Terima WA itu, ingatan saya langsung ke uang Rp 600 ribu itu. Saya ingin ringankan kekurangan itu, tapi saya mikir, lha uang saya kapan kumpulnya untuk umroh? Di situlah setan masuk. Tapi, saya berusaha tenang dan meresapi kembali janji-janji Allah. Awalnya, saya mau sedekahkan Rp 300 ribu untuk santri, lalu saya urungkan. Dengan bismillah... Saya sedekahkan semua. Saya mengambil amplop uang itu, lalu saya cium amplop berisi Rp 600 ribu sambil berdoa, “Ya Allah, uang ini untuk umrohku. Tapi hari ini ada santri penghafal Quran yang lebih butuh, dia sudah jelas waktu berangkatnya, sedangkan aku belum jelas. Aku sedekahkan semua, tolong mudahkan jalanku ke Baitullah.”
Lalu, uang itu saya serahkan ke Ustad Rahmat. Saat menyerahkan uang itu, mata saya kembali berkaca-kaca. Saya bilang ke beliau, “Tolong jangan bilang ke siapa pun, ini tabungan umroh saya. Santri lebih butuh daripada saya. Saya hanya titip doa ke beliau nanti di Baitullah, doakan jalan saya untuk umroh menjadi mudah.”
Ustad Rahmat menjawab, “Insya Allah ini jalan Pak Wawan untuk segera ke Baitullah.” Hati saya gambira, setelah itu saya melupakan uang itu. Saya mulai menabung lagi, mengumpulkan uang selembar Rp 50 ribuan, Rp 100 ribuan, dan seterusnya. Kembali lagi kencengin doa dan shalat...
Tak lama setelah Idul Adha, Neno Warisman mengenalkan Neno Tour ke Ma’had dan jaringan di Jember. Ternyata, dia memberi promo yang daftar awal akan berangkat Januari. “Januari???” Saya teringat doa saya. Jangan-jangan ini jawaban Allah. Allah beri jalan saya berangkat Januari, seperti doa saya. Tanpa pikir panjang, saya langsung daftar, tanda jadi Rp 500 ribu. Itu hari Minggu. Kalau DP 300 dolar diberesi Senin, calon jamaah dapat cash back Rp 1 juta. Sehingga, jatuhnya USD 1.680 dari aslinya yang sebesar USD 1.750. Ini muraaah sekali, rerata sekarang diatas 2.100 dolar untuk 9 hari.
Saat itu saya bingung dapat uang USD 300 darimana? Saat itu kurs sudah Rp 12.100/USD. Saya teringat, saat itu saya punya garapan buku, sudah hampir selesai, honor belum dibayar. Lalu, saya minta honor dibayar sebagian. Alhamdulillah, Minggu sore langsung ditransfer. Selesailah dua tahapan sampai setor USD 300.
Bagaimana sisanya? Itu yang saya tidak memiliki bayangan blas. Sungguh, membayangkan kekurangannya sekitar Rp 17 juta itu saya tidak tahu akan dapat uang dari mana. Suatu hari, saya dapat tugas rapat di Surabaya. Saya sempatkan mampir ke rumah bapak ibu di Sidoarjo. Saya ceritakan tentang saya yang mendaftar umroh. Mereka kaget campur senang, lalu bingung, dari mana saya punya uang Rp 17 juta dalam tempo 1,5 bulan harus beres? Saya ingat dengan jawaban saya waktu itu, “Saya punya Allah, Pak, Bu. Saya tidak akan minta uang ke Bapak Ibu. Kalau sampai deadline uangnya tidak ada, saya mundur. Saya hanya mohon bantuan doa Bapak dan Ibu.”
Setelah itu, saya tidak tahu apa yang berkecamuk dalam diri Bapak Ibu saya. Sepulang dari Surabaya, mungkin ini jalan yang diberikan Allah, ada orang yang minta dibuatkan sebuah buku. Saya tidak pasang tarif, tapi saya hanya minta honor dibayar dimuka, terserah dia mau kasih berapa. Saya jujur cerita ke dia, “Saya daftar umroh, tapi uangnya kurang dan harus lunas dalam waktu dekat.”
[caption id="attachment_389328" align="aligncenter" width="300" caption="Sumber: www.forumdakwahahlussunnah.com"]
![1420648632244754628](https://assets.kompasiana.com/statics/files/1420648632244754628.jpg?t=o&v=300?t=o&v=555)
Allah jua yang menggerakkan hati orang yang kasih proyek ke saya itu. Tanpa saya sangka, dia beresi semua kekurangan biaya umroh saya. Dan saya yakin, honor yang saya terima diatas rata-rata. Subhanallah Allahu Akbar... Allah Maha Kuasa, Allah Maha Kaya... Siapa yang mampu menggerakkan hati orang itu sehingga mau memberesi kekurangan biaya saya, Mbak? Hanya Allah...
Saat saya mengurus paspor tiga suku kata, saya sempat telepon Bapak menanyakan tahun lahir Ibu saya. Lalu dijawab. Setelah telepon, Ibu tanya saya ada kepentingan apa. Bapak cerita kalau saya mengurus paspor. Ibu saya kaget. “Lho, berarti sudah punya uang? Dapat darimana?”.
Ibu saya sore itu menangis. Entah mengapa menangis. Mungkin pikiran Ibu campur aduk. Mungkin beliau khawatir saya gagal berangkat karena tak punya uang, lalu saya kecewa. Sore itu juga Ibu menelepon saya, menanyakan kepastian berangkat tidaknya. Setelah saya jawab saya berangkat, biaya sudah beres, Ibu saya langsung baca zikir. Segala zikir dibaca di telepon. Dari suaranya, saya tahu Ibu menangis. Saya jadi ikut mbrebes mili. “Tidak sia-sia Ibu berdoa, Gusti Allah mengabulkan doanya Ibu.” Meski saya lelaki, hati saya sore itu runtuh. Runtuh membayangkan betapa tanpa setahu saya, Ibu mendoakan keberangkatan saya ke Baitullah setiap selesai shalat dan Tahajud.