Mohon tunggu...
Fiksiana

Bugenvil 9

8 November 2015   19:28 Diperbarui: 10 November 2015   07:56 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

            Alen masuk ke ruang besuk, ia menangis sekuat-kuatnya, dipeluknya ayah kesayangannya itu. Terngiang dipikirannya putusan pengadilan kemarin sore tentang ‘Hukuman Mati’. Semua yang berada di ruang besuk  terbawa keadaan, kemudian  terdengar tangisan, mengingat hari akhir menutup mata semakin dekat, itu artinya ia akan meninggalkan keluarga yang begitu berharga. Semuanya menangis. Mereka menikmati waktu-waktu  meski hanya berada dalam satu ruang sempit, ruang besuk. Alen menghibur ayahnya sebagaimana ayahnya selalu menghibur dirinya ketika banyak tekanan yang dialami olehnya. Nada suara Alen semakin menyayat hati sang kapten. Apa yang dibicarakan malah membuat tangisan semakin terdengar keras, takurung nada hiburan itu berubah menjadi tangisan perpisahan. Siang itu adalah pertemuan terakhir dari tiga kesempatan yang diberikan pihak pengadilan.

            Sepertinya semua telah berjalan sesuai takdir, jumlah waktu yang diberikan pengadilan tidak cukup untuk menggantikan rasa kehilangan seorang ayah. Tiada hari dengan uang jajan dari ayahnya, tiada nada marah saat Alen pulang malam tanpa memberitahu ayah atau ibunya dahulu. Bayangannya mengambang, sepenuhnya tidak menyadari apa yang akan dia lakukan jika tidak ada ayahnya. ‘Hidup terasa seperti kain’, itulah mungkin yang terukir dalam hatinya, bukan untuk saat ini saja, bahkan mungkin akan terus melekat sampai kapanpun. Ia menengok sebentar ke ibunya, nampak ibunya ditemani sahabat karib ayahnya sedang menulis sesuatu dengan perhatian sepenuhnya tertuju hanya pada kertas itu. Alen membalik badan, sedikit tidak peduli dengan apa yang dilakukan ibunya.

            Usai pemakaman secara tertutup yang dilaksanakan oleh pihak militer dan keluarga almarhum di pemakaman dekat pengeksekusian, Alen terdiam di dekat makam membawa seuntai kalung putih dari ayahnya. Digalinya lubang kecil dekat batu nisan, memang kecil tapi cukup dalam. Ia masukkan kalung bersama dengan sepucuk surat warna coklat, lalu gadis itu mulai memanjatkan sebuah doa. Entah doa apa yang ia panjatkan, namun  jelasnya air mata terus meleleh di pipinya. Menorehkan garis asa, lalu terputus oleh heningnya kenyataan.

            “Aku tahu ayah kuat, ayah hebat. Ayah tahu?  meskipun ayah tidak bisa menemaniku di wisuda nanti, Alen akan buktikan kepada mereka bahwa Ayah masih menemaniku untuk merayakan perpisahan nanti,

            “Alen akan terus mengingat, melakukan dan menaati apa yang telah Ayah katakan. Maafkan Alen kalau selama Ayah hidup, aku tidak pernah membuat sedikit kebahagiaan untuk ayah, atau malah anakmu ini selalu menyusahkan ayah. Terima kasih untuk ayah, yang tidak pernah menyia-nyiakan Alen dan selalu melindungi diri ini. Terima kasih telah mendidikku sebaik yang kau bisa, mengajariku menyayangi manusia di dunia ini. Ayah akan selalu berarti bagiku. Selamat jalan Ayah,

“Tuhan, bawalah ayahku ke alam keabadian dengan penuh kebahagiaan, ampunilah segala kesalahan dan dosanya, aku tau aku belum dapat mengikhlaskan dirinya untuk pergi. Namun aku tau Kau akan menjaganya dengan sempurna dibanding penjagaanku selama ini. Tuhanku yang Mahakuasa, hamba-Mu ini mempercayakan ayahku pada-Mu, jagalah ayahku, aku mohon. Amin.”  ucapnya dalam tangis doa.

            Alen pulang, terasa berat baginya untuk pulang dari tanah itu, seakan hatinya ikut terkubur dalam bersama jasad ayahnya. Sesaat ia menatap ibunya, ia merasakan sesuatu yang tidak pernah ia lihat di wajah ibunya. Ia tidak mengenali ekspresi wajah itu, asing namun sangat mengganggu suasana hatinya saat ini. Tidak terlukis perasaan sedih ataupun kehilangan layaknya seorang istri yang kehilangan suami, Alen mulai gusar. Ia berjalan masuk mobil, tatapannya masih terpusat kepada ibunya. Namun ketika mobil perlahan berjalan, ia mengalihkan perhatian untuk menatap kedepan, lalu lalang kendaraan di jembatan pembatas laut. Dinikmatinya pemandangan sekeliling meskipun belum dapat menghilangkan suasana nestapanya. Ia melihat anak kecil yang sedang bermain di tepi jembatan, anak kecil itu melambaikan tangan penuh misteri. Wajah lelaki kecil yang terlihat tak berdosa di pinggir jembatan semakin membuatnya takut, lalu Alen membalikkan badan. Ia melihat ibunya, kini senyum ibunya semakin lebar terlihat.

            “Ibu, tadi aku melihat lelaki kecil melambaikan tangan. Wajahnya sangat cerah, namun menyeramkan.”

            “Jangan hiraukan dia, mungkin anak itu iseng melambaikan tangan kepada semua pengguna jembatan ini. Kau hanya berimajinasi saja mungkin, karena ibu tahu, perasaanmu sedang tidak menentu sekarang ” ibunya terlihat tidak peduli dengan hal itu.

            Sesaat setelah perbincangan berakhir, ibunya menampakkan raut wajah bosan. Sejenak ia meraba sesuatu di depan setir, ia mengambil hard disk  kemudian ia memutar  musik klasik berhaluan gembira. Senandung kecil melodi musik itu ditirukan oleh ibunya. Alen semakin tidak mengerti dengan keadaan ini, wajahnya pun menampakkan kemarahan yang belum pernah ia tujukan pada ibunya. Tanpa bicara, Alen seketika mematikan  musiknya dengan maksud agar ibunya peka terhadap apa yang sedang dia rasakan saat itu. Alen secepat mungkin menatap ke depan, ibunya menatap dirinya dengan singkat waktu. Tangan ibunya meraba tombol lalu menghidupkannya kembali. Alen kini benar-benar marah terhadap apa yang dilakukan ibunya. Ditenangkannya dirinya itu, ia menaruh alasan ‘pasti ibu juga bersedih, namun ia seorang ibu yang sepatutnya malu menunjukkan kesedihannya karena ia dituntut untuk kuat. Aku yakin ia juga menyimpan rasa kehilangan yang lebih dalam dari pada aku,’ tebaknya.

            “Alen. Tidakkah kau merasa sedikit lega? ”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun