Mohon tunggu...
Kharisa Marifatul Khusna
Kharisa Marifatul Khusna Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa STAI Al Anwar Prodi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir

Penuntut Ilmu, Musafir Peradaban

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

RA Kartini dalam Bingkai Religi dan Emansipasi

6 November 2024   15:21 Diperbarui: 16 November 2024   15:26 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebuah hal yang wajib kita sadari dan syukuri pada abad ke-20 ini adalah nikmat kebebasan dalam mengenyam pendidikan tanpa adanya marginalisasi kaum strata tertentu atau berdasarkan gender. Segala privilege dan kesejahteraan yang kita dapati sekarang sejatinya tidak terlepas dari kontribusi seorang wanita muda yang telah melancarkan perjuangannya dalam serambi kolonialisme. 

Cita-citanya yang mulia dihadapkan pada norma kolonial dan adat masyarakat yang tidak memihaknya. Namun kepedulian dan kecintaan yang dimilikinya atas bangsa (pribumi) mampu mengatasi segala keterbatasan yang ada. Disisi lain, rupanya Agama Islam yang dianutnya menjadi faktor pembangun dan landasan bagi langkah perjuangannya.

Biografi Singkat Kartini

Ialah Raden Ayu Adipati Kartini Djojoadhiningrat atau lebih sering dikenal dengan R.A Kartini. Seorang visioner, pelopor emansipasi wanita, sosok pejuang yang semasa hidupnya gigih memperjuangkan keadilan bagi pribumi serta menjadi garda terdepan memperjuangkan kesetaraan hak wanita, khususnya dalam hal Pendidikan.

 Atas perjuangannya tersebut Presiden pertama Indonesia, Soekarno dalam Surat Keputusan Presiden RI Nomor 108 Tahun 1964 tanggal 2 Mei 1964 menetapkan Kartini sebagai pahlawan nasional serta menetapkan tanggal lahirnya, yakni 21 April diperingati sebagai "Hari Kartini".

Kartini lahir di Jepara pada tanggal 21 April 1879, ia dilahirkan dalam keluarga yang berlatar belakang priyayi. Ayah Kartini, R.M Sosroningrat berasal dari golongan priyayi atau kelas bangsawan jawa, R.M Sosroningrat ialah seorang patih yang kemudian juga menjabat sebagai bupati Jepara. sedangkan Ibu kandung Kartini, Nyai Ngasirah putri dari seorang guru agama Islam yang sangat dihormati di Telukawur, Jepara.

Terlahir sebagai keturunan priyayi menjadi alasan diperbolehkannya Kartini untuk mengenyam pendidikan, yang mana pada masa kolonial Pendidikan hanya diperuntukkan bagi anak-anak Belanda dan priyayi. Semasa hidupnya Kartini sempat bersekolah di ELS (Europes Legare School), sekolah pendidikan dasar Eropa.

Sejarah Pemikiran Kartini

Kartini ialah seorang yang kritis dan berpikiran terbuka, hal tersebut merupakan buah dari lingkungan sosial dan pengalaman belajarnya di ELS. Kartini sangat mencintai dan menyadari pentingnya Pendidikan, bahkan setelah lulus ELS ia meminta ayahnya untuk melanjutkan pendidikan menengah di Semarang. Namun permintaan tersebut tidak dapat terkabul karena usia Kartini menginjak 12,5 tahun sehingga ia diwajibkan untuk mengikuti adat Jawa bagi wanita yang memasuki masa remaja, yakni pingitan.

Rupanya pingitan bukanlah seutuhnya jeruji penjara bagi Kartini. Hal tersebut justru membuat Kartini lebih memahami keadaan lingkungan sosial pribumi kala itu, khususnya wanita. Persoalan yang jamak dihadapi wanita Jawa adalah pingitan, poligami, dan kebodohan. Persoalan-persoalan tersebut jelas memperlihatkan kedudukan wanita yang berada dalam kuasa patriarki, adat yang memperbodoh kaum wanita, dan menghambat kebebasan kaum wanita untuk menentukan nasibnya sendiri sebagai manusia yang merdeka.

Selama masa pingitan Kartini tetap berusaha menambah wawasan dengan menghubungi sahabat-sahabat Belandanya agar mengirimkan surat, koran, dan sebagainya untuk bahan bacaan. Beberapa buku yang dibaca Kartini adalah Minnebrieven karya Multatuli, dan De Vrouw en Sosialisme (Wanita dan sosialisme) karya August Bebel.

 Bacaan-bacaan tersebut menambah wawasan Kartini tentang kolonialisme sekaligus menjadi media yang memberinya ilham untuk memperjuangkan emansipasi Wanita. Disisi lain, ideologi para sahabatnya turut mempengaruhi pemikiran Kartini, salah seorang sahabatnya ialah Stella Zeehandelaar, sahabat pena Kartini yang merupakan aktivis penyuara hak Wanita di Eropa.

Hasratnya yang menggebu-gebu untuk memberontak terhalang oleh keadaan kala itu yang tidak memungkinkan Kartini untuk menyuarakan kegundahan dan gagasannya secara langsung, ia menyiasati hal tersebut dengan berusaha berkirim surat pada sahabat-sahabatnya. Dalam sebuah surat ia meluapkan kegundahannya mengenai nasib kaum wanita yang terkungkung oleh adat.

"Kami, gadis-gadis masih terantai kepada adat istiadat lama, hanya sedikitlah memperoleh bahagia dari kemajian pengajaran itu. Kami anak perempuan pergi belajar ke sekolah, keluar rumah tiap-tiap hari, demikian itu saja sudah dikatakan amat melanggar adat." (Kepada Nona Zeehandelaar, Jepara, 25 Mei 1899)

Dengan ketajaman berpikir dan keluasan pengetahuan yang Kartini miliki, ia sadar betul bahwa kualitas, nasib, dan kedudukan wanita menjadi tolak ukur kemajuan bangsa. Ia yakin kemajuan bangsa Jawa akan tercapai dengan adanya pendidikan bagi kaum wanita yang memegang peran penting sebagai seorang Ibu yang kelak menjadi contoh bagi anak-anaknya. Pemikiran tersebut ia sampaikan dalam sebuah suratnya:

"Kami disini memohon diusahakannya pengajaran dan pendidikan anak-anak wanita, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak wanita itu menjadi saingan laki-laki dalam hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya yang diserahkan alam (sunnatullah) sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama," (Kepada Tuan Prof. Dr. G.K. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902)

Surat-surat Kartini dan sahabat-sahabatnya terangkum dalam buku "Door Duisternis Tot Licht" yang diterjemahkan Armijn Pane menjadi "Habis Gelap Terbitlah Terang"

Kartini dan Agama

Agama tentunya menjadi landasan pemikiran Kartini untuk berjuang atas hak kaum Wanita. sebagai  muslimah ia melaksanakan salat, puasa, zakat, dan kewajiban-kewajiban lainnya yang harus ditunaikan. Ibunda Kartini, Nyai Ngasirah yang dibesarkan dalam lingkungan taat agama sedikit banyak berkontribusi atas pendidikan agama Kartini, disamping adanya guru agama yang memberinya arahan. 

Namun tidak terelakkan pula nuansa ideologi kolonial berperan aktif dalam jalan pikirannya, jika ditilik dari statusnya sebagai bangsawan, maka sebuah keniscayaan lingkup sosialnya berdekatan dengan orang-orang Belanda.

Kartini sempat mengkritik agama yang dianutnya, ia mengatakan agama Islam yang dianutnya adalah karena turunan nenek moyangnya, ia juga menanyakan bagaimana caranya ia mencintai agamanya, sedangkan Al-Qur'an yang menjadi pedomannya saja katanya terlalu suci untuk diterjemahkan?.

Pada masa Kartini Al-Qur'an memanglah benda suci yang disakralkan. Sedangkan kebijakan sakralisasi Al-Qur'an tersebut dibawa oleh Snouck Hurgronje, penasehat pemerintah kolonial yang pernah belajar di Makkah, dan datang ke Jawa dengan nama Syaikhul Islam Jawa, seorang peneliti Belanda, P. Sj. van Koningsveld berpandangan bahwa keislaman Snouck hanyalah kepura-puraan belaka. 

Mengenai pemikiran-pemikiran dan nasehat Snouck Hurgronje pada pemerintah kolonial lebih lengkapnya dapat dibaca di buku Politik Islam Hindia Belanda karya Dr. Aqib Suminto, (Jakarta: LP3ES, 1985).

Kartini mulai menjumpai titik terang atas agama yang diyakininya saat ia menghadiri pengajian pada tahun 1901 di rumah pamannya, Pangeran Ario Hadiningrat Bupati Demak. Disana ia bertemu dengan Kiai Sholeh Darat yang memberikan kajian tafsir surah Al-fatihah. Kartini sungguh sangat tertarik dengan Kiai Sholeh Darat dan kajian yang disampaikannya. Bahkan setelah pengajian ia meminta pamannya untuk menemaninya menemui Kiai Sholeh Darat.

Kartini menyampaikan rasa takjubnya atas tafsiran Al-fatihah dan bertanya mengapa Al-Qur'an tidak boleh ditafsirkan padahal Al-Qur'an adalah bimbingan hidup Bahagia dan Sejahtera bagi manusia. Perkataan Kartini membuat Kiai Sholeh Darat tertegun, dan beliau bertekad untuk menerjemahkan Al-Qur'an kedalam Bahasa Jawa. Namun baru tercapai 13 Juz tafsiran tersebut, Kiai Sholeh Darat sudah lebih dulu dipanggil ke Rahmatullah. Kitab tafsir pertama di Jawa ini dinamakan Faidlur Rahman, yang kemudian dihadiahkan untuk pernikahan Kartini.

Dalam pencariannya atas agama Islam, Kartini menemukan bahwa dalam agama, laki-laki dan Perempuan memiliki kedudukan yang sama, tidak ada pengunggulan atas satu dan perendahan atas yang lain. Hal tersebut sesuai dengan pemikirannya. Kartini juga menyetujui bahwa dalam agama, menuntut ilmu adalah hak dan kewajiban bagi setiap manusia. Kartini hanya tidak menyetujui poligami, tetapi ia tidak membenci Islam dan tetap memegang teguh ajarannya.

Kartini semakin mengenal Islam dan Al-Qur'an, dalam sebuah suratnya ia menuliskan tekadnya yang mulia, "Saya bertekad dan berupaya memperbaiki citra Islam, yg selama ini kerap menjadi sasaran fitnah. Semoga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat agama lain memandang Islam sebagai agama yang disukai." (Kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902). Yang menakjubkan lagi, ia menuliskan: "Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu Hamba Allah."(Kepada Ny. Abendanon, 1 Agustus 1903)

Tercerahinya pandangan Kartini akan agama Islam menghasilkan energi pembangun dalam diri Kartini, bermula dari pertemuannya dengan Kiai Sholeh Darat, dilanjut dengan usahanya yang seksama mendalami agama Islam tahap demi tahap. Kiprah juangnya mengangkat hak Wanita sama dengan ia menegakkan ajaran agama Islam yang dipelajarinya. Maka Agama menjadi ruh dalam perjuangannya.

Sebuah Keselarasan

Pada mulanya latar belakang Kartini memperjuangkan hak wanita adalah karena ia menyaksikan kesengsaraan wanita pribumi dalam kungkungan adat dan kebodohan. Semangat juangnya kian membara didukung dengan pengaruh rekan-rekan Eropa nya yang membawa ideologi feminisme (ideologi yang memperjuangkan kesetaraan gender dan hak Perempuan). 

Rupanya persoalan wanita pribumi kala itu tidak terlepas dari pengaruh agama Islam yang belum dipelajari dengan benar. Kemudian berangkat dari pertemuannya dengan Kiai Sholeh Darat, Kartini mulai mempelajari Agama Islam dengan benar, ia menemukan keselarasan pemikirannya dengan ajaran agama, seolah ajaran agama Islam memperkuat pendapatnya tentang kesamaan hak wanita dan pria khususnya dalam menuntut ilmu.

Dapat ditarik Kesimpulan bahwa ajaran Agama Islam menjadi bandul perjuangan untuk kebebasan kaum Wanita, sebagaimana praktik Kartini dalam memperjuangkan hak wanita yang berlandaskan agama Islam. Dan juga sesuai dengan teori Teologi Pembebasan yakni upaya untuk mengaplikasikan ajaran agama pada masalah konkret di lingkungan sosial.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun