"ouh, itu berarti daerah mana ya mbak,?" tanya ku bingung.
"Ngaglik itu sebuah Kecamatan yang ada di Sleman, rumah saya ada di dekat jalan Damai,"
"Pokoknya, rumah saya itu agak deket-deket dengan Magelang,"katanya.
Singkat cerita, acara kelas Esai di hari pertama dimulai. Teman-teman ku yang lain plus mas Sarjoko, sebagai sang empunya hajat, telah memenuhi ruangan berukuran sekitar 6x3 meter tersebut.
Sewaktu acara dimulai, saya duduk dengan jarak yang tidak terlalu jauh dari mbak Kalis, sekitar 1,5 meter. Ini sengaja saya lakukan agar saya dapat lebih fokus menerima materi dari mbak Kalis.
Hari pertama kelas Esai itu diawali dengan perkenalan masing-masing peserta. Satu per satu teman-teman saya mengungkapkan tentang pengalamannya dalam hal membaca dan menulis. Saat tiba giliran saya, saya berusaha menyampaikan pengalaman saya sedetail mungkin. Saya ingin meyakinkan kepada teman-teman, dan tentunya kepada mbak Kalis, bahwa saya juga pernah menulis, sehingga kelolosan saya dalam acara ini bukan sebuah keberuntungan, melainkan saya punya pengalaman dalam menulis.
Setelah sesi perkenalan selesai, mbak Kalis mulai menerangkan materi menulis Esai.
"Mbak Kalis, mau nanya donk," saya mengangkat tangan ketika mbak Kalis membuka sesi pertanyaan.
"Iya monggo Anwar,"
"Begini mbak, saya masih agak bingung, apakah jenis tulisan esai yang di dalamnya terdapat percakapan itu bisa juga disebut sebagai tulisan fiksi,"tanya ku.
Mbak Kalis lantas memberikan jawaban mengenai perbedaan spesifik antara tulisan non fiksi dengan fiksi. Saya dapat memahami jawaban mbak Kalis. Sebab, jawaban yang disampaikan perempuan kelahiran Blora itu memang sangat mudah diterima oleh akal.