Mohon tunggu...
KHALIDA LUBABA SUFA
KHALIDA LUBABA SUFA Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pendidikan Biologi UIN Sunan Kalijaga

Aku suka membaca. Mostly bacaan fantasi, lil bit romance would be great! Aku juga suka membaca tentang kebiasaan hewan-hewan di bumi. Kalian tahu lumba-lumba? Mereka tidur dengan satu mata terbuka! Keren bukan?

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Child Marriage: Sebuah Kritik dalam Kacamata Bioetika

6 Juni 2022   11:36 Diperbarui: 6 Juni 2022   11:48 513
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: lawtimesjournal.in

Kita tahu bahwasanya pernikahan anak atau child marriage masih marak terjadi di Indonesia. Dalam Laporan Statistik Indonesia mencatat ada 1,74 juta pernikahan sepanjang 2021. 

Jumlah ini menurun 2,8% dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 1,79 juta pernikahan. Saking seringnya mendengar atau berada dalam situasi ini, kita seakan dipaksa berbaur dan menjadikannya sesuatu hal yang awam. Seolah-olah, child marriage is part of our life

Tren perennial ini memang masih banyak diterapkan di beberapa negara khususnya negara-negara berkembang seperti Indonesia. Memang, terdapat aturan pemerintah mengenai minimal usia seseorang untuk menikah yaitu di atas 18 tahun. 

Tapi dalam praktiknya, pernikahan anak ini banyak dilakukan secara illegal maksudnya adalah melalui agama atau culture di masing-masing daerah.

Dilansir oleh Plan International, alasan utama tingginya tingkat pernikahan anak ini adalah karena kurangnya akses ke pendidikan, peluang ekonomi dan layanan kesehatan, terutama bagi anak perempuan, serta kemiskinan yang ekstrem dan mekanisme hukum dan penegakan yang lemah. 

Menurut Mark Pierce, direktur regional Plan International untuk Asia, mengatakan: "Pada akhirnya, ketahanan pernikahan anak terletak pada diskriminasi gender yang mengakar, tetapi faktor ekonomi, ketergantungan ekonomi anak perempuan dan tradisi memainkan peran penting”. 

Tapi, pernahkah kalian berpikir jika memang alasan terbesar yang mendasari adanya pernikahan anak adalah kemiskinan, bukankah dengan menikahkan anak-anak yang bahkan belum bisa mencari uang sendiri dan masih membutuhkan pendidikan akan menghantarkan mereka kepada kemiskinan yang berujung? Ini tak lebihnya dari lingkaran setan.

Belum lagi masalah-masalah lain yang mengancam anak-anak ketika menikah, khususnya anak perempuan. Mereka belum matang baik secara fisik maupun mental. 

Bagaimana mereka survive ketika hamil, melahirkan dan membesarkan anak? Bahkan, menurut analisis baru Save the Children yang dirilis pada Hari Anak Perempuan Internasional terdapat lebih dari 22.000 anak perempuan diperkirakan meninggal setiap tahun akibat kehamilan dan persalinan sebagai akibat dari pernikahan anak. Angka yang sangat mengejutkan.  

Lalu, bagaimana bioetika memandang masalah ini? Apakah child marriage merupakan sesuatu yang dibenarkan secara etika? Is it morally right? Dan bagaimana seharusnya kita bersikap dalam menghadapi masalah ini?

Dalam bioetika, terdapat 15 prinsip yang harus dipertimbangkan ketika melakukan sesuatu yang menyangkut kemaslahatan manusia. Setidaknya ada 5 prinsip yang dilanggar yang oleh child marriage, yaitu:

  • Human Dignity and Human Rights

PBB dan lembaga internasional lainnya telah menyatakan bahwa pernikahan anak melanggar hak asasi manusia dan hak anak. Universal Deklarasi Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa individu harus dengan persetujuan dan usia yang penuh ketika memasuki pernikahan. Hal ini menyangkut hak anak dalam pendidikan, kesehatan jasmani maupun psikologi dan kesehatan keturunannya.

“Perkawinan anak dan paksa merupakan pelanggaran terhadap hampir semua hak asasi manusia,” kata Birga. “Ini merampas otonomi dan pilihan perempuan dan anak perempuan atas tubuh dan kehidupan mereka.”

Anak perempuan yang dipaksa kawin menjadi sasaran kehamilan dini, yang merugikan kesehatannya karena tubuhnya belum siap. Perkawinan anak juga berdampak besar pada pendidikan, karena anak perempuan sering dikeluarkan dari sekolah untuk dinikahkan atau putus sekolah setelah hamil.

“Ini melanggengkan siklus kemiskinan dan pengucilan,” kata Birga, Dewan Hak Asasi Manusia pada Juli 2015.

  • Benefit and Harm

Sama halnya dengan prinsip pertama, child marriage juga melanggar prinsip manfaat dan kekerasan. Kita pahami bahwasanya pernikahan anak bahkan tidak memberikan manfaat sebesar kerugian yang didapat oleh anak-anak. 

Boleh saja mereka terjamin mengenai harta dan lain sebagainya. Namun, ada kerugian pendidikan, kesehatan, psikologi, masa kanak-kanak yang mereka dapatkan ketika menikah dini. 

Kerugian ini dibebankan kepada siapa? Bukan orang tua mereka, bukan mertua mereka dan bukan suami mereka (jika menikah dengan orang dewasa). Semua itu dibebankan kepada mereka yang menikah belum pada waktunya.

  • Consent

Sering atau bahkan majority dari kasus child marriage ini adalah karena paksaan. Dan kebanyakan yang dipaksa adalah anak perempuan. Hal ini juga melanggar prinsip bioetika mengenai persetujuan, dimana diperlukan dan harus ada persetujuan dari pihak yang bersangkutan, tidak boleh diwakilkan walaupun oleh orang terdekat even orang tua. 

Mengapa? Sebab nantinya entah itu risiko atau manfaat yang akan datang akan ditangguhkan dan menjadi tanggung jawab oleh orang yang bersangkutan.

  • Equality, Justice and Equity

Prinsip yang kelima adalah kesetaraan dan keadilan. Tentu kalian tidak heran jika child marriage ini melanggar prinsip kesetaraan dan keadailan. 

Kesetaran, hal ini sebab kebanyakan kasus dalam pernikahaan anak ini dialami oleh anak-anak perempuan. Anak-anak perempuan sering kali dianggap tidak valuable, ditambah dengan anggapan kolot bahwa jika tidak segera menikah maka tidak ada yang mau menikahinya. Hal ini menguatkan keyakinan bahwa orientasi mereka sebagai perempuan adalah sebatas untuk menikah, hamil dan mempunyai anak.

Keadilan, semua anak-anak baik itu perempuan maupun laki-laki berhak mendapatakan keadilan baik dari segi pendidikan, kesehatan, kebahagian, mencapai cita-cita yang mereka mau, dll. yang mana faktor-faktor tersebut akan lenyap jika mereka melakukan child marriage.

  • Protecting Future Generation

Jika ingin generasi masa depan yang berkualitas, tentunya kita harus memperhatikan bagaimana generasi sebelumnya. Apakah juga berkualitas? Atau tidak?. Salah satu efek dari child marriage adalah lingkaran kemiskinan yang tidak akan berhenti. 

Bayangkan saja, bagaimana terbatasnya mereka dalam mendidik dan membesarkan anak ditengah-tengah kekurangan yang ada. Kemiskinan tidak akan bisa menjadikan generasi masa depan tumbuh dengan baik dan berkualitas. Mereka bahkan tidak tahu bisa makan atau tidak untuk esok hari, bagaimana dengan menempuh pendidikan?

Selain itu, anak-anak perempuan yang dinikahkan dini juga menjadi salah satu faktor yang mengancam berkualitasnya generasi masa depan. Banyak dari kasus yang dihasilkan seperti kematian ibu hamil atau kandungan, bayi stunting, kekerasan dalam rumah tangga, dll. apalagi mental mereka yang menjadi ibu sebelum waktunya belum matang sempurna. 

Coba bayangkan jika mereka membesarkan anak dengan mental yang unstable? Lalu jika anak-anak mereka dalam lingkungan keluarga yang berisi kekerasan? Atau bagaimana nasib bayi-bayi yang tidak lahir normal sebab memiliki ibu yang belum waktunya mengandung? Apakah hal tersebut menjamin bahwa anak-anak yang dihasilkan dari child marriage dapat tumbuh dengan baik dan berkualitas?

Sebab child marriage sudah mengakar dalam dalam kehidupan bermasyarakat, khususnya Indonesia, memang susah untung mencegah terjadinya pernikahan anak kecuali dengan kesadaran diri masing-masing. Dilansir dalam Plan International Canada dalam dalam artikelnya yang berjudul 5 Ways To End Child Marriage, disebutkan mengenai 5 cara untuk menghentikan pernikahan anak, yaitu:

  • Edukasi terhadap perempuan
  • Memberdayakan perempuan
  • Menggunakan masyarakat luas untuk membantu hak-hak perempuan
  • Memberikan peluang pendapatan wanita dan keluarga mereka
  • Mengajukan petisi terhadap pemerintah dan peningkatan mengenai hukum yang mendukung.

Dan cara yang paling ringan dan mudah dilakukan bagi kita semua adalah dengan terus-menerus mengedukasi mengenai bahaya akan pernikahan anak dan pentingnya menikah diusia matang, baik itu terhadap anak-anak (perempuan maupun laki-laki), orang tua, lingkungan sekitar, dsb.

https://stories.plancanada.ca/5-ways-to-end-child-marriage/

https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/02/26/tren-pernikahan-di-indonesia-kian-menurun-dalam-10-tahun-terakhir#:~:text=Jumlah%20Pernikahan%20di%20Indonesia%20(2011%2D2021)&text=Laporan%20Statistik%20Indonesia%20mencatat%20ada,mencapai%201%2C79%20juta%20pernikahan.

https://plan-international.org/news/2015/11/09/new-evidence-on-child-marriage-causes-and-solutions/

https://www.ohchr.org/en/stories/2016/11/child-and-forced-marriage-violation-human-rights#:~:text=In%20July%202015%2C%20the%20Human,human%20rights%2C%E2%80%9D%20says%20Birga.

https://www.savethechildren.net/news/child-marriage-kills-more-60-girls-day#:~:text=More%20than%20an%20estimated%2022%2C000,Day%20of%20the%20Girl%20reveals.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun