lainnya. UKG sepertinya menafikan atau kurang mempercayai proses perolehan dan keberadaan ijazah sarjana kependidikan dan juga sertifikat pendidik para guru cq Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang notabene adalah program Kemendikbud RI juga.
UKG ---tepatnya uji kompetensi keguruan (penguasaan kompetensi profesional dan pedagogik dalam ranah kognitif) pada dasarnya telah lunas dilaksanakan ketika calon guru duduk dibangku kuliah di LPTK, yang kemudian dimatangkan lagi ketika menjadi guru oleh proses sertifikasi.