Mohon tunggu...
Khasna Nabila
Khasna Nabila Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN RADEN MAS' SAID SURAKARTA

Life is simple if you make a simple

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Hukum Kewarisan Islam (Sebagai Pembaharuan Hukum Positif di Indonesia)

5 Maret 2023   12:55 Diperbarui: 29 Maret 2023   17:59 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perpustakan Nasional /Dok pribadi

Tahun Terbit    : 2017

Cetakan Pertama, Agustus 2017, di cetak oleh Cahaya Prima Sentosa

 ISBN : 978-979-007-733-1

Buku tulisan Dr. H. Moh. Muhibbin, S.H., M.Hum. Dan Dr. H. Abdul Wahid, S.H., M.Ag. yang berjudul Hukum Kewarisan Islam (Sebagai Pembaharuan Hukum Positif Di Indonesia) mendiskripsikan secara lengkap dan rinci tentang hukum kewarisan islam mulai dari pengertiannya, sumber asas hukumnya, sejarahnya, rukun syarat, penggolongan ahli waris, sebab dan halangan mewarisi, furudhul muqaddarah, perhitungan pembagian warisan, aul, radd, problematika, penggatian tempat, pengadilan agama, kompilasi hukum islam.

 Fiqih Mawaris adalah kata yang berasal dari bahasa arab fiqh dan mawaris. Menurut bahasa fiqih artinya memahami dan mengetahui sesuatu sebagai hasil usaha mempergunakan pikiran yang sungguh-sungguh. Menurut istilah fiqih adalah ilmu yang menerangkan segala hukum syara yang berhubungan dengan harta, di ambil dari dalil-dalilnya yang jelas. Mawaris berasal dari bahasa arab, mawaris bentuk jamak dari kata miiraats yang artinya harta peninggalan yang di warisi oleh ahli warisnya. 

Fiqih mawaris yaitu suatu disiplin ilmu yang membahas tentang harta peninggalan, tentang bagaimana proses pemindahan, siapa saja yang berhak menerima harta peninggalan itu serta berapa bagian masing-masing. Kata waris artinya seorang pewaris sedangkan muwarits adalah orang yang meninggalkan harta. Para ulama telah menetapkan bahwa mempelajari ilmu faraidh adalah fardhu kifayah, artinya kalau dalam suatu masyarakat atau perkampungan tidak ada yang mempelajari ilmu tersebut maka berdosalah orang kampung-kampung itu. Akan tetapi jika ada yang mempelajari walaupun hanya satu atau dua orang maka terlepaslah semuanya dari dosa. Tujuan mempelajari hukum waris adalah agar kita dapat menyelesaikan masalah harta peninggalan sesuai dengan ketentuan agama, jangan sampai ada yang di rugikan dan termakan bagiannya oleh ahli waris yang lain. Dasar dan sumber utama dari hukum islam sebagai hukum agama adalah nash yang terdapat dalam Al-Qur`an dan Sunnah Nabi yang mengatur kewarisan tersebut : Al-Qur`an Surat An-Nisa` ayat 7-14, 176  kemudian ada hadits Nabi juga, hadits dari Abdullah Ibnu Abbas yang di riwayatkan oleh Imam Bukhari, Hadits Nabi dari Jabir yang di riwayatkan oleh Imam Abu Daud, Hadits dari Surahbil menurut riwayat kelompok perawi hadits selain imam muslim, Hadits Nabi yang di riwayatkan dari Imron Bin Husein menurut riwayat Imam Abu Daud, Hadits dari Qubaishah Ibnu Zuaib menurut perawi Hadits selain Imam Nasa`I, Hadits Nabi dari Usamah bin Zaid menurut riwayat Tirmidzi, Hadits Nabi dari Abu Hurairah menurut riwayat Imam Ibnu Majah, Hadits dari Sa`ad bin Abi Waqosh menurut riwayat Al-Bukhari, Hadits Nabi dari Ibnu Amr Al-Huseini menurut riwayat At-Tirmidzi, Hadits dari Abu Hurairah menurut riwayat Bukhari, Hadits Nabi dari Jabir Bin Abdullah menurut riwayat Ibnu Majah. 

Selain dari Hadits Nabi kemudian ada Ijtihad Para Ulama meskipun Al-Qur`an dan Hadits sudah merinci mengenai pembagian hukum waris namun ada beberapa hal masih di perlukan adanya ijtihad, yaitu terhadap hal-hal yang tidak di tentukan dalam Al-Qur`an dan Hadits. Asas Ijbari : bahwa peralihan harta seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan Allah SWT tanpa di gantungkan kepada kehendak pewaris atau ahli waris. Asas Bilateral : harta warisan beralih kepada ahli warisnya melalui dua arah (dua belah pihak), garis keturunan perempuan dan garis keturunan laki-laki. Asas Individual : harta warisan boleh di bagi-bagi pada masing-masing ahli waris untuk di miliki perseorangan. Asas Keadilan Berimbang :keseimbangan antara hak dan kewajiban serta kewajiban antara perolehan dan kegunaannya. Asas Semata Akibat Kematian : peralihan harta seseorang kepada orang lain dengan menggunakan istilah kewarisan hanya berlaku setelah yang mempunyai waris meninggal dunia. 

Tradisi pembagian harta warisan pada zaman jahiliah, berpegang teguh pada tradisi nenek moyang yaitu anak-anak yang belum dewasa, dan kaum perempuan dilarang mempusakai harta peninggalan warisan. Karena mereka di anggap lemah fisiknya dan tidak berharga. Sebab-sebab mereka yang berhak mendapatkan warisan : Karena Hubungan Kerabat, Karena Pengangkatan Anak. Pada zaman islam awal masuk ada beberapa sebab pusaka mempusakai karena adanya hubungan kandung dan kerabat : pengangkatan anak, haijrah dari madinah ke mekkah, dan persaudaraan antara muhajjirin dan anshor. Indonesia mempunyai berbagai agama dan kepercayaan masing-masing mempunyai bentuk kekerabatan yang sistem keturunannya itu berbeda-beda. Di berbagai daerah terdapat berbagai sifat kekeluargaan yang dapat di masukkan dalam tiga golongan : sifat kebapakan, sifat keibuan, sifat kebapak ibuan. Lembaga yang berwenang menyelesaikan perkara kewarisan di indonesia : pada tahun 1882 M di Jawa dan Madura di bentuk peradilan Agama, di samping adanya peradilan biasa, pemerintahan belanda memberi nama dengan Priester Raad yang di umumkan pada saat staatsblad 1882 nomor 152. Pada saat itu kewenangan kewenangan tersebut belum di tentukan sehingga mereka menetapkan perkara yang di pandang masuk dalam pandangan kekuasaannya. 

Perkara tersebut adalah perkara-perkara yang berhubungan dengan pernikahan, perceraian, mahar, nafkah, dan peralian kemudan ada warisan dan wakaf. Dalam dunia peradilan agama tidak mempunyai wewenang untuk di paksakan jika ingin di paksakan maka meminta surat pengukuhan kepada pengadilan negeri. Sementara pengadilan negeri enggan memeberi pengukuhan terhadap pengadilan agama jika di lihat keputusannya melebihi batas wewenang pengadilan negeri. Maka dari pada itu masalah waris, wakaf, hadhanah yang sebelum tanggal 1 April 1937 dapat di putuskan oleh Pengadilan Agama, menjadi bagian dari Pengadilan Negeri. Namun pada praktiknya Pengadilan Negeri meminta nasehat kepada hakim Pengadilan Agama mengenai cara-cara pembagian harta waris, kemudian Pengadilan Agama membuat keputusan dengan pembelakuan Peradilan Agama berjalan hingga di keluarkannya UU No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. 

