Bacaan-bacaan tersebut menambah wawasan Kartini tentang kolonialisme sekaligus menjadi media yang memberinya ilham untuk memperjuangkan emansipasi Wanita. Disisi lain, ideologi para sahabatnya turut mempengaruhi pemikiran Kartini, salah seorang sahabatnya ialah Stella Zeehandelaar, sahabat pena Kartini yang merupakan aktivis penyuara hak Wanita di Eropa.
Hasratnya yang menggebu-gebu untuk memberontak terhalang oleh keadaan kala itu yang tidak memungkinkan Kartini untuk menyuarakan kegundahan dan gagasannya secara langsung, ia menyiasati hal tersebut dengan berusaha berkirim surat pada sahabat-sahabatnya. Dalam sebuah surat ia meluapkan kegundahannya mengenai nasib kaum wanita yang terkungkung oleh adat.
"Kami, gadis-gadis masih terantai kepada adat istiadat lama, hanya sedikitlah memperoleh bahagia dari kemajian pengajaran itu. Kami anak perempuan pergi belajar ke sekolah, keluar rumah tiap-tiap hari, demikian itu saja sudah dikatakan amat melanggar adat." (Kepada Nona Zeehandelaar, Jepara, 25 Mei 1899)
Dengan ketajaman berpikir dan keluasan pengetahuan yang Kartini miliki, ia sadar betul bahwa kualitas, nasib, dan kedudukan wanita menjadi tolak ukur kemajuan bangsa. Ia yakin kemajuan bangsa Jawa akan tercapai dengan adanya pendidikan bagi kaum wanita yang memegang peran penting sebagai seorang Ibu yang kelak menjadi contoh bagi anak-anaknya. Pemikiran tersebut ia sampaikan dalam sebuah suratnya:
"Kami disini memohon diusahakannya pengajaran dan pendidikan anak-anak wanita, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak wanita itu menjadi saingan laki-laki dalam hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya yang diserahkan alam (sunnatullah) sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama," (Kepada Tuan Prof. Dr. G.K. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902)
Surat-surat Kartini dan sahabat-sahabatnya terangkum dalam buku "Door Duisternis Tot Licht" yang diterjemahkan Armijn Pane menjadi "Habis Gelap Terbitlah Terang"
Kartini dan Agama
Agama tentunya menjadi landasan pemikiran Kartini untuk berjuang atas hak kaum Wanita. sebagai  muslimah ia melaksanakan salat, puasa, zakat, dan kewajiban-kewajiban lainnya yang harus ditunaikan. Ibunda Kartini, Nyai Ngasirah yang dibesarkan dalam lingkungan taat agama sedikit banyak berkontribusi atas pendidikan agama Kartini, disamping adanya guru agama yang memberinya arahan.Â
Namun tidak terelakkan pula nuansa ideologi kolonial berperan aktif dalam jalan pikirannya, jika ditilik dari statusnya sebagai bangsawan, maka sebuah keniscayaan lingkup sosialnya berdekatan dengan orang-orang Belanda.
Kartini sempat mengkritik agama yang dianutnya, ia mengatakan agama Islam yang dianutnya adalah karena turunan nenek moyangnya, ia juga menanyakan bagaimana caranya ia mencintai agamanya, sedangkan Al-Qur'an yang menjadi pedomannya saja katanya terlalu suci untuk diterjemahkan?.
Pada masa Kartini Al-Qur'an memanglah benda suci yang disakralkan. Sedangkan kebijakan sakralisasi Al-Qur'an tersebut dibawa oleh Snouck Hurgronje, penasehat pemerintah kolonial yang pernah belajar di Makkah, dan datang ke Jawa dengan nama Syaikhul Islam Jawa, seorang peneliti Belanda, P. Sj. van Koningsveld berpandangan bahwa keislaman Snouck hanyalah kepura-puraan belaka.Â