Pagi itu tahun 1989, angin sejuk mengalir melewati celah-celah jendela di sebuah surau kecil. Di sanalah pertama kali aku bertemu Buya Risman Muchtar, seorang dai yang keilmuannya menjulang tinggi seperti gunung. Sosoknya bersahaja, dengan kopiah hitam khasnya dan senyuman yang menenangkan. Ketika itu, aku hanyalah seorang pemuda yang baru bergabung dengan Muhammadiyah. Namun, sejak melihat beliau mengkaji kitab Al-Islam karya Said Hawa dengan penuh khidmat, aku tahu bahwa beliau bukan sosok biasa.
Hubunganku dengan Buya Risman perlahan menjadi akrab, meski awalnya aku hanya menjadi pendengar setia setiap kali beliau berbicara. Waktu berjalan, aku sering melihat beliau berdiskusi dengan Buya Anhar Burhanuddin, seorang tokoh besar lainnya. Aku mulai merasa nyaman di lingkaran ini, seperti menemukan keluarga baru dalam dunia dakwah.
Namun, ada satu peristiwa yang hingga kini selalu menggoreskan sedikit rasa sesal dalam hati. Saat gempa melanda Nias, aku mendapat tugas penting untuk membantu koordinasi bantuan. Sayangnya, tepat di hari-hari itu, ayahku wafat. Dunia rasanya runtuh. Aku terpaksa meninggalkan tugas yang sudah dipercayakan kepadaku, dan akibatnya, aku mengecewakan Buya Risman. Meski beliau memaklumi situasiku, aku tetap merasa bersalah.
Hubunganku dengan beliau makin erat ketika suatu hari aku mendapati namaku masuk dalam daftar tamu Raja Fahed bin Abdul Aziz untuk melaksanakan ibadah haji. Aku tak percaya. Perjalanan ini menjadi momen yang tak terlupakan, karena aku bisa bersama Buya Risman, menyaksikan Ka'bah dari dekat, dan mendengar nasihat-nasihat beliau yang mendalam selama di tanah suci.
"Zulkarnain," kata beliau saat kami berjalan di pelataran Masjidil Haram, "perjalanan haji ini bukan sekadar ibadah, tapi juga pembuktian. Kita harus menjadi Muslim yang lebih baik saat kembali ke tanah air."
Nasihat itu melekat di hati hingga kini.
Namun, bukan hanya dalam ibadah haji kenangan itu tercipta. Di masa sulit, ketika aku terhimpit utang akibat penyakit demam berdarah yang menjeratku, Buya Risman kembali menunjukkan kepeduliannya. Sebagai wakil ketua lembaga dakwah khusus PP Muhammadiyah, beliau dengan tangan terbuka menandatangani permohonan bantuan yang kuajukan ke Lazismu. Bantuan itu menyelamatkan hidupku.
Kami juga sering terlibat dalam diskusi-diskusi hangat di kantor Majelis Tabligh PP Muhammadiyah. Salah satu momen yang tak kulupakan adalah ketika menjelang Muktamar Muhammadiyah di Surakarta. Kami berbincang panjang lebar tentang suksesi kepemimpinan dan pentingnya menghadapi aliran-aliran sesat yang mulai menyusup ke tubuh organisasi.
"Zulkarnain," kata beliau di akhir diskusi, "kita tidak hanya berbicara soal kepemimpinan, tapi soal warisan. Apa yang kita lakukan hari ini adalah untuk masa depan generasi Muhammadiyah."
Buya Risman bukan hanya seorang tokoh bagiku. Beliau adalah guru, teman diskusi, dan panutan. Banyak kenangan manis dan pelajaran hidup yang kuterima dari beliau. Hingga kini, setiap kali aku mengingat beliau, rasanya seperti membuka kembali halaman-halaman sebuah buku yang penuh hikmah.