sehingga bahwa pengadilan agama mempunyai wewenang dalam hukum positif indonesia yang menyelesaikan sengketa waris sekaligus mempunyai wewenang yang kuat memberikan putusan yang mengikat secara yuridis formal. Dengan Demikian bahwa Undang-Undang Peradilan Agama dapat menyisihkan UU Peradilan Umum dalam kewenangannya mengadili perkara-perkara Perdata Islam sebagaimana tertulis dalam Pasal 49. Hak-hak harta setelah wafat yang merupakan kewajiban pemilik harta atau yang menjadi hak waris : pengurusan jenazah yang mana biaya tajhiz menggunakan hartanya atau menggunakan baitul mall jika tidak ada hartanya, kemudian ada hutang yang mana lebih di dahulukan adalah hutang terhadap Allah SWT kemudian kepada Manusia, hutang harus di lunasi, kemudian ada wasiat, pelaksanaanya setelah wafatnya pewasiat, hikmahnya adalah sebagai tambahan amal kebaikan, menghindari konflik antar saudara, menjadi perekat sosial. Rukun mewarisi ada 3 antara lain harta peninggalan : harta benda yang di tinggalkan oleh pewaris yang akan di bagi kepada para ahli waris setelah di ambil untuk biaya perawatan, melunasi hutang dan melaksanakan wasiat, orang yang meninggalkan harta waris : orang yang meninggal dunia dan meninggalkan harta waris dan yang di tinggalkan dengan sempurna, pewaris benar-benar meninggal dunia baik menurut hukum atau kenyataannya, ahli waris : orang yang mendapatkan harta waris karena memang haknya dari keluarga pewaris, namun tidak semua keluarga di namai ahli waris demikian yang mendapatkan waris mungkin saja di luar ahli waris. 

Syarat waris ada 3 antara lain meninggalnya pewaris yang benar-benar telah meninggal dunia menurut kenyataan maupun secara hukum seperti orang yang hiking oleh hakim di nyatakan telah meninggal, para ahli waris benar-benar masih hidup setelah kematian si pewaris walaupun secara hukum seperti anak dalam kandungan atau dalam lingkungan keluarga, meskipun dua syarat mewakili telah ada pada ahli waris dan pewaris mereka tidak boleh mewarisi hartanya jika adanya salah satu penghalang dari penghalang-penghalang pewaris. Kemudian ada sebab-sebab waris antara lain adanya hubungan kekerabatan yang di sebabkan oleh kelahiran di golongkan menjadi 3 yaitu anak lahir dari pewaris, leluhur yang menyebabkan adanya pewaris, keluarga yang di hubungkan dengan si meninggal dunia melalui garis menyamping atau lingkungan keluarga selanjutnya adanya hubungan perkawinan yang mana suami menjadi ahli waris bagi istrinya dan istrinya menjadi ahli waris bagi suaminya yang meninggal 2 hal tersebut di dasarkan pada perkawinan yang sah menurut agama dan perkawinan yang masih utuh, adanya hubungan sebab Al-Wala hubungan pewaris mewarisi karena adanya kekerabatan menurut hukum yang timbul karena membebaskan budak, adanya hubungan sesama umat muslim apabila seseorang yang meninggal dunia tidak mempunyai ahli waris maka harta warisannya di serahkan kepada Baitul Mall yang akan di gunakan untuk umat islam lainnya. Larangan Waris ada 4 yaitu perpudakan yang mana status budak tidak dapat menjadi ahli waris karena di pandang tidak cakap mengurusi harta dan telah putus hubungan kekeluargaan dengan kerabatnya, pembunuhan menurut fuqaha aliran syari`iyyah segala bentuk tindakan pembunuhan yang di lakukan oleh ahli waris terhadap pewarisnya adalah menjadi penghalang baginya untuk mewarisi apapun jenis pembunuhannya, berlainan agama jumhur ulama sepakat bahwa orang kafir tidak dapat mewarisi harta orang islam lantaran status orang kafir lebih rendah, apabila seorang ahli waris yang berbeda agama beberapa sesaat sesudah meninggalnya pewaris lalu ia masuk islam sedangkan harta waris belum di bagikan maka sesorang ahli waris tersebut tetap terhalang untuk mewarisi sebab hak mewarisi tersebut adalah sejak adanya kematian orang yang mewarisinya, adanya perbedaan negara antara orang-orang kafir yang terputusnya ishmah dan tidak adanya hubungan perwalian sebagai dasar pewarisan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun