Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, yang dilak sanan oleh empat lingkungan peradilan, termasuk Pengadilan Agama, didasarkan pada teori penerimaan keluar. Dalam UU tersebut, Peradilan Agama, yang sebelumnya hampir dihapus oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1948, dihidupkan kembali. Pengadilan Agama ditetapkan sebagai lembaga peradilan negara setelah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 menetapkan eksistensinya sebagai lembaga kekuasaan kehakiman. Dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, fungsi Peradilan Agama diperkuat.[3]
5. Â teori reception a contrario
Dalam perspektif Afdol, yang mengutip Syud Thalib, teori reception a contrario dijelaskan secara singkat sebagai berikut:
- Bagi orang Islam berlaku hukum Islam.
- Hal tersebut sesuai dengan keyakinan dan cita-cita hukum, cita- cita batin dan moralnya.
- Hukum adat berlaku bagi orang Islam kalau tidak bertentangan dengan agama Islam dan hukum Islam.
Teori receptie bertentangan dengan kerangka pikir teori ini. Teorinya tentang penerimaan keluar berbeda dari teori penerimaan a contrario. Teori penerimaan keluar Hazairin bertolak dari kenyataan bahwa sejak berdirinya Republik Indonesia, dasar negara Pancasila, UUD 45 dalam Pembukaan dan Bab XI, dan pemahaman pasal II Aturan Peralihan dilakukan dengan mendahulukan dasar dan jiwa kemerdekaan daripada menerima pemahaman formal tentang aturan peralihan. Sebaliknya, teori penerimaan keluar yang berlawanan bertolak dari kenyataan bahwa negara RI yang merdeka sesuai dengan cita-cita batin, nilai-nilai, dan prinsip-prinsip dasar negara Pancasila.
Dengan membentuk Departemen Agama dan Peradilan Agama, tampaknya pemerintah telah mengakui teori reception a contrario. Namun, dari sudut pandang teori perundang-undangan, hukum Islam Indonesia masih merupakan hukum yang tidak tertulis.
6. Teori Recoin (Receptio Contextual Interpretario)
Penulis mengutip teori recoin dari Dr. Afdol, seorang pakar hukum di Universitas Airlangga, Surabaya. Menurutnya, teori ini merupakan lanjutan dari teori-teori sebelumnya, seperti Teori Reception Complex, TeReceptie, Teori Reception Exit, dan Teori Reception a Contrario. Menurut Afdol, dasar teori recoin adalah penelitian kontekstual terhadap ayat-ayat Al-Quran. Teori ini didasarkan pada penelitian awalnya tentang hak waris Islam, termasuk perbedaan gender dalam hak waris. Bagian anak perempuan diberikan kepada laki-laki dua kali lipat. Dengan kata lain, bagian anak perempuan adalah setengah dari bagian anak laki-laki.
Dengan asumsi bahwa hukum Tuhan harus adil bagi manusia, tidak mungkin Dia menurunkan hukum yang tidak adil. Hal ini juga berlaku untuk masalah waris antara laki-laki dan perempuan. Ayat tersebut dapat dianggap tidak adil secara rasional dengan menggunakan interpretasi teks. Itu tidak akan bekerja dengan cara yang sama jika ayat itu ditafsirkan dalam konteks. Dalam beberapa situasi, ayat tersebut dapat ditafsirkan sebagai menunjukkan bahwa bagin warisan anak perempuan harus minimal setengah bagian anak laki-laki. Teori Recoin adalah interpretasi kontekstual yang dibuat oleh Afdol.
Pada dasarnya teori ini disebut dengan berbagai nama, tetapi substansinya sama dengan para peneliti lain, seperti Hasbi Ash-Shiddieqi dengan fiqh da Indonesia, Pribumisasi ala Gusdur, Reaktualisasi-Munawir Sadjali, dan aliran Hermenik-Fazlur Rahman.
Teori-teori di atas menunjukkan bahwa hukum Islam memiliki teori sejak awal, dan banyak teori itu menunjukkan betapa kuat hukum Islam di Indonesia. Terlepas dari kenyataan bahwa teori implementasi tersebut terbatas pada bidang tertentu.[4]
Endnote: