Mohon tunggu...
Khaznel Khairat
Khaznel Khairat Mohon Tunggu... -

Menulis bagi saya seperti memancing dikolam belakang rumah, saya baru berteriak ketika berhasil mengangkat lele sebesar betis. Atau tidak dapat ikan sama sekali.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Durian Adventures

21 Januari 2011   02:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:20 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

"Woii, tolong aku, woi... masuak banda den!!."

"Tu ngangak juo lah ang...!!!" Sergah Chandik. Bukannya pertolongan, Kian harus berfikir menyelamatkan kesialannya secara mandiri. Tak mau meminta tolong lagi. Chandik begitu 'mendidiknya' menyelesaikan masalah sendiri.

Dan salak anjing itu semakin nyinyir, tapi mereka tetap nekat mendekat. Walau terkesan was-was langkah mereka tetap mengarah kerumah itu, Chandik yang memimpin di garda depan. Tanpa disadari terasa Chandik-lah tempat bergantungnya keputusan mereka menghadapi situasi itu, apakah akan lari atau tetap ngotot. Gonggongan itu semakin berinterval pendek dan semakin keras. Chandik berusaha tetap mempertahankan nyalinya, sembari melakukan pengintaian dan memprediksi sampai dimanakah anjing itu bakal beraksi, mereka masih berusaha mendekat. Tapi Kian, Rasa, Borut telah menjadi kucun. Meringkukkan tangan mereka di dada, walau berjalan kearah depan tapi sebenarnya perintah insting mereka cendrung bergerak kembali kebelakang, kalau perlu dengan langkah seribu.

Tiba-tiba anjing itu melakukan aksi diluar dugaan, menyalak berang dan bergerak cepat kearah kaki Chandik, berusaha meraih apapun yang mampu di jangkau dengan giginya. Kontan Chandik berkelit, balik kanan dan berniat mengambil langkah seribu. Tapi...

"Woi, kanai den ko ha..." Teriak Borut yang ternyata di lao Chandik yang telah kehilangan nyali. Mereka bergelimpangan, tapi bangkit secara luar biasa cekatannya. Dan terbirit-birit dibawah pimpinan Kian yang ternyata telah lebih dahulu berinisiatif beraksi semacam itu. Berlari dalam gelap itu membuat mereka jatuh bangun, tekanan salak anjing itu juga begitu berpengaruh terhadap keseimbangan. Anjing itu membuntuti, mereka terus berlari. Sampai beberapa belas meter pelarian itu berjalan, selanjutnya Rasa menyedot perhatian. Sesuatu yang menyedihkan nampaknya telah menimpa dirinya dalam pelarian itu. Mendengar apa yang diteriakkannya terdengar miris sekali, karena kini ia telah terjerembab dan tak bangkit lagi.

"Maaakk...! Mati aku mak.." Sungguh sulit di bayangkan, ia sudah terkapar dan tak mungkin lagi menghindar dari tangkapan mulut ganas anjing itu. Ia merengek konyol memanggil emaknya yang kini entah dimana, dan tampaknya telah menyerahkan nasibnya untuk di gumul anjing itu. Yang lainnya hanya mencoba menantikan detik-detik menegangkan itu benar-benar terjadi. Lalu berfikir bagaimana caranya mengeluarkan Rasa dari situasi sulit itu. Namun kejadian pahit tersebut terlalu lama menjadi kenyataan, anjing itu tak kunjung menggumul Rasa yang sudah menanti nasib sialnya. Saat mereka berbalik memastikan, hal lain yang terjadi justru membuat mereka gemas. Karena kini itu anjing turut berhenti, tertimpa keraguan pula dalam pengejarannya.

Melihat anjing itu ingin berbalik arah, superioritas Chandik bangkit. Anjing sok berani itu telah terlihat kerdil dengan gertak sambalnya. Dan kini Chandik telah menjelma menjadi sang penguasa keadaan, dan jejak-jejak anjing itu dibuntutinya. Sambil menggelepak-gelepakkan tangan dipantatnya untuk memberi kesan pada anjing itu bahwa ia mengejar dengan kentara, ia berlari menakuti. Hingga keterbiritan itu berbalik, anjing itu harus menerima kenyataan, kini ia yang ketakutan. Beberapa saat terlewati, tiba-tiba anjing itu berhenti. Menanti kehadiran Chandik, mulutnya masih bawel menyalak. Ia menantang karena telah berada dalam wilayah kekuasaannya kembali, pekarangan rumah yang dijaganya. Dan siklus itu ternyata berulang, nyali Chandik keok, lalu berbalik arah lagi. Anjing tetap pula mengejar kembali, tapi juga tak sampai mengigit. Dan situasi jadi meribut.

Waw...waw... auk...auk....!

"Anjiang kalera" Rutuk Rasa yang masih mengemasi dirinya dari tanah-tanah yang menempel di sikunya.

Hah..hah... deru nafas mereka berpacu, membalaukan tawa yang sebenarnya juga sangat ingin keluar dengan lancar. Dan suara-suara itu akhirnya membantu mereka keluar dari situasi sulit itu. Piak Owe menderitkan pintu kayu rumahnya lalu keluar dan mendekati mereka.
"Huss...huss... huss.. diam!!!." Piak Owe ini nampaknya adalah induk semang anjing yang sukses. Anjing itu taat atas perintah wanita tua tersebut. Anjing itu meringis manja dan berhenti menyalak seolah-olah Piak Owe itu adalah tuannya yang terhormat.

"Sedang mengapa kalian ini?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun