“Lek Dati, jangan asik mengunyah pisang goreng saja… kapan toh hutang minggu lalu dilunasi? Kulihat kambing dagangan mu sudah tak lagi utuh.” Seloroh Mijah seraya tersenyum lebar kepada pria setengah abad yang akrab disapa Lek Dati.
Beberapa warga yang ada di kedai tersenyum geli mendengar celoteh Mijah. Beberapa bahkan tertawa terbahak. Lek Dati menjawab dengan mau-malu: “Mijah paling jeli kalo urusan tagihan. Sampai jumlah kambing ku pun tak luput dari pantauan nya. Sepertinya Mijah pantas jadi anggota telik sandi dibanding Surya Pratama bleguk itu.”
“Husshh!” Mijah berlalu meninggalkan sorot pandang hampir se-isi kedai. Lenggok pinggul nya menghipnotis pengunjung.
***
Brata Pratama memandang lesu. Di hadapannya duduk Surya Pratama, anak kesayangannya. Sudah seminggu ini pria berusia akhir tiga puluhan itu mengurung diri di rumah. Istrinya telah kehabisan akal hingga meminta Ayah mertuanya berkunjung ke rumah.
Surya memang beruntung. Tak hanya lahir dari lingkungan saudagar yang memiliki segudang koneksi di Istana, Pria bertubuh tegap semampai itu memiliki istri yang elok. Ningsih. Wanita mungil berkulit kuning langsat khas kembang gadis desa. Ayah Ningsih sedianya adalah seorang pedagang yang memiliki hubungan kerja dengan Brata Pratama. Karena hubungan tersebut Surya akhirnya kepincut terhadap Ningsih.
“Semenjak kejadian hari itu, Kang Mas Surya banyak melamun Ayahanda. Ningsih bingung.. Hidangan santap pun tak digubris nya. Makan hanya sekali dalam sehari. Itu pun butuh perjuangan dalam membujuknya.” Ningsih mengadu ke Ayah Mertua-nya. Brata hanya merespon pengaduan Ningsih dengan anggukan kepala.
Rupa Surya tampak kucal berselimut murung. Keberadaan Brata tak digubris nya. Darah seperti tak mengalir dalam wajahnya. Mungkin pengaruh asupan gizi yang minim. Brata tampak cemas dengan kondisi putra nya. Diam nya Surya justru memuncakkan kecemasan Brata. Brata bergidik membayangkan apa yang tengah dipikirkannya.
Sayup terdengar suara roda kereta kuda memasuki halaman rumah. Brata mencuri lihat dari dalam ruangan. Ki Ampuh tiba. Tabib yang terkenal masyhur. Kerap dipakai pejabat Istana Maya untuk dimintai bantuan menyembuhkan sakit anggota keluarganya. Brata sengaja memanggil Ki Ampuh bertandang. Brata ingin memastikan kondisi kesehatan putra nya. Bergegas Brata menyambut kedatangan Ki Ampuh di beranda rumah.
Berusia sekitar tujuh puluh tahunan tak membatasi gerak tubuh Ki Ampuh menapaki anak tangga menuju teras rumah. Tubuh tabib kesohor itu diliputi kain tebal berwarna putih. Khusus bagian badannya, gulungan kain hanya membentang silang di dada. Motif kain yang sama membalut kepala nya.
“Apa kabar mu Brata?” sapa Ki Ampuh setelah tuntas menapaki anak tangga.