Mohon tunggu...
Khaznel Khairat
Khaznel Khairat Mohon Tunggu... -

Menulis bagi saya seperti memancing dikolam belakang rumah, saya baru berteriak ketika berhasil mengangkat lele sebesar betis. Atau tidak dapat ikan sama sekali.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Durian Adventures

21 Januari 2011   02:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:20 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

"Kami hanya mau membeli durian, mak. Sudah ada, mak?"

"Eee.. belum ada yang jatuh lai nak ee..."

"Oo.. Terimakasihlah mak, kami pergi dulu. Sangka kami sudah ada yang jatuh."

"Berapa orang kalian ini? Sekarang masih belum masanya lagi, nak. Sebentar lagi baru banyak yang akan jatuh. Atau coba saja tanya pada Piak Owe yang disana, mungkin satu-satu sudah ada yang jatuh duriannya." Kata emaknya da Hak itu sambil memandangi mereka satu per satu.

"Iyalah, mak. Kami coba tanyakan sama dia dulu."

"Ya, tapi hati-hati ya. Piak Owe itu punya anjing galak, mak sudah pernah bilang supaya diikat, tapi tidak juga didengarnya. Kalau menggigit orang kan tidak ada untungnya"

Anjing...? Wah, bisa gawat penjelajahan malam ini. Gelap dengan senter yang masih tak mau menyala ini bisa membuat berhadapan dengan anjing Piak Owe itu berujung menyedihkan. Tapi nyali mereka menguat karena sebuah fikiran sederhana, mereka berempat dan anjing itu hanya satu. Maka demi liur mereka yang terlanjur ngiler, tantangan itu musti di hadapi. Medan menuju rumah Piak Owe itu lumayan berat, ilalang-ilalang tajam serta rumpun-rumpun aur itu malang melintang memperparah perjalanan dalam gelap mereka.

"Sa, hidupkanlah senter kau itu." Kata Kian pada Rasa, pemilik benda itu. Karena Kian sudah mulai bergidik mendengar anjing galak, salah satu pobhia bujang ini selain ular dan ayam betina beranak kecil.

"Tidak bisa ini ha.. Sudah dari tadi kuperbaiki, belum juga mau. Putus mungkin bolanya".

Chandik dan Borut nampaknya tenang-tenang saja, melangkah yakin bahwa anjing itu bukanlah acaman. Bagi Chandik anjing mungkin bukanlah sesuatu yang membuat nyalinya ciut, semacam ancaman dari preman-preman yang yang suka main keroyok di dekat simpang ia biasa lewat. Berhadapan satu-satu adalah hal yang di tunggu-tunggunya, namun pernah memilih lari daripada konyol menghadapi nyali pengecut orang-orang yang hanya berani menghadapi lawan yang tak sepadan jumlahnya. Apalah lagi hanya anjing yang cuma seekor, tak ada kejadian traumatis yang membuat ia begitu takut menghadapinya. Hanya satu yang bisa membuatnya histeris dan tak berani mendekat, yang dari dulu tak pernah pulih, walau itu hanya seekor; ulat bulu.

Ketika hampir sampai, insting kebinatangan anjing dengan kelebihan penciuman, pendengaran, dan penglihatannya yang tajam, membuat kedatangan mereka sudah terendus walau mereka sendiri belum yakin bisa sampai ketempat itu dengan tepat sasaran. Rumah Piak Owe itu demikian gelapnya, dikelilingi semak dan pohon-pohon. Gonggongan anjing itulah yang menjadi penunjuk arah akan tujuan mereka. Jalan yang dituju sungguh kabur, sesekali kaki Kian ngelantur menginjak awang-awang dan tertipu, rupanya masuk parit yang dikiranya pematang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun