Algoritma Soekarno
Mengapa Budiman menggunakan algoritma Bung Karno untuk membangkitkan Indonesia di kurikulum ke-4? Jawabnya karena pada algoritmalah sejarah dan potensi bangsa bisa mulai dipecut.
Kita mengetahui bahwa di masa lalu Bung Karno bersama tokoh besar Republik Indonesia mampu memetakan Indonesia dalam kancah internasional (punya wawasan geopolitik).
Sehingga Indonesia tidak hanya menjadi objek melainkan menjadi subjek yang ikut menentukan arah dunia.
Budiman menggambarkan algoritma Bung Karno menjadi 5 unsur.
Pertama, pemahaman atas ruang (disebut Budiman geopolitik), kedua pemahaman atas waktu (historis/sejarah). Ketiga, pemahaman atas level pengorganisasian masyarakat secara politik ekonomi. Keempat, pemahaman atas kematangan organisasi perjuangan masyarakat dan kelima kemampuan imajinasi untuk membayangkan apa yang harus dilakukan dari bangsa Indonesia dengan segenap potensi yang dimiliki.
Lima unsur yang ada pada algoritme ini secara optimistik akan membuat Indonesia mampu "melengkungkan dunia" jika bangsa Indonesia secara materi memiliki isi (tidak kosong). Sejarah membuktikan bahwa di masa lalu Indonesia mampu bicara di Konferensi Asia Afrika. Juga mampu menghadirkan gerakan non-blok di saat dunia terbelah menjadi Blok Barat dan Blok Timur.
Indonesia saat ini berada dalam posisi "menjadi" sebuah negara yang berproses maju sehingga jangan diganggu oleh hal-hal yang justru menghambat proses itu.
Di masa lalu, proses "menjadi" bangsa Indonesia ketika bergaung Perhimpunan Indonesia di era 20-an. Kemudian terjadi pematangan yang memunculkan Sumpah Pemuda pada 1928, dimana muncul kesadaran sebagai sebuah bangsa yang merdeka di tahun 1945.
Saat ini, kesadaran untuk menjadi negara maju selayaknya diterima oleh segenap pemikiran generasi baru.
Pemikiran yang dibutuhkan saat ini adalah teknokratis sesuai kurikulum ke-4.
Budiman menjelaskan teknokratis merupakan bentuk dewasa dari apa yang disebutnya pemikiran populisme.
Ada perbedaan menyolok antara teknokratis dan populisme. Dia membagi populisme menjadi 2 yaitu populisme konservatif dan populisme progresif.
Menurutnya pandangan populisme progresif telah terjadi di 2014, di awal pemerintahan Jokowi. Namun ini sulit dipertahankan ketika memasuki kurikulum ke-4.
Indonesia akan sulit mencapai kemajuan jika mempertahankan populisme. Sebab, tantangan yang dihadapi Indonesia saat ini berbeda.
Budiman optimistik, dengan kepemimpinan teknokratis itu akan membawa bangsa Indonesia mampu memadatkan diri sehingga dapat "melengkungkan" dunia (istilah intrinsik versi Budiman).
Ancaman justeru muncul jika Indonesia tetap mempertahankan pola populisme konservatif atau pola populisme progresif itu. Salah satunya kurangnya kemampuan Indonesia mengakselerasi perubahan kurikulum ke-4.