Menurut teori ini, orang Islam berhak atas hukum Islam sepenuhnya karena mereka telah menganut agama tersebut meskipun ada kesalahan dalam pelaksanaannya. Lodewijk Willem Christian van den Berg (1854--1927) adalah orang yang membangun teori ini.
Sekitar 17 tahun, Bodewijk berada di Indonesia dari tahun 1870 hingga 1887. Dia menyatakan bahwa orang Islam berhak atas hukum Islam sepenuhnya karena mereka telah memeluk agama tersebut meskipun terdapat penyimpangan dalam pelaksanaannya. Van den Berg adalah seorang ahli hukum yang menemukan dan menunjukkan bahwa hukum Islam dapat diterapkan di Indonesia. Dialah yang berusaha agar hukum Islam tentang kewarisan dan perkawinan diterapkan oleh hakim-hakim Belanda dengan bantuan para qadli, atau penghulu. "Bagi rakyat pribumi, yang berlaku bagi mereka adalah hukum agamanya," kata Van den Berg.
Dalam konteks Indonesia, teori ini didasarkan pada amaliah umat Islam yang sangat terikat dengan hukum Islam di bidang ibadah dan al-ahwal asy-syakhshiwah. Namun, umat Islam Indonesia sering mengabaikan bidang muamalah, jinayah dan politik.
Teori ini muncul secara historis sebagai rumusan dari keadaan hukum yang ada. Teori ini berasal dari prinsip hukum Islam bahwa hukum Islam berlaku bagi orang Islam. Van den Berg mengonsepkan Staatsblad 1882 Nomor 152, yang menyatakan bahwa hukum agama orang pribumi atau jajahan berlaku bagi mereka di lingkungan tempat mereka tinggal.Â
Staatsblad 1885 No. 2 pasal 75 ayat (3) menyatakan, "Oleh hakim Indonesia hendaklah diberlakukan undang-undang agama (godsdienstige wetten) dan kebiasaan penduduk Indonesia", dan pasal 78 ayat (2) menyatakan, Menurut undang-undang agama atau ketentuan lama mereka, jika terjadi perkara perdata antara sesama orang Indonesia atau dengan orang yang dipersamakan, mereka tunduk pada keputusan hakim agama atau kepala masyarakat mereka.[1]
3. Teori Receptie
Teori ini menyatakan bahwa hukum Islam tidak harus otomatis berlaku bagi mereka yang menganutnya. Menurut teori ini, hukum Islam dapat berlaku bagi mereka yang menganutnya hanya jika telah diakui dan diterima oleh masyarakatnya, dan jika masyarakat tersebut telah menjadi hukum adat bagi mereka secara hukum. Cornelis van Vollenhoven dan Christian Snouck Hurgronje adalah ahli hukum adat Indonesia pertama yang mengemukakan teori Receptie. Cornelis van Vollenhoven dinobatkan sebagai ahli hukum adat Indonesia karena dia yang pertama kali menulis tentang hukum adat, dan dia juga dianggap sebagai pencipta dasar sistem hukum adat Indonesia.Â
Dengan teori Receptie ini, hukum Islam tidak lagi berdasarkan ajaran agama Islam; sebaliknya, hukum Islam dapat diberlakukan hanya setelah mendapat legitimasi dan legitimasi dari hukum adat. Pada waktu Teon Receptle berlaku, hukum adat memiliki posisi yang lebih tinggi daripada hukum Islam. Dalam teori Receptie, Comelis van Vollenhoven dan Christian Snouck Hurgronje membuat orang Islam tertekan.
Aturan yang berlaku di suatu tempat sangat dipengaruhi oleh kekuatan penjajah. Teori ini diterapkan oleh mereka yang berkuasa. Pembuat kebijakan dan aturan juga menetapkan hukuman. Meskipun teori itu bagus, tetapi tidak diinginkan oleh penguasa, dalam hal ini penjajah, sehingga tidak dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan tindakan hukum. Masyarakat Islam di Indonesia sebenarnya tidak menyukai teori Receptio ini. Teori Receptie dianggap meremehkan hukum Islam, jadi para pemimpin Islam menentangnya, menghasilkan teori Receptie Exit, yang menantang teori Receptie Snouck.[2]
4. Teori Receptie Exit
Hazairin menanggapi teori resepsi pemerintah Kolonial Belanda, yang berasal dari Snouck Hugronje. Teori reception exit pertama kali dibuat oleh Hazairin di Salatiga pada tahun 1950. Hazairin menyatakan dalam Rapat Kerja Departemen Kehakiman tahun 1950 bahwa hukum Islam harus diterapkan kembali di Indonesia. Hazairin menulis buku tentang Hukum Kekeluargaan Nasional pada tahun 1963. Menurutnya, peraturan perundang-undangan menentukan berlakunya hukum Islam bagi orang Indonesia.Â