Tapi dinamika politik di Indonesia membuat populisme tetap terjadi. Misalnya, adanya isu perubahan yang digaungkan kelompok tertentu, yang tidak mengarah pada kepemimpinan yang teknokratis tapi justeru pada populisme yang merupakan de javu dari era sebelumnya. Perhatian orang orang justeru pada hal-hal populis dengan lahirnya tokoh-tokoh populis.
Isu isu yang beredar dimana seharusnya sudah ditinggalkan tapi justru malah digaungkan kembali.
Dari persoalan politik identitas, terlambatnya Indonesia mengatasi middle income trap dan berbagai hal lain justeru muncul dengan pembenaran pembenarah yang dibawa oleh kepentingan politik tertentu.
Argumen-argumen yang membangkitkan kembali politik identitas lebih berlatarbelakang pada tujuan politik tertentu dengan melakukan sejumlah pembenaran.
Padahal bangsa ini melalui perjalanan yang sangat panjang untuk tidak mengungkit lagi persoalan masalah toleransi atau intoleransi yang sebetulnya itu seharusnya sudah selesai ketika Indonesia masuk kurikulum ke-4.
Juga terkait dengan middle income trap, dimana untuk kepentingan politik tertentu telah mengorbankan upaya keras bangsa ini untuk lebih maju.
Middle income trap atau keterjebakan Indonesia menjadi negara berpenghasilan menengah (bukan negara yang berpenghasilan tinggi) disebabkan oleh pandangan populisme konservatif.
Mereka berpandangan bahwa program padat karya (salah satu contoh) yang mengandalkan manusia harus "dimenangkan" dibanding dengan penggunaan teknologi. Padahal produktivitas hasil yang didapat dari penggunaan teknologi lebih besar dari tenaga manusia.
Pandangan seperti ini tampaknya selalu dimanfaatkan oleh kepentingan politik tertentu untuk memperoleh dukungan dengan lebih mengedepankan program padat karya tersebut yang bersifat kebijakan populistik.
Padahal, melalui teknologilah Indonesia mampu bersaing di dunia internasional. Indonesia akan lebih panjang lagi menjadi bangsa yang terjebak pada negara berpenghasilan menengah bukan negara berpenghasilan maju karena populisme konservatif ini.
Nyala Api Cara Berpikir Bung Karno
Budiman layak diapresiasi. Di era serba cepat dan serba berebut, dimana politisi-politisi memikirkan berbagai hal agar "selamat" dalam tantangan perebutan kursi 2024, namun Budiman justeru berpikir masalah lain. Dia masih memberi ruang dalam benaknya untuk
merenungkan berbagai masalah, memetakannya lalu memberi pemecahan.