Mohon tunggu...
khalisha wafix azizah
khalisha wafix azizah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi institut teknologi bisnis ahmad dahlan jakarta

saya mahasiswa dari ITB Ahmad Dahlan Jakarta, mengambil jurusan manajemen S-1. hobi saya membaca komik dan mendengarkan musik

Selanjutnya

Tutup

Financial

Peran OJK Dalam Menangani Kredit Macet di Indonesia

12 Desember 2024   20:45 Diperbarui: 12 Desember 2024   21:26 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Kredit macet, juga dikenal sebagai Non-Performing Loan (NPL), adalah istilah yang merujuk pada pinjaman yang tidak dapat dibayar kembali oleh debitur dalam waktu yang telah disepakati.Fenomena ini menjadi salah satu tantangan utama dalam sektor perbankan dan lembaga keuangan di Indonesia.Kredit macet tidak hanya merugikan lembaga keuangan, tetapi juga dapat berdampak pada stabilitas ekonomi nasional. Ketika banyak pinjaman yang macet, lembaga keuangan akan mengalami kesulitan likuiditas, yang pada gilirannya dapat menyebabkan pengetatan kredit di pasar.Hal ini berdampak pada pertumbuhan ekonomi, karena perusahaan dan individu yang membutuhkan dana tidak dapat mengakses pembiayaan yang diperlukan untuk menjalankan usaha atau memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Di tengah tantangan yang dihadapi, peran OJK dalam menangani kredit macet menjadi sangat penting untuk menggambarkan bagaimana lembaga ini berkontribusi dalam menjaga stabilitas sistem keuangan di Indonesia dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.Didirikan pada tahun 2011, OJK bertanggung jawab untuk mengatur dan mengawasi sektor jasa keuangan di Indonesia, termasuk perbankan, asuransi, pasar modal, dan lembaga pembiayaan.Salah satu fokus utama OJK adalah untuk mencegah dan menangani masalah kredit macet, yang dapat mengancam kesehatan lembaga keuangan dan perekonomian secara keseluruhan.

Dalam konteks ini, OJK tidak hanya berperan sebagai pengawas, tetapi juga sebagai mediator dan fasilitator dalam mengatasi permasalahan yang muncul.Melalui regulasi dan kebijakan yang diterapkan, OJK berupaya menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan kredit yang sehat, sekaligus melindungi kepentingan debitur dan kreditur.Dengan demikian, pemahaman tentang peran OJK dalam menangani kredit macet menjadi sangat penting untuk menggambarkan bagaimana lembaga ini berkontribusi dalam menjaga stabilitas sistem keuangan di Indonesia dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Dengan latar belakang tersebut, artikel ini akan membahas lebih dalam mengenai berbagai langkah yang diambil oleh OJK dalam menangani kredit macet di Indonesia, serta tantangan yang dihadapi dalam implementasi kebijakan-kebijakan tersebut.

Data - data terkait kredit macet di Indonesia.

Berikut adalah data terbaru terkait jumlah kredit macet di Indonesia:

1. Kredit Macet UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah): Hingga April 2024, total bank debet kredit UMKM mencapai Rp1.461 triliun, dengan nilai kredit macet (Non-Performing Loan/NPL) sebesar Rp62,23 triliun, atau sekitar 4,26%. Rasio ini adalah yang tertinggi dalam dua tahun terakhir.

2. Kredit Macet Bank Perkreditan Rakyat (BPR): Pada Mei 2024, rasio NPL BPR mencapai 11,37ngan nilai Rp16,37 triliun dari total kredit yang disalurkan sebesar Rp143,92 triliun.Ini mencatatkan rekor tertinggi dalam lima tahun terakhir untuk sektor BPR

3. Sektor Perbankan Secara Umum: Rasio NPL di sektor perbankan nasional berada di kisaran 2,5%-3%, sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Namun, peningkatan kredit macet ini dipengaruhi oleh perlambatan ekonomi dan daya beli masyarakat yang melemah.

OJK terus berupaya menekan angka kredit macet dengan regulasi, seperti penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) untuk hapus buku kredit macet UMKM dan penutupan beberapa BPR yang bermasalah.

Berikut beberapa peran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai lembaga pengawas dan pengatur sektor jasa keuangan di Indonesia : 

1. Peran OJK dalam Pengawasan Kredit: Salah satu tugas utama OJK adalah melakukan pengawasan terhadap lembaga keuangan, termasuk bank dan perusahaan pembiayaan.

Untuk memastikan bahwa pemberian kredit dilakukan sesuai dengan prinsip kehati-hatian. Melalui peraturan yang ketat, OJK menetapkan batas maksimum pemberian kredit dan menuntut bank untuk melakukan penilaian risiko secara menyeluruh sebelum memberikan pinjaman. Hal ini bertujuan untuk mengurangi risiko kredit macet sejak awal.

2. Peningkatan Kepatuhan Bank terhadap Prinsip Prudensial: OJK mendorong penerapan prinsip kehati-hatian (prudensial) dalam proses pemberian kredit. Hal ini melibatkan analisis kelayakan kredit yang ketat, termasuk penilaian terhadap kemampuan dan karakter debitur. Dengan pendekatan ini, diharapkan bank dapat menyalurkan kredit hanya kepada pihak yang benar-benar mampu membayar.

3. Penyediaan Data dan Informasi Debitur: Melalui Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK), OJK menyediakan data riwayat kredit debitur yang dapat diakses oleh lembaga keuangan. Informasi ini membantu bank dalam mengevaluasi kelayakan debitur sebelum memberikan pinjaman.

4.Penyelesaian Kredit Bermasalah: OJK juga menyediakan pedoman bagi bank untuk menangani kredit bermasalah. Salah satu pendekatan yang digunakan adalah restrukturisasi kredit, di mana bank dapat memberikan keringanan seperti perpanjangan jangka waktu pembayaran atau pengurangan bunga kepada debitur yang menghadapi kesulitan keuangan. Selain itu, OJK mendorong kerja sama antara bank dan lembaga keuangan non-bank dalam proses penyelesaian kredit macet. Contohnya: pembentukan asset management company (AMC) atau perusahaan pengelola aset yang dapat membantu mengambil alih kredit bermasalah dan mengelola aset terkait.

5. Restrukturisasi Kredit: Dalam situasi di mana kredit macet sudah terjadi, OJK berperan aktif dalam memfasilitasi restrukturisasi kredit. OJK memberikan panduan bagi lembaga keuangan untuk merumuskan strategi restrukturisasi yang dapat membantu debitur yang mengalami kesulitan finansial. Melalui program ini, debitur dapat diberikan kelonggaran dalam pembayaran angsuran, yang diharapkan dapat mencegah terjadinya kredit macet yang lebih luas.

6.Inovasi dan Teknologi: Dalam era digital, OJK mendorong bank untuk memanfaatkan teknologi dalam memantau risiko kredit. Dengan sistem digital, data nasabah dapat dianalisis lebih cepat untuk mendeteksi potensi kredit macet. OJK juga bekerja sama dengan fintech untuk menciptakan ekosistem keuangan yang lebih inklusif dan terkendali.

7. Koordinasi dengan Lembaga Keuangan: OJK juga melakukan koordinasi dengan lembaga-lembaga keuangan untuk memantau perkembangan kredit macet di Indonesia. Dengan adanya data yang akurat dan terkini, OJK dapat merumuskan kebijakan yang tepat untuk mengatasi masalah ini. Koordinasi ini juga mencakup kerjasama dengan Bank Indonesia, yang bertujuan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan.

8. Edukasi dan Perlindungan Konsumen: OJK tidak hanya fokus pada pengawasan bank, tetapi juga memberikan edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya literasi keuangan. Melalui program edukasi ini, masyarakat diajarkan untuk memahami risiko pinjaman dan mengelola keuangan dengan lebih bijak. OJK juga menyediakan layanan pengaduan bagi konsumen yang menghadapi masalah dengan lembaga keuangan.

9. Upaya Pencegahan Sistemik: OJK bekerja sama dengan Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan untuk memantau stabilitas keuangan nasional. Kolaborasi ini memastikan bahwa dampak kredit macet tidak menyebar dan mengganggu sektor keuangan lainnya.

10. Pendidikan dan Literasi Keuangan: Selain pengawasan, OJK juga berperan dalam meningkatkan literasi keuangan masyarakat. Dengan meningkatkan pemahaman masyarakat tentang produk keuangan dan manajemen utang, OJK berharap masyarakat dapat membuat keputusan keuangan yang lebih baik. Program-program edukasi yang dilaksanakan oleh OJK, seperti seminar dan workshop, bertujuan untuk memberikan pengetahuan tentang pengelolaan keuangan yang sehat.

Dampak Kebijakan OJK terhadap Kredit Macet.

Kebijakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam menangani kredit macet telah memberikan berbagai dampak positif bagi sistem keuangan Indonesia. Berikut adalah penjelasan lebih rinci mengenai dampak-dampaknya:

1. Stabilitas Rasio Kredit Bermasalah (Non-Performing Loan/NPL): Melalui kebijakan pengawasan dan restrukturisasi kredit, OJK berhasil menjaga rasio NPL perbankan tetap rendah dan stabil, di bawah 5%. Ini merupakan angka yang dianggap aman oleh standar internasional.

Fakta Data: Berdasarkan laporan OJK pada akhir 2023, rasio NPL perbankan berada di angka 2,5%, lebih rendah dibandingkan beberapa negara di kawasan Asia Tenggara. Penjelasan: Kebijakan restrukturisasi kredit memberikan ruang bagi debitur untuk menyesuaikan kewajiban pembayaran, sehingga risiko gagal bayar dapat ditekan.

2. Dukungan bagi Sektor Terdampak Pandemi: Kebijakan restrukturisasi yang bersifat sektoral dan berbasis risiko memberikan prioritas kepada sektor yang paling terdampak pandemi, seperti pariwisata dan manufaktur. Hal ini tidak hanya mengurangi potensi kebangkrutan perusahaan tetapi juga membantu mempertahankan lapangan kerja dan mendukung perekonomian

3. Meningkatnya Likuiditas dan Kepercayaan Perbankan: Kebijakan OJK memastikan bahwa perbankan memiliki cadangan yang memadai untuk mengantisipasi potensi kerugian akibat kredit macet.

Fakta Data: Program restrukturisasi kredit selama pandemi COVID-19, yang diperpanjang hingga 2024, memberikan dampak positif dengan menjaga rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) bank rata-rata di atas 20%

Penjelasan: Likuiditas yang stabil ini menciptakan kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan, yang sangat penting untuk menjaga stabilitas ekonomi nasional.

4. Meningkatkan Akses Pembiayaan Untuk menjaga inklusi keuangan: OJK bekerja sama dengan pemerintah daerah melalui Tim Percepatan Akses Keuangan Daerah (TPAKD). Upaya ini memfasilitasi penyaluran kredit baru secara lebih terarah, yang membantu pemulihan ekonomi sekaligus mengurangi risiko kredit macet di masa depan

5. Penurunan Jumlah Kredit Bermasalah:Kebijakan OJK dalam menerapkan tata kelola risiko kredit yang lebih ketat berhasil menurunkan jumlah kredit bermasalah secara bertahap. Fakta Data: Data OJK menunjukkan bahwa jumlah kredit bermasalah pada 2020 berada di angka Rp300 triliun, tetapi pada 2023 angka ini turun hingga 20% setelah kebijakan restrukturisasi diterapkan. Penjelasan: Program ini memberikan dampak langsung dengan membantu debitur yang menghadapi kendala keuangan, sehingga mereka tetap dapat memenuhi kewajibannya secara bertahap.

6. Memastikan Stabilitas Sistem Keuangan: Dengan pengawasan ketat terhadap rasio kecukupan modal (RBC) dan gearing ratio lembaga pembiayaan, OJK menjaga likuiditas dan kesehatan perbankan. Kebijakan ini memberikan keyakinan kepada pelaku usaha dan masyarakat bahwa sistem keuangan tetap stabil meskipun menghadapi tantangan ekonomi.

7. Perlindungan terhadap Sektor UMKM: Salah satu fokus kebijakan OJK adalah memberikan dukungan kepada pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia. Fakta Data: Berdasarkan laporan Kementerian Koperasi dan UKM, 70% kredit UMKM yang direstrukturisasi selama pandemi berhasil dipulihkan pada tahun 2023. Penjelasan: Dengan program restrukturisasi, UMKM yang semula terancam bangkrut mampu kembali beroperasi, sehingga membantu menjaga tingkat lapangan kerja dan kontribusi mereka terhadap ekonomi nasional.

8. Pemulihan Ekonomi yang Lebih Cepat: Kebijakan proaktif OJK dalam menangani kredit macet juga berkontribusi pada percepatan pemulihan ekonomi nasional pasca-pandemi.    Fakta Data: Bank Indonesia mencatat pertumbuhan kredit nasional meningkat sebesar 10,39% pada 2023, menunjukkan pemulihan yang solid. Penjelasan: menurunkan risiko kredit macet, perbankan dapat lebih leluasa menyalurkan kredit baru yang mendorong aktivitas ekonomi.

9. Inisiatif Edukasi Keuangan untuk jangka panjang: OJK juga aktif mengedukasi masyarakat melalui program literasi keuangan. Langkah ini bertujuan meningkatkan kesadaran masyarakat dalam mengelola utang, yang diharapkan dapat menurunkan risiko kredit bermasalah di masa depan.

Dampak kebijakan OJK terhadap kredit macet tidak hanya terbatas pada sektor perbankan tetapi juga pada perekonomian nasional secara keseluruhan. Kebijakan restrukturisasi dan pengawasan yang efektif memberikan stabilitas yang sangat dibutuhkan dalam menghadapi tantangan ekonomi global.

Kebijakan-kebijakan ini menunjukkan bahwa OJK tidak hanya berperan sebagai regulator, tetapi juga sebagai fasilitator pemulihan ekonomi dengan memastikan sektor jasa keuangan tetap tangguh dan inklusif. Untuk informasi lebih lengkap, silakan merujuk ke sumber resmi seperti laporan OJK di sini atau publikasi kebijakan terbaru.

Tantangan yang dihadapi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

Kredit macet atau Non-Performing Loan (NPL) merupakan salah satu tantangan utama dalam sektor perbankan Indonesia. Kredit macet terjadi ketika debitur gagal memenuhi kewajiban pembayaran pinjaman sesuai dengan perjanjian. Untuk menghadapi masalah ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memiliki peran strategis sebagai pengawas dan pengatur sistem keuangan di Indonesia

Berikut adalah penjelasan mengenai tantangan apa saja yang dihadapi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam menangani kredit macet:

1. Pemulihan Pascapandemi: OJK menghadapi dampak residual dari pandemi COVID-19, termasuk scarring effect (kerugian ekonomi jangka panjang) dan cliff effect (risiko kerugian setelah kebijakan restrukturisasi kredit berakhir). Hal ini membutuhkan penyesuaian kebijakan yang cermat untuk menghindari peningkatan kredit macet.

2. Ketidakpastian Ekonomi Global (VUCA): Volatilitas ekonomi global, ketidakpastian rantai pasok, dan inflasi tinggi menimbulkan tantangan bagi stabilitas perbankan. Ketidakpastian ini memengaruhi kemampuan debitur dalam memenuhi kewajiban mereka, yang berisiko meningkatkan kredit bermasalah.

3. Spillover Effect dari Kebijakan Ekonomi: Kenaikan suku bunga dan perlambatan ekonomi global memengaruhi daya beli masyarakat. Fenomena ini, yang dikenal sebagai spillover effect, turut menekan likuiditas dan kemampuan bayar kredit debitur

4. Digitalisasi dan Teknologi: Pesatnya perkembangan teknologi seperti supervisory technology dan digitalisasi layanan keuangan menuntut OJK untuk meningkatkan kapabilitas pengawasan. Ini diperlukan untuk memastikan bahwa risiko kredit macet dari pinjaman berbasis teknologi dapat dikelola dengan baik.

5. Keberlanjutan dan Perubahan Iklim: OJK mendorong perbankan untuk menerapkan prinsip keberlanjutan, seperti pengurangan emisi karbon. Namun, transisi ini memerlukan investasi besar yang berpotensi membebani lembaga keuangan, terutama pada sektor-sektor yang rentan terhadap kredit macet

6. Kendala Operasional pada Kredit Mikro: Rasio Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO) pada kredit mikro dan ultra mikro masih tinggi karena tingginya biaya penyaluran dan pengawasan. Hal ini meningkatkan risiko nonperforming loans (NPL) pada sektor ini.

Untuk mengatasi tantangan ini, OJK telah memperpanjang kebijakan restrukturisasi kredit hingga 2024 dan memperkuat tata kelola perbankan melalui regulasi serta pengawasan berbasis teknologi.

Strategi ini diharapkan mampu menekan tingkat kredit macet sekaligus menjaga stabilitas sektor keuangan di Indonesia.

Saran Ahli Terkait Kredit Macet di Indonesia.

Kredit macet atau Non-Performing Loan (NPL) menjadi perhatian serius dalam sistem perbankan Indonesia. Para ahli dari berbagai bidang memberikan beberapa saran strategis untuk mengatasi permasalahan kredit macet ini. Berikut adalah sarannya:

1. Penguatan Analisis Risiko Kredit Menurut Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae: Salah satu penyebab utama kredit macet adalah lemahnya analisis risiko dalam proses penyaluran kredit. Dan menekankan pentingnya penerapan teknologi analisis data untuk mengevaluasi kelayakan kredit. Dengan sistem ini, bank dapat memperoleh data yang lebih akurat mengenai kapasitas dan rekam jejak debitur sebelum pemberian pinjaman.

2. Restrukturisasi Kredit yang Tepat Sasaran dari Dr. Mirza Adityaswara: mantan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, menyoroti pentingnya kebijakan restrukturisasi kredit bagi sektor-sektor terdampak, seperti UMKM dan industri manufaktur. Restrukturisasi perlu dilakukan dengan penyesuaian tenor pembayaran, penurunan suku bunga, atau pemberian masa tenggang yang realistis untuk membantu debitur bangkit kembali.

3. Digitalisasi Proses Kredit dari Faisal Rachman: Ekonom Bank Mandiri, menekankan bahwa digitalisasi layanan keuangan dapat membantu menurunkan risiko kredit macet. Platform berbasis digital mampu memonitor pembayaran debitur secara real-time dan mendeteksi potensi gagal bayar lebih dini. Selain itu, fintech juga berperan penting dalam memberikan alternatif pendanaan dengan suku bunga yang lebih kompetitif.

4. Mendorong Penegakan Prinsip Prudensial dari Prof. Wimboh Santoso, Ketua Dewan Komisioner OJK: menggaris bawahi bahwa bank harus meningkatkan kepatuhan terhadap prinsip kehati-hatian (prudensial). Setiap pemberian kredit harus melalui proses due diligence yang komprehensif. Hal ini termasuk evaluasi aset yang dijadikan jaminan serta diversifikasi portofolio kredit untuk menghindari penumpukan risiko pada satu sector.

5. Edukasi dan Kesadaran Masyarakat: Edukasi finansial menjadi langkah penting untuk mencegah kredit macet, terutama di segmen UMKM. Menurut OJK banyak pengusaha kecil yang kurang memahami manajemen keuangan sehingga terjebak dalam pinjaman yang tidak produktif. Oleh karena itu, pemerintah dan bank perlu mengadakan program literasi keuangan secara massif.

Mengatasi kredit macet di Indonesia memerlukan pendekatan menyeluruh yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Penguatan analisis risiko, restrukturisasi kredit, digitalisasi, literasi keuangan, dan penegakan hukum adalah langkah-langkah strategis yang harus diambil secara bersamaan. Dengan kolaborasi yang solid, risiko sistemik akibat kredit macet dapat diminimalkan, sehingga mendukung stabilitas dan pertumbuhan ekonomi nasional.

Contoh kasus di Indonesia tentang seberapa negatifnya kredit macet.

Berikut adalah salah satu contoh dampak negatif dari kredit macet yang terjadi di Indonesia:

1. Kasus PT Hair Star Indonesia (HSI) dan Bank OCBC NISP: Kasus ini mencuat setelah PT HSI gagal memenuhi kewajibannya membayar utang senilai Rp232 miliar kepada Bank OCBC NISP. Dalam persidangan yang berlangsung pada Juli 2023, Bank OCBC NISP , Bank OCBC NISP menuntut pertanggungjawaban pemegang saham PT HSI, termasuk salah satu pemegang saham terbesarnya, Susilo Wonowidjojo, bos dari Gudang Garam. Pengalihan saham yang dilakukan oleh PT HSI tanpa persetujuan bank disebut sebagai bentuk tindakan melawan hukum, yang semakin memperburuk situasi kredit macet. Tindakan tersebut tidak hanya menyebabkan kerugian finansial bagi bank tetapi juga berisiko mengurangi kepercayaan publik terhadap kredibilitas institusi keuangan di Indonesia. Bank OCBC NISP telah mengajukan pembuktian hukum dan menuntut para pemegang saham untuk bertanggung jawab atas kerugian yang dialami.

2. Kredit Macet di Industri Pinjaman Online: Kredit macet juga menjadi masalah di sektor pinjaman online (fintech lending). Data terbaru pada Agustus 2024 mencatat bahwa 19 platform pinjaman online di Indonesia memiliki rasio kredit macet (TWP90) di atas 5%. Rasio ini menunjukkan jumlah kredit yang telah melewati 90 hari tanpa pembayaran, menandakan risiko tinggi pada sektor ini. Kredit macet semacam ini tidak hanya merugikan investor dan lender, tetapi juga menciptakan tekanan pada OJK untuk mengatur regulasi lebih ketat.

3. Dampak pada BUMN: Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI), salah satu BUMN, juga menghadapi masalah kredit macet yang signifikan. Pada 2023, rasio kredit macet bruto (gross NPL) LPEI melonjak dari 26,6% menjadi 43,5%. Meski upaya pemulihan seperti penagihan dan pelelangan aset terus dilakukan, kerugian akibat kredit macet mencapai angka triliunan rupiah. Ini mengakibatkan penurunan kepercayaan investor dan menimbulkan tekanan fiskal yang lebih besar bagi pemerintah.

Kasus-kasus ini menunjukkan bagaimana kredit macet dapat merugikan berbagai pihak, mulai dari bank, lender, hingga pemerintah. Situasi ini menyoroti perlunya penguatan regulasi, transparansi, dan pengawasan yang lebih ketat dalam manajemen kredit untuk mengatasi masalah ini.

Kesimpulan :

OJK memegang peranan penting dalam menangani kredit macet di Indonesia melalui pengawasan, restrukturisasi, penerapan teknologi, edukasi, dan kerja sama antar-lembaga. Langkah-langkah strategis ini tidak hanya membantu menjaga stabilitas sektor keuangan, tetapi juga mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, terutama melalui pengelolaan kredit macet yang berpotensi mengganggu kelangsungan operasional lembaga keuangan.

Kredit macet tidak hanya menjadi tantangan bagi bank besar, tetapi juga lembaga keuangan kecil seperti Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan platform financial technology (fintech). Oleh karena itu, peran OJK menjadi kunci dalam memastikan stabilitas sektor keuangan dan perlindungan konsumen.

OJK berupaya untuk menjaga kesehatan sektor keuangan. Dengan langkah-langkah ini, diharapkan kredit macet dapat diminimalisir, sehingga perekonomian Indonesia dapat tumbuh dengan stabil dan berkelanjutan.

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun