Dalam setiap periode peralihan, status individu tidaklah jelas dan terdapat keraguan akan peran yang harus dilakukan. Pada masa ini remaja bukanlah seorang anak dan juga bukan orang dewasa. Kalau remaja berprilaku seperti anak-anak, ia akan diajari untuk bertindak sesuai umurnya. Kalau remaja berprilaku seperti orang dewasa, ia sering kali dituduh terlalu besar untuk usianya.
      Ketiga, masa remaja sebagai periode perubahan. Selama awal masa remaja, ketika perubahan fisik terjadi dengan pesat, perubahan perilaku dan sikap juga berlangsung pesat. Kalau perubahan fisik menurun maka perubahan sikap dan perilaku menurun juga. Ada empat perubahan yang sama yang hampir bersifat universal. (1) meningginya emosi, yangintensitasnya bergantung pada tingkat perubahan fisik dan psikologis yang terjadi. (2) perubahan tubuh, minat dan peran yang diharapkan oleh kelompok sosial untuk dipesankan, menimbulkan masalah baru. Bagi remaja muda, masalah baru yang timbul tanpaknya lebih banyak dan terasa lebih sulit diselesaikan dibandingkan masalah yang dihadapi sebelumnya. (3) dengan berubahnya minat dan pola perilaku, maka nilai-nilai juga berubah. Apa yang dimasa kanak-kanak dianggap penting, sekarang setelah hampir dewasa tidak penting lagi. sekarang mereka mengerti bahwa kualitas lebih penting dari pada kuantitas. (4) sebagian besar remaja bersikap ambivalen terhadap setiap perubahan. Mereka menginginkan dan menuntut kebebasan, tapi mereka sering takut bertanggung jawab akan akibatnya dan meragukan kemampuan mereka untuk dapat mengatasi tanggung jawab tersebut.
      Keempat, masa remaja sebagai usia bermasalah. Setiap periode mempunyai masalahnya sendiri-sendiri, namun masalah masa remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi baik oleh anak laki-laki maupun anak perempuan. Terdapat dua alasan bagi kesulitan itu. Pertama, sepanjang masa kanak-kanak, masalah anak-anak sebagian diselesaikan oleh orang tua dan guru-guru, sehingga kebanyakan remaja tidak berpengalaman dalam mengatasi masalah. Kedua, karena para remaja merasa diri mandiri, sehingga mereka ingin mengatasi masalahnya sendiri, menolak bantuan orang tua dan guru-guru.
      Kelima, masa remaja sebagai masa mencari identitas. Pada tahuntahun awal masa remaja, penyesuaian diri dengan kelompok masih tetap penting bagi anak laki-laki dan perempuan. Lambat laun mereka mendambakan identitas diri dan tidak puas lagi dengan menjadi sama dengan teman-teman dalam segala hal, seperti sebelumnya.
      Seperti dijelaskan Erikson bahwa identitas diri yang dicari remaja berupa usaha untuk menjelaskan siapa dirinya, apa peranannya dalam masyarakat. Apakah ia seorang anak atau seorang dewasa? Apakah nantinya ia dapat menjadi seorang suami atau ayah? Apakah ia mampu percaya diri sekalipun latar belakang ras atau agama atau nasionalnya membuat orang merendahkannya? Secara keseluruhan, apakah ia akan berhasil atau gagal?
      Erikson selanjutnya menjelaskan bagaimana pencarian identitas diri mempengaruhi perilaku remaja. Dalam usaha mencari perasaan kesinambungan dan kesamaan yang baru, para remaja harus memperjuangkan kembali perjuangan tahun-tahun lalu, meskipun untuk melakukannnya mereka harus menunjuk secara artifisial orang-orang yang baik hati untuk berperan sebagai musuh, dan mereka selalu siap untuk menempatkann idola dan ideal mereka sebagai pembimbing dalam mencapai identitas akhir. Identifikasi yang sekarang terjadi dalam bentuk identitas ego adalah lebih dari sekedar penjumlahan identifikasi masa kanak-kanak.
      Pertama, masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan, seperti ditunjukkan oleh Majeres. Menurutnya banyak anggapan populer tentang remaja yang mempunyai arti yang bernilai, dan sayangnya, banyak diantaranya yang bersifat negatif. Anggapan stereotip budaya bahwa remaja adalah anak-anak yang tidak rapi, yang tidak dapat dipercaya dan cenderung merusak dan berperilaku merusak, menyebabkan orang dewasa yang harus membimbing dan mengawasi kehidupan remaja muda takut bertanggung jawab dan bersikap tidak simpatik terhadap perilaku remaja yang normal. Stereotip populer juga mempengaruhi konsep diri dan sikap remaja terhadap dirinya sendiri. Dalam membahas masalah stereotip budaya remaja, Anthony menjelaskan bahwa stereotip juga berfungsi sebagai cermin yang ditegakkan masyarakat bagi remaja, yang menggambarkan citra diri remaja sendiri yang lambat laun dianggap sebagai gambaran yang asli dan remaja membentuk perilakunya sesuai dengan gambaran ini.
      Kedua, masa remaja sebagai masa yang tidak realistik. Remaja cenderung memandang kehidupan melalui kaca berwarna merah jambu. Ia melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagaimana yang ia inginkan dann bukan sebagaimana adanya, terlebih dalam hal cita-cita. Cita-cita yang tidak relistik ini, tidak hanya bagi dirinya sendiri tetapi juga bagi keluarga dan teman-temannya, menyebabkan meningginya emosi yang merupakan ciri dari awal masa remaja. Semakin tidak realistik cita-citanya semakin ia menjadi marah. Remaja akan sakit hati dan kecewa apabila orang lain mengecewakannya atau kalau ia tidak berhasil mencapai tujuanyang ditetapkannya sendiri.
      Ketiga, masa remaja sebagai ambang masa dewasa. Dengan semakin mendekatnya usia kematangan yang sah, para remaja menjadi gelisah untuk meninggalkan stereotip belasan tahun dan untuk memberikan kesan bahwa mereka sudah hampir dewasa. Pada fase ini remaja setidaknya memerlukan beberapa hal, di antaranya: kebutuhan umum sebagaimana layaknya manusia pada umumnya. Baik anak-anak, orang dewasa, maupun para remaja merasakan kebutuhan untuk mencintai dan dicintai, ingin memiliki pengalaman-pengalaman baru, ingin memperoleh pengenalan dan pengakuan, ingin menjadi seorang yang berdiri sendiri, dan ingin memuaskan kebutuhan-kebutuhann jasmaniah. Ada juga kebutuhan akan identitas. Menurut penelitian Ericson, Eisenberg, Glasser, Mead, Shore, dan Massimo identitas merupakan kebutuhan yang sangat besar pada para remaja. Mereka ingin memiliki sesuatu, ingin berbeda, ingin dikenal, dan ingin merasakan kehadirannya. Banyak perasaan tidak berharga yang dirasakan para remaja dapat dihindarkan dengan cara memberi mereka tanggung jawab tertentu sehingga mereka merasa dirinya penting. Terakhir ada kebutuhan akan bantuan orang dewasa. Pertumbuhan berciri kemajuan(progression) dan kemuduran (regression). Pada suatu saat para remaja ingin mempertahankan haknya untuk bertindak berdasarkan keputusannya sendiri tanpa campur tangan orang dewasa. Pada saat lain mereka membutuhkan nasihat serta bimbingan dan penyuluhan orang dewasa. Beberapa orang tua ada yang sabar dan cukup mengerti terhadap sikap remaja yang tidak konsisten ini.
      Aspek psikis manusia pada dasarnya merupakan satu kesatuan dengan sistem biologis. Sebagai subsistem dari eksistensi manusia, maka aspek psikis selalu berinteraksi dengan keseluruhan aspek kemanusiaan. Karena itulah aspek psikis tidak dapat dipisahkan dari aspek yang lain dalam melihat manusia. Hal-hal semacam ini sangat memberikan dampak yang mendalam terhadap perkembangan mental remaja, terutama dalam proses pembelajaran, pengalaman serta faktor-faktor lain yang berkenaan dengan psikologisnya.
      Pengalaman menjadi satu hal yang sangat mahal bagi remaja. Dari pengalaman remaja membaca hidup dan mengunduh pelbagai nilai kehidupan sebagai bekal untuk masa depannya. Segala macam pengalaman yang dilalui merupakan bagian penting dan tidak bisa dipandang remeh utamanya dalam urusan yang membentuk mental individu di kemudian hari. Oleh kerena itulah para sarjana seperti Sigmund Freud, John Bowlby, Erik Erikson merusmuskan pelbagai teorinya. Nama yang disebut pertama mencetuskan teori yang kemudian hari menjadi cikal bakal salah satu arus utama psikologi, psikoanalisa. Dalam psikoanalisa Freud menekankan tiga elemen mendasar dalam diri manusia yang saling terkait satu sama lainnya: id, ego dan super ego.