Mohon tunggu...
Khairul Anwar
Khairul Anwar Mohon Tunggu... Penulis - Warga Bumi

Penikmat Teh Anget di Pagi Hari

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

IPNU-IPPNU dan Rendahnya Kualitas Berliterasi Media

9 Desember 2023   19:29 Diperbarui: 9 Desember 2023   19:31 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
mahasiswaindonesia.id

Dalam tiga tahun terakhir, saya sering diminta untuk memberikan materi kejurnalistikan. Entah di organisasi mahasiswa atau di organisasi IPNU-IPPNU. 

Apakah saya senang ketika diminta mengisi acara-acara tadi? Oh ya, sudah pasti saya senang. Artinya, di luar sana orang-orang percaya bahwa saya punya keahlian di bidang tersebut.

Mereka mengundang saya mungkin karena menilai saya punya kemampuan untuk memberikan "pencerahan" kepada peserta tentang materi yang dimaksud, meski sebenarnya saya juga masih sama seperti peserta yang lain, yakni "masih dalam tahap proses belajar".

Saya akan sangat mendukung ketika ada anak muda, atau siapa pun, yang punya kesadaran untuk belajar tulis menulis, baik itu menulis berita atau opini. Saya sendiri masih perlu banyak belajar menulis kepada yang ahli. Tulisan saya juga nggak bagus-bagus amat.

Tapi, ketika ada organisasi yang tertarik mengajak saya untuk sharing pengetahuan seputar tulis menulis, maka, saya berusaha untuk bisa hadir di tempat kegiatan tersebut.

Ketika menjadi narasumber kegiatan jurnalistik, saya memposisikan diri sebagai teman peserta. Biar apa? Biar nggak ada jarak di antara kami.

Selain itu, saya kira, akan sangat berlebihan jika menyebut diri saya sebagai narasumber, karena ilmu yang saya miliki masih sangat sedikit. Saya lebih suka memposisikan diri sebagai partner diskusi, sharing, dan bertukar pikiran, dengan para peserta.

Dalam kegiatan tersebut, minimal, saya bisa memberikan motivasi akan pentingnya berliterasi.

Apa Itu Literasi?

Pengertian Literasi menurut UNESCO adalah wujud dari keterampilan yang secara nyata, yang secara spesifik adalah keterampilan kognitif dari membaca serta menulis, yang terlepas dari konteks di mana keterampilan itu diperoleh dari siapa serta cara memperolehnya.

Dikutip detik.com, arti literasi menurut kamus online Merriam-Webster berasal dari istilah latin 'literature' dan bahasa inggris 'letter'. Literasi merupakan kualitas atau kemampuan melek huruf/aksara yang di dalamnya meliputi kemampuan membaca dan menulis.

Namun lebih dari itu, makna literasi juga mencakup melek visual yang artinya "kemampuan untuk mengenali dan memahami ide-ide yang disampaikan secara visual (adegan, video, gambar).

Kenapa saya paparkan definisi literasi, sebab supaya kita bisa memahami apa itu literasi. Kemampuan berliterasi, lebih-lebih kesadaran dalam berliterasi, saya rasa perlu diimplementasikan oleh setiap orang, setiap anak muda, wabil khusus kader organisasi Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) dan Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU).

Di awal, saya sempat bilang, bahwa saya begitu antusias ketika diajak belajar menulis, atau sharing seputar dunia aksara. Itu karena salah satu tujuan saya adalah membangkitkan kembali dunia literasi, lebih spesifik dunia tulis menulis.

Harus diakui, kesadaran warga IPNU-IPPNU dalam berliterasi masih sangat minim. Masih harus ada upaya-upaya keras dari pegiat literasi untuk mengajak anggota IPNU-IPPNU dalam menulis. Ini memang susah-susah gampang. Karena saya tahu, tidak banyak anggota IPNU-IPPNU yang konsen menulis.

Loh, jangankan mau menulis, kenal sama tokoh NU yang dijuluki pendekar pena, pernah disebut sebagai bintang jurnalistik pada masanya, pun, tidak. Tokoh tersebut adalah Mahbub Junaidi.

Beberapa waktu lalu, saya sempat melakukan survey kecil-kecilan. Saya menyebar pertanyaan lewat Whatsapp kepada anggota IPNU-IPPNU yang ada dalam kontak hape saya. Pertanyaannya sederhana "apakah kenal Mahbub Junaidi?". Dari 20 populasi, hampir 50% nya menjawab tidak tahu.

Memang, masih banyakan mereka yang tahu, selebihnya tidak tahu. Tapi, apakah mereka yang menjawab tahu hanya sekedar tahu nama saja? Saya yakin, iya. Ini cukup menandakan bahwa masih ada anggota IPNU-IPPNU yang tidak kenal Mahbub Junaidi.

Oke, mari kembali ke literasi.

Mahbub Junaidi memang lebih dikenal sebagai pendiri PMII, tapi tidak seharusnya anggota IPNU-IPPNU tak mengenalnya. Mahbub sama seperti tokoh-tokoh NU lainnya yang gemar menulis. Selain Mahbub, tokoh NU yang juga memiliki minat pada dunia tulis menulis adalah Hadratussyaikh K.H Hasyim Asyari, K.H Tolchah Mansoer, dan K.H Abdurrahman Wahid.

Bukan rahasia umum bila K.H Hasyim Asyari sangat lekat dengan menulis. K.H Hasyim Asyari produktif menulis kitab. Kitab-kitab yang ditulis tidak lepas dari fenomena sosial yang melatarbelakanginya, di saat agama dipahami dan dipraktekkan secara salah. Kitab-kitab tersebut ditulis dengan latar sosial antara tahun 1913 hingga 1947 M. Salah satu karyanya adalah Adab al-'Alim wa al-Muta'alim. 

Penulis produktif dari kalangan NU lainnya adalah K.H Tolchah Mansoer, sang pendiri IPNU. Beliau merupakan tokoh istimewa dalam tubuh NU, selain mubaligh yang handal beliau sekaligus seorang yang produktif menulis buku-buku keagamaan, buku ilmu hukum, dan artikel di beberapa media massa.

Berangkat setelah itu, sosok Gus Dur, kemudian melanjutkan keproduktifan dalam menulis. Pada masanya, Gus Dur aktif menulis di media nasional seperti Kompas dan Tempo. Tulisan-tulisannya masih bisa kita nikmati sampai sekarang.

Selain beberapa tokoh NU aktif menulis yang telah saya sebutkan, masih banyak lagi tokoh NU, khususnya yang muda-muda, yang gemar menulis. Sebut saja Kalis Mardiasih, Nadirsyah Hosen, hingga Savic Ali.

Kini, tantangan untuk melanjutkan keproduktifan menulis itu ada di generasi Anda. Generasi IPNU-IPPNU, usia 13-24 tahun. Kesadaran untuk berliterasi ini perlu dipupuk, kawan. Perlu dimulai, lalu ditingkatkan.

Kalaupun Anda tidak punya minat dalam dunia tulis menulis, maka, Anda setidaknya, melalui lembaga Anda, harus punya andil terhadap perkembangan dunia literasi di sekitar lingkungan Anda.

Saya sempat mengamati media-media yang dikelola oleh IPNU-IPPNU. Dalam mensyiarkan kegiatan-kegiatan, mereka memang punya media sosial, tapi tidak dengan website atau media online. Kalau toh hanya punya media sosial, seperti facebook, dan instagram, postingan mereka kebanyakan hanya sekadar ucapan selamat. Ucapan selamat hari ini, hari itu, dan lain-lain, Juga terkadang ucapan selamat ulang tahun anggotanya.

Selain itu, rata-rata postingan media sosial mereka juga berisi informasi acara terdekat, dan lain sebagainya. Masa iya, organisasi pelajar postingan media sosialnya hanya sebatas itu-itu saja?

Apakah yang demikian itu salah,? Nggak. Saya nggak menyalahkan itu. Justru itu hal bagus. Artinya, dalam dunia yang serba digital, postingan-postingan media sosial memang perlu digencarkan lebih masif lagi. Tentu, itu akan menjadi sesuatu yang berguna. Jauh lebih bermanfaat ketimbang media sosial organisasi yang postingan terakhirnya bertanggal 31 Desember 2021, misalnya.

Namun, apakah media organisasi, dalam hal ini milik IPNU-IPPNU, hanya sebatas soal ucapan-ucapan selamat, dengan para foto ketuanya nongol di pamflet-pamflet?

Lembaga media di sebuah organisasi, dalam pandangan saya, jangan hanya terpaku pada ucapan-ucapan selamat. Akan jauh lebih menarik dan keren jika sebuah organisasi mampu mengelola sebuah media online berbasis website guna menampung tulisan-tulisan kader yang intelektual, khususnya kader yang ingin menyalurkan bakatnya di bidang tulis menulis. Mereka butuh wadah. Jika bukan organisasi yang memfasilitasi, lalu siapa lagi?

Saya yakin ada beberapa alasan mengapa organisasi hanya berfokus pada media sosial, tidak juga pada media online berbasis website.

Salah satunya adalah kesadaran berliterasi yang masih sangat rendah. Dalam pengamatan saya, banyak teman-teman IPNU-IPPNU yang jago mendesain pamflet, tapi tidak terlalu banyak yang bisa menulis.

Oleh karenanya, tak heran jika media-media IPNU-IPPNU hanya diisi oleh pamflet-pamflet. Ini sekadar pengamatan pribadi saya, boleh setuju atau tidak.

Akhir kata, organisasi harus punya sumber daya yang ahli untuk mengelola website. Banyaknya website-website organisasi yang mangkrak, menurut saya, juga karena sumber daya manusianya yang nggak ada.

Kalau pun sumber dayanya ada, kesadarannya yang nggak ada. Dan yang lebih parah, tidak ada usaha dari organisasi untuk memperbaiki itu semua. Sekian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun