Mohon tunggu...
Braga InsaN
Braga InsaN Mohon Tunggu... wiraswasta -

Follow My Twitter @irulinsan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

"Yuna"

31 Januari 2016   09:29 Diperbarui: 31 Januari 2016   09:54 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“YUNA”

Bujukan Prian terhadap Yuna sepertinya membentur tembok. Dari raut muka dan bahasa tubuhnya, Yuna seperti bergeming dengan ajakan Prian untuk alih profesi. Sedari tadi Prian berusaha meyakinkan Yuna untuk mau bekerja di sebuah perusahaan go public yang tengah menjalankan investasinya di kota pempek ini. Yuna mengisyaratkan lebih memilih dunianya sendiri. Dunia hiburan malam yang gemerlap. Yang rutinitasnya mampu merubah seorang lajang cantik berusia 17 tahun sekalipun, akan terlihat seperti wanita --meski tetap cantik—yang telah berusia 30 tahun.

Keinginan kuat Prian untuk meyakinkan Yuna nyaris membuat rusak suasana. Yuna lebih menyadari itu.  Sebagai aksi penyelamatan, wanita berkulit putih itu akhirnya menjawab dengan aksen manado yang terkesan sengaja ditonjolkan.

“Baeklah.. kitorang akan ikut kamu besok ya…”

“Oke! Kamu coba ikut dulu besok ya. Kuharap kamu tak terlalu mabuk malam ini, karena besok jam delapan pagi kita harus sudah bersiap.”

Kalimat terakhir sengaja diucapkan Prian setengah berbisik di telinga mungil Yuna. Bisikan tulus. Berharap wanita berusia 21 tahun itu mau menemani Prian untuk agenda bisnis esok.

Entah mengapa Prian merasa mendapatkan chemistry dengan wanita berambut lurus seleher itu. Bukan lantaran semerbak wangi parfum Yuna yang membentuk perasaan itu. Bukan pula disebabkan hidung mungil dan indah bibirnya.

Prian mengenal Yuna baru saja. Pembicaraan tadi meluncur begitu saja kurang lebih setengah jam sejak perkenalan keduanya terjadi. Hal itu berlangsung di tengah bising lantunan musik karaoke dan kerlip lampu disco yang bersinar remang di sudut ruangan, yang terletak di salah satu Hotel berbintang di Palembang. Perjalanan bisnis jua yang mendamparkan Prian ke lokasi itu.

Yuna bekerja sebagai pendamping lagu di tempat itu. Kepada Prian, Yuna mengaku baru seminggu berada di kota yang memiliki ikon jembatan Ampera tersebut. Informasi itu selaras dengan perkataan manajer karaoke yang menyebutnya “barang baru” di tempat tersebut. Pemilihan kata yang mengesampingkan nilai humanisme. Mahluk indah ciptaan Tuhan ini terdengar seperti komoditi saja di telinga Prian. Mungkin hal itu juga yang mendorong Prian untuk bermanuver.

***

“Yuna, aku tunggu di restaurant di lobi hotel ya. Kamu sudah di mana?”

“Okay.. lima menit lagi aku tiba”

“Baiklah. Langsung menuju restaurant. Kita sarapan dulu sebelum berangkat.”

Prian mengakhiri pembicaraan di telepon seraya menyapu pandang ke penjuru ruangan yang berderet meja-meja. Pria berkacamata itu mencari lokasi yang cocok untuk Ia dan Yuna duduk. Tatapannya membentur sepasang meja yang masih kosong. Letaknya agak di pojok ruangan, namun dekat dengan rentetan hidangan buffet. Prian bergegas duduk. Dari sini Ia bisa melihat jika Yuna tiba dari lobi hotel.

Di atas meja Prian belum terhidang makanan. Hanya secangkir teh dengan uap yang mengepul. Baru seteguk teh mengisi tenggorokannya. Sudut mata Prian mendeteksi kedatangan Yuna. Diperhatikannya wanita cantik yang semalam berpisah dengannya dalam kondisi setengah mabuk. Wajahnya belum lagi segar dari aroma malam. Sedikit terkejut Ia bisa menepati janji. Datang sepagi ini setelah petualangan gemerlapnya semalam. Menepati janji nya, kepada pria yang baru saja Ia kenal.

“Kok belum makan..?” Tanya Yuna memecah lamunan Prian.

“Sengaja menunggu kamu. Langsung ambil makanan aja deh Yun..”

Yuna meletakkan tas tangannya yang berwarna hitam di atas meja. Handphone keluaran Negara adikuasa dalam gengaman tangan kirinya. Sejenak mereka berpencar memilih makanan favorit mereka untuk menghibur cacing yang sedari tadi rasanya mulai berkecamuk di dalam perut masing-masing.

“Aku harus ikut kamu hari ini ya Kak?” Yuna mencoba memulai percakapan. Sapaan “Kak” dari mulut Yuna terasa bahwa wanita itu berusaha mengakrabkan diri. Prian yang sebelumnya akan memasukkan potongan sosis ke dalam mulutnya, terpaksa menundanya untuk segera menjawab pertanyaan itu.

“Kenapa Yun? Kamu enggan ya..?”

“Sebenarnya aku males deh Kak! Tapi gak papa deh. Aku meluluskan permintaan kamu sekedar membalas kebaikan dan kesantunan mu semalam.”

Aksen Yuna tak lagi manado sentris. Tak seperti malam sebelumnya. Mungkin sesajian malam itu yang membuat aksen Yuna tak tertutupi. Cepat saja Prian kembali teringat kejadian semalam.

Prian memang cenderung santun malam itu. Untuk ukuran standar kesantunan di lokasi hiburan malam, maka perlakuan Prian terhadap Yuna memang tak seperti pria pada umumnya. Prian lebih memperlakukan Yuna seperti adik kandungnya sendiri. Induk harimau terlarang memangsa anaknya sendiri!

Hal itu merjawab pertanyaan Prian. Meski terlihat masih lelah, namun Yuna terkesan memaksakan diri untuk tetap datang. Bergegas bangun sepagi ini dari aktifitas dini hari adalah sesuatu banget.

“Ahh.. kupikir kamu bela-belain datang karena kangen dengan aku Dek!” Prian berusaha mencairkan suasana seraya melanjutkan suapan potongan sosis yang tadi sempat tertunda masuk ke dalam mulutnya.

“Jadi kamu benar-benar gak berminat untuk alih prosefesi Yun?”

“Aku mungkin tak lama berada di kota ini Kak.”

“Lohh.. mau pergi kemana lagi kamu? Bukankah kamu terikat kontrak di tempat kerja untuk kurun waktu tertentu?”

Yuna menjelaskan kepada Prian bahwa dalam perjanjian antara Ia dan manajer tempatnya bekerja ternyata fleksibel. Jika Yuna jenuh, maka Ia bisa melenggang pergi setelah menuntaskan kewajibannya. Kewajiban dengan target mengumpulkan sekian banyak voucher yang di dapatnya selama bekerja mendampingi tamu karaoke dalam jumlah tertentu. Untuk seorang Yuna tak sulit mencapai target tersebut. Label “barang baru” menjadi daya tarik tamu. Utamanya tamu yang rutin berkunjung.

Sisi terang Prian menggeliat mendengar penjelasan Yuna. Segera disambarnya pernyataan Yuna tersebut. Prian mengatakan kepada Yuna bahwa Ia sangat senang mendengar Yuna berkeinginan untuk segera minggat dari tempatnya bekerja.

“Kamu masih muda Yun. Rasanya kurang elok berlama-lama menjalani profesi itu. Aku pikir banyak peluang kerja lain yang bisa kamu jalankan. Labih baik dari sekarang.”

Yuna merespon nasihat Prian dengan menarik kedua bibirnya yang mungil melebar kesamping. Rentetan gigi putihnya sedikit saja terlihat. Dikibaskannya beberapa helai rambut yang sedari tadi tampak menutupi pandangan mata kanannya.

“Aku turut senang dengan rancana kamu Yun. Semoga kamu segera mendapatkan jodoh pria idaman mu juga ya…”

Kalimat terakhir sukses membuat Yuna melebarkan bukaan bibirnya. Kali ini terlihat jelas susunan gigi putihnya yang sedari tadi menyembul malu-malu. Tawanya berderai lepas.

***

Meski telah mengutarakan ke-engganan-nya, namun Yuna tetap mendampingi Prian bertemu kolega bisnisnya. Pertemuan hanya berlangsung dua jam lamanya. Sebelum berpisah, Prian terlebih dahulu mengajak Yuna untuk makan siang di sebuah café yang terletak tak jauh dari lokasi pertemuan bisnisnya. Sebuah café waralaba menjadi pilihan Prian. Letaknya hanya beberapa blok dari lokasi pertama. Masih di area bisnis Palembang Trade Center.

Prian merasa ini pertemuan terakhir dengan Yuna. Penolakan Yuna atas tawaran nya untuk bergabung menjadi staf nya di kantor perwakilan Prian di Palembang pupus sudah. Prian tak ingin memaksa. Mimpi Yuna tak teresapi. Prian lebih memilih memanfaatkan detik akhir pertemuannya dengan Yuna berbincang tentang latar belakang keluarga Yuna.

Yuna bercerita bahwa Ia lahir dan besar di kota manado. Saat ini kedua orang tuanya telah bercerai dan telah memiliki pasangan hidup masing-masing. Jika tengah berada di manado, Yuna tinggal dengan ayahnya yang memiliki usaha bengkel mobil di pusat kota manado. Sementara Ibunya saat ini tinggal di Jakarta dan telah bersuami pula.

Prian tak terlalu tertarik dengan penyebab perceraian orang tua Yuna. Namun Prian menarik kesimpulan bahwa apa yang dilakukan Yuna saat ini mungkin dampak klasik perceraian keluarga.

Apa mau dikata. Negeri tercinta ini sempat tercatat memiliki angka perceraian tertinggi se Asia Pasifik. Data pengadilan mencatat di tahun 2010 silam, terdapat 285 ribu lebih pasangan bercerai. Sisi gelap dari perceraian tersebut justru membayangi anak-anak.

Statistik mencatat bahwa ada beberapa --jika tak ingin disebut banyak-- anak korban perceraian berubah menjadi pecandu alkohol atau narkotika, diantaranya sengaja merusak diri mereka sendiri secara langsung maupun tidak langsung.

Jika menyitir bahasa Psikologi, maka hal itu lumrah disebabkan oleh gejala Psikosomatis. Psikosomatis adalah penyakit fisik yang disebabkan oleh program pikiran negatif seseorang. Pikiran negatif melahirkan segudang masalah emosi seperti stress, depresi, kecewa, kecemasan dan rasa berdosa.

Bulu tangan Prian mengeras membayangkan dampak yang mampu ditimbulkan dari sebuah perceraian berlandaskan teori psikologi tersebut. Seorang anak korban perceraian mampu melakukan tindakan negatif tanpa batas!

Motivasinya tentu beragam. Tak merasa diperhatikan hingga merasa tak memiliki harapan adalah dua dari sekian banyak pemicu. Jika saja Yuna merupakan salah satunya, maka analisa tadi tampak jelas. Apa pula alasan gadis semuda Yuna, berparas elok, hingga rela menghempaskan dirinya ke dalam rotasi hitam. Sementara lingkar putih kehidupan terbuka lebar di hadapannya. Jalan hidup memang pilihan si empu-nya. Takdir hanya melengkapi.

Melihat ketetapan hati Yuna, Prian merasa yang bersangkutan tak lagi menghargai potensi  dirinya sendiri. Harga diri tak lagi menjadi sebuah kepentingan. Meski orang lain berusaha meninggikan derajatnya, namun Yuna seperti tersedot dalam pusaran pekat. Menikmati atau keterpaksaan tipis saja.

“Jika pergi dari Palembang, kamu mau kemana Yun..?”

“Belum tahu. Kemungkinan aku ke Manado. Atau mungkin ke Jakarta mendekatkan diri ke Mama.”

“Mama tinggal di mana?”

“Cilandak, Jakarta selatan.”

“Jika kamu ke Jakarta kelak, jangan segan- segan menghubungi aku ya…”

Prian melepas perpisahan dengan Yuna setelah terlebih dulu mengantarnya ke mess tempat tinggal Yuna. Lambaian tangan Yuna berbalas senyum Prian. Perpisahan itu tak meninggalkan kesedihan bagi keduanya. Setidaknya itu yang tampak. Hanya Prian yang setia berdoa dalam batin. Berharap Yuna menemukan jalan terbaiknya. Doa dalam hati menetes ringan.

***

Prian baru saja menuntaskan agenda meeting di kantor nya di Jakarta. Usai melepas kolega bisnisnya, Prian memasuki ruangan kerja. Ruangan berbentuk memanjang berukuran 4 X 10 meter persegi. Tepat di depan pintu masuk berderet sofa susun berbentuk L. Prian mengambil posisi duduk membelakangi kaca berlatar pemandangan kota.

Presentasi selama tiga jam cukup menguras energy nya. Waktu makan siang masih satu jam lagi. Ia memutuskan membunuh waktu dengan bersantai sejenak menikmati acara televisi yang kokoh berdiri di atas rak, tepat di hadapannya. Remote televisi besutan korea diraihnya dari atas meja. Jari jemarinya asik menekan chanel tivi. Berita siang hari di salah satu televise swasta nasioal menjadi pilihannya.

Prian belum sempat mengkonsumsi berita dari Koran harian yang biasa menghibur matanya. Setibanya di kantor pagi tadi, agenda meeting mendesak. Hanya sempat melirik halaman depan saja. Koran nasional itu masih tergolek setia disamping mug besar berisi air putih yang berada di atas meja kerjanya. Berita hari itu heboh dengan tertangkapnya seorang politisi wanita di Senayan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Dari dunia kriminal sudah dua hari ini diisi oleh prestasi Badan Narkotika Nasional  yang berhasil membekuk jaringan narkotika internasional.

Di layar televise LCD di hadapannya, seorang reporter pria tengah melaporkan langsung gelar perkaran oleh BNN terkait penangkapan dua hari lalu tersebut. Barang bukti narkotika jenis sabu seberat 50 kilogram dan tumpukan uang tunai sebanyak 2500 US dollar, berikut lima orang tersangka terpampang menjadi barang bukti.

Di sela gelar perkara itu sang reporter gesit mencari celah untuk mewawancarai salah satu tersangka. Salah satu tersangka wanita yang disinyalir bagian dari jaringan narkotika asal China menjadi target wawancaranya.

“Bisa Anda jelaskan apa peran anda dalam jaringan ini?”

Reporter berusaha mencecar tersangka wanita dengan pertanyaan cepat. Mendapat pertanyaan tersebut, tersangka wanita yang sedari tadi hanya menunduk-kan kepala akhirnya berusaha dengan tenang menengadahkan mukanya. Jemari tangan kanannya membuka tirai rambut yang sedari tadi membayangi sebagian wajahnya.

“Saya hanya menemani teman saat polisi menggrebek tempat kejadian perkara mas..!”  jawab wanita cantik itu masih dengan nada tenang. Di layar kaca televisi yang tengah ditatap Prian, muncul tulisan inisial nama tersangka… YN.

Yuna…! Prian tercekat..!

 

Jakarta, Januari 2016

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun