Mohon tunggu...
Braga InsaN
Braga InsaN Mohon Tunggu... wiraswasta -

Follow My Twitter @irulinsan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Telik Sandi

3 Februari 2016   13:09 Diperbarui: 3 Februari 2016   13:52 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“TELIK SANDI”

Rakyan Tumenggung Arga Mulya geram! Kepalan tangan Panglima Tentara Kerajaan Maya yang telah banyak makan asam garam itu nyaris mampir di kepala Senopati  Durga, Pimpinan Prajurit Pasukan Khusus Telik Sandi di kerajaan tersebut. Berkeliling pagi hari ini justru mendidihkan darah sang Tumenggung. Pengumuman terpampang di sebuah batang pohon beringin, yang biasa menjadi lokasi woro-woro! Cap Satuan Khusus Telik Sandi Kerajaan Maya menjadi stempel pembenaran. Diangkatnya seorang mata-mata pasukan khusus Telik Sandi. Konyol..!!!

“Ini kesekian kalinya kebodohan yang kau buat, Durga! Buku pandu mana apa yang kau pakai?! Satuan yang kau pimpin adalah lembaga rahasia. Kau tahu pengertian rahasia?! Guobblokk!!”

Tumenggung Arga mulya tak lepas pandang. Sorotnya menusuk ke sosok Senopati berperawakan pendek gempal itu. Sementara tubuh Senopati Durga bergetar, seperti tak mampu menahan guncangan yang timbul dari sorot mata sang Tumenggung.

Bencana ini berawal pagi hari. Senopati berjalan rutin berkeliling wilayah. Bukan lari pagi. Jalan santai saja menikmati mentari yang muncul malu-malu. Gendon, ajudan pribadinya. Setia menemani.

Tiba di perbatasan kota. Gerombolan warga bersusun menghadap batang pohon beringin yang tak lagi rindang. Seperti semut berbaris. “Lucu sekali. Jadi  telik sandi kok diumumkan!” ucapan salah seorang warga memancing hasrat sang Tumenggung berusia enam puluh tahunan itu. Yang masih berperawakan kokoh meski tak lagi muda.

Sadar kedatangan sang Tumenggung, warga memberi jalan. Masih berjarak tiga tombak dari batang pohon, mata Tumenggung  Arga membentur lembaran daun lontar yang menempel di batang pohon. Sepasang bola matanya mengamati detil aksara demi aksara pada lembar daun lontar. Semakin banyak baris yang telumat, semakin mendelik bola matanya.

“Gendon…! Copot pengumuman itu!!!”

“Sendiko Tumenggung ….!”

Tanpa menunggu komando yang kedua, Gendon sigap menyambar potongan daun lontar. Sekelebat saja menyisakan pasak besi yang sebelumnya menopang lembaran daun itu. Warga yang tersisa tak berani melayang pandang. Murka Tumenggung Arga seperti bara api yang panasnya siap menyambar siapa saja di sekeliling nya.

Gendon setengah berlari menyusul gerak Tumenggung  yang menjauh. Lembar pengumuman masih di genggaman. Sebuah nama tertulis; Surya Pratama. Gendon faham nama itu. Anak seorang saudagar yang dekat dengan lingkup kerajaan.

Rupaya Surya Pratama resmi diangkat menjadi bagian keluarga besar telik sandi Kerajaan Maya. Bukan menjadi prajurit di kesatuan tersebut. Diangkat menjadi mata-mata resmi Kerajaan. Jabatan bergengsi yang diberikan kepada warga sipil di luar lingkup Istana.

***

Senopati Durga terpaku di dalam kamarnya. Sengatan amarah Tumenggung Arga belum lagi hening di pikirannya. Dipandangi lembar daun lontar yang terkulai di atas meja di hadapannya. Pikirnya berkecamuk. Bingung dan kesal menjadi satu. Kesal dengan tindakan bodoh Surya Pratama yang pendek akal. Sekenanya mengumumkan pengangkatannya sebagai telik sandi. Kesalnya begitu memuncak. Namun tumpukan kesal itu tertimbun perasaan bingung yang melangit. Ini kesalahan fatal yang dilakukan anggota telik sandi. Namun  Senopati Durga bingung untuk menjatuhkan hukuman setimpal.

Surya Pratama adalah anak sahabatnya yang bernama Pamungkas Brata Pratama. Dominasi Pamungkas Brata Pratama dalam karir Durga tak terelakkan. Sebagai saudagar masyur di lingkup Kerajaan Maya, pundi-pundi emas dari kantung Pamungkas Brata, mampu mengantar Durga menikmati jabatan nya saat ini. Jerat itu membuat Durga tak mampu menolak perminta Brata, yang diungkapkannya secara tiba-tiba, saat bertandang beberapa waktu lalu.

“Anak ku Surya Pratama, memiliki akses luas untuk menjaring informasi. Sebagai pewaris kerajaan bisnis ku, pergaulan Surya Pratama akan memberikan manfaat untuk lembaga yang kau pimpin.”

“Itu perkara gampang Brata. Segera kubuat perintah pengangkatannya. Kau tenang saja.”

Durga memotong perbincangan dengan mempersilahkan Brata meneguk wedang jahe yang tersaji hangat di atas meja. Senyum Durga mengembang biak. Matanya sedari tadi tak lepas memandang kotak kayu mungil, upeti  yang dibawa Brata untuk nya.

Meluluskan permintaan Brata hari itu menjadi sesal yang belum jelas ujungya. Surya ternyata menjadi penyebar informasi alih-alih menjadi pengumpul informasi untuk lembaga yang dipimpin nya. Jika sudah begini, maka beban harus dipikulnya. Menghindar rasanya tak memiliki ruang.

Durga pasrah saja menunggu keputusan Tumenggung Arga Mulya terhadap dirinya. Nurani Durga memantaskan jika hukuman segera jatuh untuknya. Pasalnya ini bukan kali pertama. Sebelumnya, seorang anggota pasukan bawahannya mengamuk di sebuah rumah bordir. Rebutan gadis pemicunya. Pengaruh minuman keras mencabut akalnya. Sesumbar sebagai anggota telik sandi, maka yang bersangkutan merangsek masuk satu-satu ke bilik tempat “bermain” yang ada. Tindakan onar itu memancing reaksi Bromocorah setempat. Kekerasan menjadi jalan akhir. Prajurit telik sandi itu babak bingkas di tangan belasan Pendekar yang menjaga lokasi rumah bordir.

Sebelumnya lagi, Senopati Durga juga dianggap tak becus mnejalankan jaringan telik sandi di wilayahnya. Teror sempat melanda pejabat lembaga tinggi di kerajaan Maya. Sekelompok begajul yang meng-atas namakan rakyat, meneror kediaman lima pejabat pengadilan di lingkungan Istana. Pasalnya, gerombolan tersebut tak terima dengan keputusan hakim kerajaan yang tengah menyidangkan salah satu anggota mereka terkait pencaplokan batas wilayah oleh Lurah kademangan setempat.

Informasi telik sandi telah mengabarkan bahwa gerombolan itu akan menyebar terror. Namun pihak telik sandi gagal mengolah informasi awal tersebut. Aksi gerombolan berhasil diredam dengan diturunkannya resimen pasukan khusus Istana. Kediaman gerombolan penebar terror yang berada di kedalaman rimba, habis digasak pasukan tersebut. Mestinya itu bisa dilakukan jauh hari. Tak perlu menunggu terror terjadi.

***

Pasar Tritik adalah pusat perdagangan di lingkungan kerajaan Maya. Jika ditarik garis lurus, maka letaknya hanya sekitar lima kilometer saja dari lingkup Istana. Meski matahari hampir kembali ke peraduan, namun geliat perdagangan masih tersisa. Beberapa lapak pedagang yang hanya dinaungi atap rumbia, masih disambangi pembeli. Pedagang lapak hewan, sengaja menutup kegiatan di akhir petang.

Agak di sudut area pasar, sebuah kedai tampak ramai pengujung. Rata-rata mereka adalah para pedagang, yang sengaja melepas lelah dengan menghirup wedang jahe atau seduhan kopi dari janda pelayan kedai. Setidaknya ada tiga kedai di wilayah pasar Tritik ini. Namun kedai janda Mijah selalu lebih ramai pengunjung. Keramahan Mijah lah yang menjadi magnet nya.

Kedai menjadi penunjang interaksi sosial di lingkungan ini. Pengunjung terbisa saling bincang meski tak saling kenal. Meja berbentuk persegi panjang dengan  dikelilingi bangku yang terbuat dari potongan batang pohon kelapa menjadi fasilitas warga di kedai. Jika terisi penuh, maka meja dapat menampung setidaknya dua puluh lima orang sekaligus. dua meja berbentuk serupa di kedai Mijah sore itu nyaris penuh jejal pengunjung.

“Sudah kau dengar berita kemarahan Tumenggung Arga Mulya tentang kebodohan salah seorang anggota telik sandi?” pemuda bertubuh tipis membuka pembicaraan kepada temannya yang tengah asik menghisap tembakau gulung.

“Surya Pratama? Anak saudagar Brata Pratama? Kampungan! Lebih kampung dari kita yang orang desa ini!”

“Tak hanya anak saudagar itu yang salah. Tapi Senopati Durga juga harus memikul tanggungjawab atas kejadian itu.” Tamu kedai lain, seorang pria berusia di atas lima puluh tahun urun cakap. “Bagaimana mungkin lembaga rahasia bisa mengangkat seseorang yang nyenyes laku seperti itu?!”

“Yahh… mungkin maksudnya untuk gagah-gagahan…” pemuda pertama menambahkan.

“Apa lembaga telik sandi yang dipimpin Senopati Durga itu tak memiliki standar prosedur perekrutan anggota?! Harusnya sebelum diangkat secara resmi, Surya Itu mesti lolos tes terlebih dahulu. Jika mental dan pikirnya belum lagi siap memikul beban sebagai anggota telik sandi, maka tentu diragukan kemampuannya. Memang susah jika jabatan diberikan berdasarkan kedekatan semata.” Pria setengah abad kembali menumpahkan kekesalannya.

“Sudah.. sudah.. jangan terlalu berlebihan kalian mengumpat. Hati-hati. Nanti terdengar anggota telik sandi kerajaan kalian bisa digelandang prajurit kerajaan.”

Kedatangan Janda Mijah menghentikan obrolan ketiga orang tadi. Gelas gerabah berisi wedang jahe yang masih mengeluarkan uap diserahkan Mijah ke hadapan pria setengah abad tadi.

“Lek Dati, jangan asik mengunyah pisang goreng saja… kapan toh hutang minggu lalu dilunasi? Kulihat kambing dagangan mu sudah tak lagi utuh.” Seloroh Mijah seraya tersenyum lebar kepada pria setengah abad yang akrab disapa Lek Dati.

Beberapa warga yang ada di kedai tersenyum geli mendengar celoteh Mijah. Beberapa bahkan tertawa terbahak. Lek Dati menjawab dengan mau-malu: “Mijah paling jeli kalo urusan tagihan. Sampai jumlah kambing ku pun tak luput dari pantauan nya. Sepertinya Mijah pantas jadi anggota telik sandi dibanding Surya Pratama bleguk itu.”

“Husshh!” Mijah berlalu meninggalkan sorot pandang hampir se-isi kedai. Lenggok pinggul nya menghipnotis pengunjung.

***

Brata Pratama memandang lesu. Di hadapannya duduk Surya Pratama, anak kesayangannya. Sudah seminggu ini pria berusia akhir tiga puluhan itu mengurung diri di rumah. Istrinya telah kehabisan akal hingga meminta Ayah mertuanya berkunjung ke rumah.

Surya memang beruntung. Tak hanya lahir dari lingkungan saudagar yang memiliki segudang koneksi di Istana, Pria bertubuh tegap semampai itu memiliki istri yang elok. Ningsih. Wanita mungil berkulit kuning langsat khas kembang gadis desa. Ayah Ningsih sedianya adalah seorang pedagang yang memiliki hubungan kerja dengan Brata Pratama. Karena hubungan tersebut Surya akhirnya kepincut terhadap Ningsih.

“Semenjak kejadian hari itu, Kang Mas Surya banyak melamun Ayahanda. Ningsih bingung.. Hidangan santap pun tak digubris nya. Makan hanya sekali dalam sehari. Itu pun butuh perjuangan dalam membujuknya.” Ningsih mengadu ke Ayah Mertua-nya. Brata hanya merespon pengaduan Ningsih dengan anggukan kepala.

Rupa Surya tampak kucal berselimut murung. Keberadaan Brata tak digubris nya. Darah seperti tak mengalir dalam wajahnya. Mungkin pengaruh asupan gizi yang minim. Brata tampak cemas dengan kondisi putra nya. Diam nya Surya justru memuncakkan kecemasan Brata. Brata bergidik membayangkan apa yang tengah dipikirkannya.

Sayup terdengar suara roda kereta kuda memasuki halaman rumah. Brata mencuri lihat dari dalam ruangan. Ki Ampuh tiba. Tabib yang terkenal masyhur. Kerap dipakai pejabat Istana Maya untuk dimintai bantuan menyembuhkan sakit anggota keluarganya. Brata sengaja memanggil Ki Ampuh bertandang. Brata ingin memastikan kondisi kesehatan putra nya. Bergegas Brata menyambut kedatangan Ki Ampuh di beranda rumah.

Berusia sekitar tujuh puluh tahunan tak membatasi gerak tubuh Ki Ampuh menapaki anak tangga menuju teras rumah. Tubuh tabib kesohor itu diliputi kain tebal berwarna putih. Khusus bagian badannya, gulungan kain hanya membentang silang di dada. Motif kain yang sama membalut kepala nya.

“Apa kabar mu Brata?” sapa Ki Ampuh setelah tuntas menapaki anak tangga.

“Baik saja Ki.. hanya Surya yang tampaknya butuh sentuhan tangan Ki Ampuh. Mari Ki, masuk ke dalam.” Brata menyambut ramah Ki Ampuh. Kesehatan putra nya berada di tangan Ki Ampuh.

Ki Ampuh mengernyitkan alis melihat kondisi Surya. Kedatangan dan sapaan Ki Ampuh yang tak digubris Surya, menjadi pertanda. Diraihnya lengan kiri Surya. Berusaha memeriksa denyut nadi. Tak butuh waktu lama bagi tabib yang telah banyak pengalaman itu untuk mengambil kesimpulan. Wajahnya yang ditumbuhi cambang dengan  warna keperakan itu segera menoleh kepada Brata. Brata harap cemas menunggu kalimat yang akan meluncur dari mulut Ki Ampuh.

“Goncangan.. Kejiwaan anak mu terganggu. Tampak nya kejadian beberapa waktu lalu menyisakan beban mendalam yang tak mampu diredam sendiri oleh Putra mu.”

Brata menunduk lunglai. Kecemasannya memuncak sudah. Ketakutannya sedari tadi terbukti. Surya terganggu jiwa nya!

“Apa petunjuk mu Ki..?” Brata bertanya lirih.

“Belum terlambat. Penanganan serius dalam jangka waktu tertentu, rasa nya masih bisa membantu. Segera saja kau kirim Putra mu ke pesanggrahan ku. Biar aku bisa melakukan pengawasan melekat terhadap nya.”

Brata lagilagi hanya mengangguk lirih. Ia mengerti benar maksud perkataan Ki Ampuh. Surya harus tinggal dalam perawatan Ki Ampuh di pondokannya yang berada di wilayah pesisir. Itu berarti jiwa nya tergoncang cukup keras hingga membutuhkan penanganan serius.

Brata menerawang pikir. Terbayang mendiang istrinya. Nyai Desma yang wafat saat Surya berusia belasan. Sebelum berpulang, kejadian yang sama menerpa istrinya. Nyai Desma terguncang hebat jiwa nya setelah mengetahui kedua orang tuanya yang sepuh mangkat di tangan gerombolan penyamun yang menyatroni rumah nya. Merampas habis harta benda orang tua nya, berikut harta paling berharga milik manusia, nyawa!

Dalam pikir, Brata berucap; “Akankah kehilangan serupa terulang terhadap putra semata wayangnya? Apakah ini faktor keturunan, lemah mental yang diderita Surya merupakan faktor genetik sang bunda??” tanpa sadar butiran putih luruh menerpa kedua pipi Brata.

***

Dengan perasaan berat, Brata Pratama mengantar Surya menuju pondok pesanggrahan Ki Ampuh. Pondok asri dengan gerbang setinggi tiga kali tubuh orang dewasa, menyambut kedatangan kereta kuda yang mereka tunggangi.

Pondok Ki Ampuh berada tak jauh dari bibir pantai laut Maya. Meski dekat dengan wilayah pantai, namun rindangnya pepohonan mampu menangkal hawa panas laut yang menguap terutama di waktu siang. Antara pondok dan bibir pantai dibatasi sawah yang membentang luas. Hijaunya daun padi menyejukkan pemadangan mata. Aliran air yang bersumber dari atas gunung air terjun desa semakin menambah sejuk suasana. Gemericik air yang menerpa bebatuan seperti alunan nada. Tempat sempurna untuk perawatan jiwa yang tengah terguncang.

Setelah berbasa-basi sejenak dengan Ki Ampuh, Brata akhirnya melepas benar-benar kepergian Surya. Sudut mata nya mengawal langkah kaki putra tercinta nya tersebut. Surya diantar seorang asisten Ki Ampuh menuju bilik inap nya selama di pondokan. Mata Brata tak lepas memandang Surya hingga punggung nya tak lagi nampak.

Menuju bilik, mereka harus melewati ruang bersantai. Pagi hingga siang hari, ruang bersantai di isi pasien jiwa untuk berinteraksi kepada sesama. Saat itu ada tiga orang mengisi aktivitas ruangan. Seorang pria dan dua orang wanita. Keduanya seumuran Surya. Hanya sang pria yang berusia awal empat puluhan.

“Hey! Siapa kamu..?”

Salah satu wanita menyapa Surya. Bukan tanpa sebab. Sapaan terpancing tatapan mata Surya yang selintasan tadi memandang nya.

Asisten Ki Ampuh menyaksikan saja. Ia mengumbar senyum menyaksikan Mimih –nama wanita tersebut—yang berusaha menyapa Surya. Namun langkah lambat sang asisten tertahan. Sedikit tiba-tiba, Surya menghampiri wanita yang tadi sempat bertanya kepadanya.

Wajah Surya tampak serius. Dihampirinya Mimih yang tengah tersenyum malu. Kepalanya menoleh ke kiri dan ke kanan. Seperti berusaha memastikan bahwa tak ada yang mengikuti nya. Tiba di samping Mimih, Surya mendekatkan mulutnya ke telinga kiri wanita tersebut. Suara setengah berbisik halus terlontar dari kerongkongan Surya.

“Nama ku Surya Pratama. Huusshh… tak perlu kau tahu identitas ku wahai gadis.. aku terlarang untuk memberi tahu mu, karena aku merupakan anggota telik sandi kerajaan Maya..!!!”

 

Jakarta, Februari 2016

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun