Teori-teori ini telah digunakan, diakui, dan diterapkan pada hukum Islam, terutama di Indonesia. Teori-teori inilah yang menunjukkan bahwa hukum Islam ada dan ada teorinya, dan Indonesia telah menerapkan teori itu. Sebaliknya, selama teori-teori ini masih dapat digunakan dan divalidasi, mereka dapat digunakan sebagai teori implementasi hukum Islam saat ini atau di masa mendatang.
Para pakar hukum Islam, juga dikenal sebagai pakar hukum, bervariasi dalam bagaimana mereka menerapkan berbagai teori yang berkaitan dengan hukum Islam. Juhaya S. Praja mengambil lima teori tentang bagaimana hukum Islam dapat diterapkan. Jaih Mubarok, salah satu murid Juhaya, mengambil tujuh teori tentang bagaimana hukum Islam diterapkan di Indonesia. Sebagai siswa keduanya, saya menganut enam teori: (1) teori credo atau syahadat; (2) teori receptie in complexu; (3) teori receptie; (4) teori receptie exit; (5) teori receptie a contrario; dan (6) teori receptie a contrario. Enam teori ini akan menjadi fokus diskusi berikutnya.
1. Teori Credo, atau Syahadat
Di sini, teori credo atau sahadat adalah teori yang mengatakan bahwa orang yang mengucapkan dua kalimah syahadat harus mengikuti hukum Islam sebagai konsekuensi logis dari pengucapan syahadat tersebut. Teori ini didasarkan pada ayat-ayat Al-Quran berikut: Q.S. [1]: 5; Q.S. [2]: 179; Q.S. [3]:7; Q.S. [4] 13, 14, 49, 59, 63, 69, dan 105; Q.S. [5]: 44, 45, 47-50; Q.S. [24]: 51 dan 52.
Lebih lanjut, Juhaya mengatakan bahwa teori credo atau syahadat ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari prinsip tauhid dalam filsafat hukum Islam. Prinsip tauhid mengatakan bahwa setiap orang yang mengklaim beriman kepada kemahaesaan Allah harus tunduk dan patuh pada apa yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya; dengan kata lain, seorang muslim harus melaksanakan hukum-hukum yang berasal dari kedua sumber tersebut.
Teori otoritas hukum yang dikemukakan oleh Harold A.R. Gibb dalam bukunya berjudul The Modem Trend of Islam (1950) mirip dengan teori ini. Teori ini menyatakan bahwa ketika seseorang menerima Islam sebagai agamanya, mereka menerima kekuatan hukum Islam atas diri mereka sendiri. Secara sosiologis, orang-orang yang sudah beragama Islam menerima otoritas hukum Islam dan taat kepada hukum Islam. Teori ini menggambarkan bahwa hukum Islam ada di masyarakat Islam karena orang-orang Islam menaati hukum Islam karena diperintahkan oleh Allah dan rasul-Nya dan karena orang-orang ini melakukannya.
Analisis Jaih Mubarok menyatakan bahwa teori ini bersifat idealis karena tidak didasarkan lebih banyak pada doktrin Islam dan cenderung mengabaikan pengujian praktis di lapangan. Mayoritas orang Islam di dunia ini belum mencapai derajat ihsan, tingkat tertinggi dalam bidang hukum dan spiritual Islam, meskipun Gibb mengakui bahwa tingkat ketaatan masyarakat Islam terhadap hukum Islam harus berbeda-beda karena bergantung pada tingkat ketakwaannya kepada Allah, sehingga ada yang taat terhadap seluruh hukum Islam dan ada yang hanya taat terhadap sebagian dari hukum Islam.
Teori yang ditawarkan Gibb di atas mirip dengan teori yang ditawarkan oleh para imam madzhab lainnya; misalnya, Asy-Syafi'i menawarkan teori non-teritorialitas dan Abu Hanifah menawarkan teori teritorialitas ketika mereka menjelaskan teori politik hukum internasional (fiqh siyasyah dauliyyah). Penulis mengutip penelitian Juhaya S. Praja sebagai berikut:
"Teori teritorialitas Abu Hanifah menyatakan bahwa seorang muslim harus melaksanakan hukum Islam sepanjang ia berada di wilayah hukum di mana hukum Islam diberlakukan. Sementara teori nonteritorialitas Asy-Syafi'i menyatakan bahwa hukum bahwa seorang muslim harus melaksanakan hukum Islam di mana pun ia berada, baik di wilayah hukum di mana hukum Islam diberlakukan maupun di luar wilayah hukum tersebut."
Pemahaman ini jelas relevan dengan situasi di Indonesia, di mana masyarakat sebagian besar menganut madzhab Syafi'i. Akibatnya, teori ini pada dasarnya sudah ada di seluruh masyarakat dan diperkuat oleh madzhab Syafi'i dan Hanafi.
2. Teori Receptie in Complex
Menurut teori ini, orang Islam berhak atas hukum Islam sepenuhnya karena mereka telah menganut agama tersebut meskipun ada kesalahan dalam pelaksanaannya. Lodewijk Willem Christian van den Berg (1854--1927) adalah orang yang membangun teori ini.
Sekitar 17 tahun, Bodewijk berada di Indonesia dari tahun 1870 hingga 1887. Dia menyatakan bahwa orang Islam berhak atas hukum Islam sepenuhnya karena mereka telah memeluk agama tersebut meskipun terdapat penyimpangan dalam pelaksanaannya. Van den Berg adalah seorang ahli hukum yang menemukan dan menunjukkan bahwa hukum Islam dapat diterapkan di Indonesia. Dialah yang berusaha agar hukum Islam tentang kewarisan dan perkawinan diterapkan oleh hakim-hakim Belanda dengan bantuan para qadli, atau penghulu. "Bagi rakyat pribumi, yang berlaku bagi mereka adalah hukum agamanya," kata Van den Berg.
Dalam konteks Indonesia, teori ini didasarkan pada amaliah umat Islam yang sangat terikat dengan hukum Islam di bidang ibadah dan al-ahwal asy-syakhshiwah. Namun, umat Islam Indonesia sering mengabaikan bidang muamalah, jinayah dan politik.
Teori ini muncul secara historis sebagai rumusan dari keadaan hukum yang ada. Teori ini berasal dari prinsip hukum Islam bahwa hukum Islam berlaku bagi orang Islam. Van den Berg mengonsepkan Staatsblad 1882 Nomor 152, yang menyatakan bahwa hukum agama orang pribumi atau jajahan berlaku bagi mereka di lingkungan tempat mereka tinggal.Â
Staatsblad 1885 No. 2 pasal 75 ayat (3) menyatakan, "Oleh hakim Indonesia hendaklah diberlakukan undang-undang agama (godsdienstige wetten) dan kebiasaan penduduk Indonesia", dan pasal 78 ayat (2) menyatakan, Menurut undang-undang agama atau ketentuan lama mereka, jika terjadi perkara perdata antara sesama orang Indonesia atau dengan orang yang dipersamakan, mereka tunduk pada keputusan hakim agama atau kepala masyarakat mereka.[1]
3. Teori Receptie
Teori ini menyatakan bahwa hukum Islam tidak harus otomatis berlaku bagi mereka yang menganutnya. Menurut teori ini, hukum Islam dapat berlaku bagi mereka yang menganutnya hanya jika telah diakui dan diterima oleh masyarakatnya, dan jika masyarakat tersebut telah menjadi hukum adat bagi mereka secara hukum. Cornelis van Vollenhoven dan Christian Snouck Hurgronje adalah ahli hukum adat Indonesia pertama yang mengemukakan teori Receptie. Cornelis van Vollenhoven dinobatkan sebagai ahli hukum adat Indonesia karena dia yang pertama kali menulis tentang hukum adat, dan dia juga dianggap sebagai pencipta dasar sistem hukum adat Indonesia.Â
Dengan teori Receptie ini, hukum Islam tidak lagi berdasarkan ajaran agama Islam; sebaliknya, hukum Islam dapat diberlakukan hanya setelah mendapat legitimasi dan legitimasi dari hukum adat. Pada waktu Teon Receptle berlaku, hukum adat memiliki posisi yang lebih tinggi daripada hukum Islam. Dalam teori Receptie, Comelis van Vollenhoven dan Christian Snouck Hurgronje membuat orang Islam tertekan.
Aturan yang berlaku di suatu tempat sangat dipengaruhi oleh kekuatan penjajah. Teori ini diterapkan oleh mereka yang berkuasa. Pembuat kebijakan dan aturan juga menetapkan hukuman. Meskipun teori itu bagus, tetapi tidak diinginkan oleh penguasa, dalam hal ini penjajah, sehingga tidak dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan tindakan hukum. Masyarakat Islam di Indonesia sebenarnya tidak menyukai teori Receptio ini. Teori Receptie dianggap meremehkan hukum Islam, jadi para pemimpin Islam menentangnya, menghasilkan teori Receptie Exit, yang menantang teori Receptie Snouck.[2]
4. Teori Receptie Exit
Hazairin menanggapi teori resepsi pemerintah Kolonial Belanda, yang berasal dari Snouck Hugronje. Teori reception exit pertama kali dibuat oleh Hazairin di Salatiga pada tahun 1950. Hazairin menyatakan dalam Rapat Kerja Departemen Kehakiman tahun 1950 bahwa hukum Islam harus diterapkan kembali di Indonesia. Hazairin menulis buku tentang Hukum Kekeluargaan Nasional pada tahun 1963. Menurutnya, peraturan perundang-undangan menentukan berlakunya hukum Islam bagi orang Indonesia.Â
Hazairin menganggap receptie yang digulirkan oleh Hugronje sebagai teori iblis. Dengan demikian, ayat kedua Pasal 134 Konstitusi tidak sah. Hal ini didasarkan pada aturan peralihan UUD 1945, yang menyatakan bahwa setiap ketentuan yang telah ada tetap berlaku sebelum diubah atau diganti secara nyata.
Hazairin mengusulkan agar umat Islam menggunakan hukum Islam sebagai aturan untuk menjalankan kehidupan sehari-hari mereka. Dia berpendapat bahwa peradilan Islam dapat bersatu dengan peradilan negara, yang dalam hal ini di bawah pengawasan Mahkamah Agung. Dia mengatakan bahwa orang-orang yang beragama Islam tidak perlu terlibat dalam perdebatan tentang status hukum Islam hanya karena propaganda teori penerimaan.
Sebagian ahli hukum produk Belanda menanggapi teori reception exit di atas. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1948 tentang Kekuasaan Badan Kehakiman dan Kejaksaan, yang menghapus Pengadilan Agama di Indonesia, dibuat karena teori penerimaan yang kuat.Â
Menurut pasal 35 ayat (2), pasal 75, dan pasal 133 dari UU tersebut, Pengadilan Agama dimasukkan ke dalam susunan Pengadilan Umum secara khusus dan tidak lagi merupakan susunan independen. Dalam Pemerintahan Yogyakarta, undang-undang ini merupakan peraturan penting tentang peradilan. Selain mencabut dan menyempurnakan isi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1947 tentang Susunan dan Kekuasaan Kehakiman dan Kejaksaan, yang mulai berlaku pada tanggal 3 Maret 1947, undang-undang ini bertujuan untuk mengatur peradilan.
Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1948, ada tiga lingkungan peradilan: Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Ketentaraan. Dalam ketentuan ini, Peradilan Agama tidak disebutkan sama sekali. Dalam pasal 35 ayat 2 dinyatakan bahwa perkara perdata antara orang Islam yang menurut hukum yang hidup harus diperiksa dan diputus sesuai dengan hukum agama mereka. Pengadilan Negeri terdiri dari seorang hakim Islam sebagai ketua dan 2 (dua) hakim ahli agama Islam sebagai anggota, yang diangkat oleh Presiden atas usul Menteri Agama dengan Persetujuan Menteri Kehakiman.
UU tersebut belum diberlakukan sama sekali. Berbagai kalangan, termasuk ulama dari Sumatera seperti Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Selatan, menanggapi undang-undang tersebut. Mereka menentang UU tersebut dan meminta agar Mahkamah Syar'iyah yang sudah ada tetap berfungsi. Dengan demikian, Pengadilan Agama masih bergantung pada undang-undang peradilan pasal 2 UUD 1945. Dengan demikian, Pengadilan Agama masih beroperasi berdasarkan Staatsblad Tahun 1882 Nomor 152, bersama dengan Staatsblad Tahun 1937 Nomor 116 dan Nomor 610 untuk Jawa Madura, serta Staatsblad Tahun 1937 Nomor 638 dan Nomor 639 untuk Kalimantan Selatan/Timur.
Teori reception exit menekankan bahwa Pancasila harus digunakan sebagai referensi dalam undang-undang Indonesia. Pancasila adalah dasar negara bangsa Indonesia dan falsafahnya. Dalam hal ini, Hazairin menyatakan bahwa kedaulatan Tuhan---kedaulatan Allah---terletak di atas demokrasi Pancasila karena dalam Pancasila, sila pertama, yaitu Ketuhanan yang Maha Esa, menetapkan kedaulatan Tuhan sebagai dasar untuk pembentukan hukum.
Terdapat tiga hal yang dapat dijadikan pegangan berdasarkan teori receptie exit Huzairin. Pertama, teori penerimaan telah rusak dan tidak relevan sejak UUD 1945 berlaku, bersama dengan keluarnya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 untuk kembali ke UUD 1945. Kedua, pasal 29 ayat (1) UUD 1945 menetapkan bahwa negara Republik Indonesia bertanggung jawab untuk membentuk hukum nasional Indonesia yang materinya adalah hukum agama. Ketiga, Pancasila mengintegrasikan hukum agama di bidang perdata dan pidana, serta hukum agama lain.
Hazairin berpendapat bahwa tidak perlu ada perselisihan antara sistem hukum adat, hukum positif, dan hukum agama, berdasarkan pasal 29 ayat (1) UUD 1945. Tidak boleh ada ketentuan atau hukum baru yang bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum Islam, begitu juga dengan hukum agama lain, dan sebaliknya. Negara bertanggung jawab untuk memberikan kesempatan kepada setiap orang untuk menganut agama yang mereka anut. Selain itu, negara bertanggung jawab untuk mengatur dan mengawasi sistem hukum Islam, terutama aspek mu'amalah, yang pelaksanaannya membutuhkan dukungan negara.
Pasal 29 ayat (1) memiliki makna yang signifikan bagi tata hukum Indonesia, menurut Hazairin. Dia berpendapat bahwa hukum negara tidak boleh memiliki aturan yang bertentangan dengan ajaran atau aturan Tuhan Yang Maha Esa. Dia berpendapat bahwa teori receptie bertentangan dengan UUD 1945, al-Qur'an, dan al-Sunnah. Nilai-nilai agama dan hukum agama adalah hak asasi manusia di negara Republik Indonesia. Dia merenungkan. Dengan mempertahankan teori penerimaan, ini bertentangan dengan tujuan untuk membentuk negara Republik Indonesia. Dia percaya bahwa umat Islam harus mengikuti hukum Islam, yang merupakan perintah Allah dan Rasulullah, setelah Indonesia merdeka.
Ismail Sunny memperkuat teori penerimaan keluar Hazairin yang mengarah pada keadanlatan Tuhan. Menurutnya, ajaran kedaulatan Tuhan dalam negara Republik Indonesia pada hakikatnya berarti bahwa seluruh rakyat menjalankan kedaulatan Tuhan sebagai pelaksana perintah Tuhan Yang Maha Esa dalam masyarakat dan negara, dimusyawarahkan oleh rakyat dengan perantara wakil-wakilnya. Dengan demikian, doktrin kedaulatan Tuhan, kedaulatan rakyat, dan kedaulatan hukum bertemu dalam struktur UUD 1945. Ahli hukum Islam seperti Muhammad Daud Ali, Sujuti Thalib, dan Bustanul Arifin, serta Hasbi Ash Shiddieqy Rasyidi dan Mukti Ali, juga mengembangkan teori reception exit.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, yang dilak sanan oleh empat lingkungan peradilan, termasuk Pengadilan Agama, didasarkan pada teori penerimaan keluar. Dalam UU tersebut, Peradilan Agama, yang sebelumnya hampir dihapus oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1948, dihidupkan kembali. Pengadilan Agama ditetapkan sebagai lembaga peradilan negara setelah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 menetapkan eksistensinya sebagai lembaga kekuasaan kehakiman. Dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, fungsi Peradilan Agama diperkuat.[3]
5. Â teori reception a contrario
Dalam perspektif Afdol, yang mengutip Syud Thalib, teori reception a contrario dijelaskan secara singkat sebagai berikut:
- Bagi orang Islam berlaku hukum Islam.
- Hal tersebut sesuai dengan keyakinan dan cita-cita hukum, cita- cita batin dan moralnya.
- Hukum adat berlaku bagi orang Islam kalau tidak bertentangan dengan agama Islam dan hukum Islam.
Teori receptie bertentangan dengan kerangka pikir teori ini. Teorinya tentang penerimaan keluar berbeda dari teori penerimaan a contrario. Teori penerimaan keluar Hazairin bertolak dari kenyataan bahwa sejak berdirinya Republik Indonesia, dasar negara Pancasila, UUD 45 dalam Pembukaan dan Bab XI, dan pemahaman pasal II Aturan Peralihan dilakukan dengan mendahulukan dasar dan jiwa kemerdekaan daripada menerima pemahaman formal tentang aturan peralihan. Sebaliknya, teori penerimaan keluar yang berlawanan bertolak dari kenyataan bahwa negara RI yang merdeka sesuai dengan cita-cita batin, nilai-nilai, dan prinsip-prinsip dasar negara Pancasila.
Dengan membentuk Departemen Agama dan Peradilan Agama, tampaknya pemerintah telah mengakui teori reception a contrario. Namun, dari sudut pandang teori perundang-undangan, hukum Islam Indonesia masih merupakan hukum yang tidak tertulis.
6. Teori Recoin (Receptio Contextual Interpretario)
Penulis mengutip teori recoin dari Dr. Afdol, seorang pakar hukum di Universitas Airlangga, Surabaya. Menurutnya, teori ini merupakan lanjutan dari teori-teori sebelumnya, seperti Teori Reception Complex, TeReceptie, Teori Reception Exit, dan Teori Reception a Contrario. Menurut Afdol, dasar teori recoin adalah penelitian kontekstual terhadap ayat-ayat Al-Quran. Teori ini didasarkan pada penelitian awalnya tentang hak waris Islam, termasuk perbedaan gender dalam hak waris. Bagian anak perempuan diberikan kepada laki-laki dua kali lipat. Dengan kata lain, bagian anak perempuan adalah setengah dari bagian anak laki-laki.
Dengan asumsi bahwa hukum Tuhan harus adil bagi manusia, tidak mungkin Dia menurunkan hukum yang tidak adil. Hal ini juga berlaku untuk masalah waris antara laki-laki dan perempuan. Ayat tersebut dapat dianggap tidak adil secara rasional dengan menggunakan interpretasi teks. Itu tidak akan bekerja dengan cara yang sama jika ayat itu ditafsirkan dalam konteks. Dalam beberapa situasi, ayat tersebut dapat ditafsirkan sebagai menunjukkan bahwa bagin warisan anak perempuan harus minimal setengah bagian anak laki-laki. Teori Recoin adalah interpretasi kontekstual yang dibuat oleh Afdol.
Pada dasarnya teori ini disebut dengan berbagai nama, tetapi substansinya sama dengan para peneliti lain, seperti Hasbi Ash-Shiddieqi dengan fiqh da Indonesia, Pribumisasi ala Gusdur, Reaktualisasi-Munawir Sadjali, dan aliran Hermenik-Fazlur Rahman.
Teori-teori di atas menunjukkan bahwa hukum Islam memiliki teori sejak awal, dan banyak teori itu menunjukkan betapa kuat hukum Islam di Indonesia. Terlepas dari kenyataan bahwa teori implementasi tersebut terbatas pada bidang tertentu.[4]
Endnote:
[1] Dedi supriyadi, M.Ag, 2010, Sejarah Hukum Islam, (Bandung: Pustaka setia).
[2] Dr. H. Supardin, M.H.I, 2020, Hukum Islam Di Indonesia, (Gowa: Alaudin University Press).
[3] Dr. H. Sahid HM, M.Ag, 2016, Hukum Islam Di Indonesia, (Surabaya: Pustaka Idea).
[4] Dedi supriyadi, M.Ag, 2010, Sejarah Hukum Islam, (Bandung: Pustaka setia).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H