perang dunia yang terakhir itu.
Maka begitulah. Rusia akhirnya menginvasi Ukraina untuk alasan yang sepertinya hanya Presiden Putin saja yang memahaminya. Lalu dengung World War III pun membahana sejagad maya. Telah begitu lama sejakDi masing-masing negara yang berseteru itu, tak ada urusan lain yang lebih penting. Semua fokus pada urusan perang, termasuk urusan menyelamatkan diri. Mereka menyatu dalam masalah yang sama, menyatu dalam perang karena memiliki musuh yang sama.
Peperangan sering kali dipicu masalah-masalah yang tidak mudah dipahami. Seperti menebak alasan Putin. Memangnya Rusia kurang luas? Kalau tidak, lantas apa? Jangan-jangan masalahnya itu sebenarnya sesuatu yang bisa dituntaskan melalui chat Whatsapp.
Di zaman silam, peperangan tak melulu terjadi karena ada konflik kepentingan. Bisa saja karena kebiasaan masyarakatnya, karena tak ingin mati bosan. Daripada tidak ada kerjaan, mending menyerang kerajaan sebelah. Perang bahkan menjadi kegiatan rekreatif karena masyarakatnya sudah terlalu sering perang. Jadi ketika terjadi kevakuman perang, mereka butuh musuh. Kalau tak ada musuh baru, yang lama pun jadi.
Perang tidak selalu didasari hal-hal yang fundamental seperti perselisihan maupun ambisi penaklukan atau aneksasi. Perang bisa saja dilakukan karena alasan yang sederhana, seperti langkah penyelamatan bangsanya sendiri dari pertikaian antarsesama.
Misalnya suku Indian Mundurucu yang mendiami kawasan padang rumput di Para, Brazil bagian tengah. Sukubangsa ini menjadikan peperangan sebagai pengalihan permusuhan dan egresi di dalam internal suku. Jadi memilih musuh bersama untuk menghilangkan permusuhan di dalam kelompok.
Memang ada pandangan bahwa semua manusia memiliki kantung cadangan egresi, yaitu tindakan yang diniatkan untuk menyakiti atau melukai orang lain. Para penganjur dan pendukung teori ini mengatakan bahwa berfungsinya masyarakat secara umum aman dan tenteram bergantung pada adanya saluran-saluran yang disepakati secara sosial guna melampiaskan cadangan egresi yang niscaya ada itu.
Perang dengan kelompok luar merupakan salah satu opsi penting dalam hal ini. Atau jangan-jangan malah jadi satu-satunya saluran.
Pengalaman Perang
Tentu saja perang hanya akan menimbulkan kerugian, jatuhnya korban, derita dan sebagainya. Belum lagi biaya untuk perang yang sangat besar. Sejarah mencatat, perang dalam skala masif terjadi dua kali, itulah yang dikenal sebagai Perang Dunia (PD) I dan PD II dan itu semua berlangsung di Eropa, benua yang ditempati Ukraina dan juga sebagian kecil masuk wilayah Rusia.
PD I dipicu kasus terbunuhnya Franz Ferdinand, putra mahkota Austria, di Serbia. Austria meminta Serbia menyerahkan pembunuhnya, jika tidak akan diserang. Serbia menolak, dan akibatnya diserang Austria. Rusia sebagai sekutu Serbia datang menolong.
Jerman ikut serta membantu Austria yang kelimpungan. Sekutu Rusia bertambah dengan masuknya Inggris dan Perancis ke gelanggang. Pada akhirnya kelompok Austria dan Jerman kalah. Sementara PD II dipicu serangan Jerman ke Polandia, lalu tiba-tiba hampir semua negara besar terlibat dalam perang itu.
Jauh sebelum itu, perang sudah menjadi hobi yang berkembang lama di Eropa. Tentara Romawi, suka mengirim sepasukan tentara dan menaklukkan daerah di sekitarnya hingga mencapai Afrika dan Asia. Lalu ada Inggris, Spanyol, Portugis dan tentu saja Belanda.
Indonesia tentu memiliki pengalaman perang. Perang melawan Belanda, Inggris, Jepang. Kerajaan-kerajaan di Indonesia, punya sejarah perang yang lumayan pula. Antarkerajaan sering berperang, misalnya antara Tidore dan Ternate di Maluku.
Pengalaman perang yang banyak itu, tidak lepas dari kemampuan masyarakatnya dalam mengembangkan senjata, baik tradisional maupun modren. Indonesia ternyata sudah sejak lama memiliki kemampuan membuat senjata api, setidaknya menurut catatan penulis Portugis, Duarte Barbosa, yang tinggal di Asia antara tahun 1500 sampai 1517. Dia melihat orang-orang yang tinggal di Jawa sudah mahir membuat senjata api, meriam maupun senapan.
Orang Aceh juga sudah menggunakan senjata bola api yang ditembakkan dari perangkat pelontar saat berperang dengan armada Portugis pimpinan Laksamana Alfonso D'Albuquerque di Selat Malaka tahun 1558. Bola api itu sebenarnya kain yang dilumuri minyak bumi.
Serangkaian pengalaman tadi menempatkan Indonesia sebagai negara dengan pengalaman perang paling banyak di Asia Tenggara. Bandingkan dengan Kerajaan Thailand kuno yang dulu berperang dengan Myanmar. Vietnam juga perang dengan Amerika Serikat dan menjadi perang paling populer, karena setiap kali Holywood butuh pahlawan baru, mereka membuat film dengan setting perang Vietnam.
Sementara Malaysia juga sempat dijajah Inggris, dan merdeka juga akhirnya tahun 1957 dengan penunjukan Tunku Abdul Rahman sebagai Perdana Menteri. Namun perolehan kemerdekaannya agak berbeda dengan proses yang dialami Indonesia.
Mungkin pengalaman masa lalu itu juga yang membuat Indonesia terus mengantisipasi terjadinya perang. Pesawat-pesawat tempur, pesawat angkut terus dibeli. Kapal selam, fregat juga diperbanyak. Kita selalu siap untuk perang walau musuhnya belum diketahui.
Dalam kaitan itu, mungkin kita perlu memikirkan masalah yang bisa dijadikan musuh secara bersama. Untuk mengalihkan perhatian dari masalah toa, amandemen, minyak goreng, BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, tiga periode, dan hal remeh-temeh lainnya yang saat ini terlihat penting. Hal-hal yang semestinya juga bisa dituntaskan dengan chat Whatsapp.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H