Mohon tunggu...
Khaidir Asmuni
Khaidir Asmuni Mohon Tunggu... Penulis - Penulis lepas

Alumnus filsafat UGM

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Algoritma Soekarno: Narasi Besar Budiman Sudjatmiko Hadapi Kurikulum ke-4 Perubahan Dunia

6 Maret 2023   17:51 Diperbarui: 7 Maret 2023   22:19 1861
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politisi PDIP Budiman Sudjatmiko mengungkap pentingnya Ibu Megawati Soekarnoputri memegang jabatan sebagai Ketua Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), salah satunya adalah untuk mengawal teknokrasi Indonesia. Pada bagian lain, Budiman menyebutkan perjalanan Indonesia terancam balik lagi ke "belakang" akibat gaung perubahan yang dicetuskan kalangan tertentu, ternyata konservatif yang justeru dapat memperlambat Indonesia dalam melalui kurikulum ke-4 perubahan dunia.

Pernyataan Budiman menyiratkan bahwa PDIP (dengan kekuatan konsistensi Ibu Mega) tidak sekadar mempertahankan kemenangan dari pemilu ke pemilu,  melainkan juga memiliki tanggung jawab mengawal perjalanan peradaban suatu bangsa.

Itulah sebabnya melalui tanggung jawab tersebut, Ibu Mega dalam berbagai kesempatan, selalu konsisten mengawal bangsa ini untuk tetap on the track.

Dunia dalam 4 Kurikulum

Dalam wawancara dengan Ahmad Syahal dari Mind TV, Budiman menjelaskan tulisannya yang dimuat di Kompas bertajuk "Imajinasi Baru Kebangsaan". Budiman menyinggung perjalanan sejarah dunia yang telah melalui 4 tahapan setiap 25 tahun (yang disebutnya kurikulum). Kurikulum pertama terjadi pasca Perang Dunia II (1945-1970). 

Pada masa ini pihak pemenang Perang Dunia II mengalahkan fasisme Jerman, Italia dan Jepang. Namun mereka kehabisan sumber daya dan tidak punya tenaga lagi untuk menjaga jajahan. Banyak negara merdeka. Termasuk Indonesia. Konflik politik dan konflik bersenjata di masa ini kebanyakan berkaitan dengan perebutan sumber daya alam.

Pada kurikulum kedua (1970-1995) tahap pabrikasi manufaktur. Pertumbuhan ekonomi dunia tidak lagi pada penguasaan sumber daya alam namun bergeser ke  yang industri pabrikasi manufaktur.
Jepang dan Jerman yang tadinya kalah perang mulai bangkit. Industri manufaktur Jepang dan Jerman merambah du Asia dan Eropa.

Kurikulum ketiga terjadi pada 1995-2020 di mana terjadi industri rekayasa keuangan. Siapapun yang punya kemampuan rekayasa finansial akan mampu menentukan arah dunia. Salah satu yang dicontohkan Budiman adalah terjadinya krisis moneter. Indonesia termasuk yang terkena imbas di tahun 1997. Di era ini, pihak pihak yang menguasai rekayasa finansial tanpa harus berkeringat mencari sumber daya alam justeru lebih maju.

Kurikulum ke-4 (2020-2045). Pada kurikulum ke-4 ini tentu saja, tantangan yang dihadapi berbeda dengan masa sebelumnya. Siapa yang menguasai data itulah yang akan melesat. Pandemi Covid-19 termasuk menjadi salah satu pemicu munculnya pentingnya data di dunia. Ketika setiap aktivitas sehari-hari harus terdata. Data akan menjadi kekuatan yang menguasai dunia.

Dari 4 kurikulum itu, Budiman menggarisbawahi posisi Indonesia yang menjadi korban. Indonesia menjadi sasaran pemasaran produk negara industri maju pada kurikulum ke-2. Indonesia juga terkena imbas krisis moneter pada kurikulum ke-3. Akankah Indonesia akan kalah di era kurikulum ke-4?

Dalam wawancara dengan Ahmad Syahal ini, Budiman menilai potensi Indonesia untuk menang dalam kurikulum ke-4. Tentu saja dengan penguasaan teknologi dan sejumlah potensi lain yang dimiliki Indonesia. Potensi itu sebut saja dari jumlah penduduk yang besar, kekayaan etnis yang masing masing memiliki karakter (keanekaragaman sosial budaya) hingga sumber daya alam yang berlimpah (keanekaragaman flora dan fauna)
Indonesia bercermin. Indonesia memahami kecantikan, keindahan dan berbagai potensinya. Indonesia dituntut menentukan arah dunia.

Algoritma Soekarno

Mengapa Budiman menggunakan algoritma Bung Karno untuk membangkitkan Indonesia di kurikulum ke-4? Jawabnya karena pada algoritmalah sejarah dan potensi bangsa bisa mulai dipecut.
Kita mengetahui bahwa di masa lalu Bung Karno bersama tokoh besar Republik Indonesia mampu memetakan Indonesia dalam kancah internasional (punya wawasan geopolitik).

Sehingga Indonesia tidak hanya menjadi objek melainkan menjadi subjek yang ikut menentukan arah dunia.
Budiman menggambarkan algoritma Bung Karno menjadi 5 unsur.

Pertama, pemahaman atas ruang (disebut Budiman geopolitik), kedua pemahaman atas waktu (historis/sejarah). Ketiga, pemahaman atas level pengorganisasian masyarakat secara politik ekonomi. Keempat, pemahaman atas kematangan organisasi perjuangan masyarakat dan kelima kemampuan imajinasi untuk membayangkan apa yang harus dilakukan dari bangsa Indonesia dengan segenap potensi yang dimiliki.

Lima unsur yang ada pada algoritme ini secara optimistik akan membuat Indonesia mampu "melengkungkan dunia" jika bangsa Indonesia secara materi memiliki isi (tidak kosong). Sejarah membuktikan bahwa di masa lalu Indonesia mampu bicara di Konferensi Asia Afrika. Juga mampu menghadirkan gerakan non-blok di saat dunia terbelah menjadi Blok Barat dan Blok Timur.

Indonesia saat ini berada dalam posisi "menjadi" sebuah negara yang berproses maju sehingga jangan diganggu oleh hal-hal yang justru menghambat proses itu.

Di masa lalu, proses "menjadi" bangsa Indonesia ketika bergaung Perhimpunan Indonesia di era 20-an. Kemudian terjadi pematangan yang memunculkan Sumpah Pemuda pada 1928, dimana muncul kesadaran sebagai sebuah bangsa yang merdeka di tahun 1945.
Saat ini, kesadaran untuk menjadi negara maju selayaknya diterima oleh segenap pemikiran generasi baru.

Pemikiran yang dibutuhkan saat ini adalah teknokratis sesuai kurikulum ke-4.
Budiman menjelaskan teknokratis merupakan bentuk dewasa dari apa yang disebutnya pemikiran populisme.
Ada perbedaan menyolok antara teknokratis dan populisme. Dia membagi populisme menjadi 2 yaitu populisme konservatif dan populisme progresif.
Menurutnya pandangan populisme progresif telah terjadi di 2014, di awal pemerintahan Jokowi. Namun ini sulit dipertahankan ketika memasuki kurikulum ke-4.

Indonesia akan sulit mencapai kemajuan jika mempertahankan populisme. Sebab, tantangan yang dihadapi Indonesia saat ini berbeda.

Budiman optimistik, dengan kepemimpinan teknokratis itu akan membawa bangsa Indonesia mampu memadatkan diri sehingga dapat "melengkungkan" dunia (istilah intrinsik versi Budiman).

Ancaman justeru muncul jika Indonesia tetap mempertahankan pola populisme konservatif atau pola populisme progresif itu. Salah satunya kurangnya kemampuan Indonesia mengakselerasi perubahan kurikulum ke-4.

Tapi dinamika politik di Indonesia membuat populisme tetap terjadi. Misalnya, adanya isu perubahan yang digaungkan kelompok tertentu, yang tidak mengarah pada kepemimpinan yang teknokratis tapi justeru pada populisme yang merupakan de javu dari era sebelumnya. Perhatian orang orang justeru pada hal-hal populis dengan lahirnya tokoh-tokoh populis.

Isu isu yang beredar dimana seharusnya sudah ditinggalkan tapi justru malah digaungkan kembali.
Dari persoalan politik identitas, terlambatnya Indonesia mengatasi middle income trap dan berbagai hal lain justeru muncul dengan pembenaran pembenarah yang dibawa oleh kepentingan politik tertentu.

Argumen-argumen yang membangkitkan kembali politik identitas lebih berlatarbelakang pada tujuan politik tertentu dengan melakukan sejumlah pembenaran.

Padahal bangsa ini melalui perjalanan yang sangat panjang untuk tidak mengungkit lagi persoalan masalah toleransi atau intoleransi yang sebetulnya itu seharusnya sudah selesai ketika Indonesia masuk kurikulum ke-4.

Juga terkait dengan middle income trap, dimana untuk kepentingan politik tertentu telah mengorbankan upaya keras bangsa ini untuk lebih maju.

Middle income trap atau keterjebakan Indonesia menjadi negara berpenghasilan menengah (bukan negara yang berpenghasilan tinggi) disebabkan oleh pandangan populisme konservatif.

Mereka berpandangan bahwa program padat karya (salah satu contoh) yang mengandalkan manusia harus "dimenangkan" dibanding dengan penggunaan teknologi. Padahal produktivitas hasil yang didapat dari penggunaan teknologi lebih besar dari tenaga manusia.

Pandangan seperti ini tampaknya selalu dimanfaatkan oleh kepentingan politik tertentu untuk memperoleh dukungan dengan lebih mengedepankan program padat karya tersebut yang bersifat kebijakan populistik.

Padahal, melalui teknologilah Indonesia mampu bersaing di dunia internasional. Indonesia akan lebih panjang lagi menjadi bangsa yang terjebak pada negara berpenghasilan menengah bukan negara berpenghasilan maju karena populisme konservatif ini.

Nyala Api Cara Berpikir Bung Karno

Budiman layak diapresiasi. Di era serba cepat dan serba berebut, dimana politisi-politisi memikirkan berbagai hal agar "selamat" dalam tantangan perebutan kursi 2024, namun Budiman justeru berpikir masalah lain. Dia masih memberi ruang dalam benaknya untuk
merenungkan berbagai masalah, memetakannya lalu memberi pemecahan.

Hal ini sungguh luar biasa karena di tengah orang berebut dan tidak memiliki waktu untuk mengendapkan persoalan, Budiman justeru menuangkan pemikirannya dalam kanvas besar sehingga politik tidak
hanya dipandang pragmatis dalam jangka pendek tetapi politik menjadi ruang kosmos, berseni dan bermanfaat bagi bangsa.

Orang-orang seperti ini kian langka. Apalagi di tengah polarisasi kaum intelektual dan terjadi perpecahan di dunia kampus. Karena semuanya akan mengarah pada politisasi dengan pandangan politik yang berbeda.

Ini menyebabkan pemikiran besar akan jarang lahir di zaman seperti sekarang ini.  Pemikiran yang di cetuskan oleh Budiman menunjukkan bahwa masih ada celah untuk mengendapkan persoalan bangsa agar kita dapat melangkah lebih maju dari masa sebelumnya.

Lantas apa yang menginspirasi Budiman dengan semua pemikirannya? Dalam wawancara dengan Ahmad Sahal, Budiman mengungkapkan bahwa algoritma Soekarno itu memberinya inspirasi tentang pola pikir dari proklamator bangsa itu. Dia mengambil api dari pola pikir itu, bukan abunya.

Dengan demikian dinamika perjalanan bangsa dipandangnya sebagai suatu in state of becoming (proses menjadi) bukan in a state of being (dalam keadaan sudah jadi).

Jika kita menyitir filsuf Heraclitus maka akan disadari bahwa hanya perubahan yang abadi. Jika dikaitkan dengan nyala api dari Bung Karno dia bersifat dinamis dan terus berkelanjutan sampai kapanpun. Sebuah pemikiran adalah bagian dari in state of being. Tapi pola pikir adalah in state of becoming.

Budiman dengan berbagai usahanya mencoba untuk melanjutkan itu. Dia menapaki perjalanan sebuah bangsa, bercermin lalu merefleksikan diri dari suasana geopolitik atas dasar jejak-jejak sejarah yang diperolehnya.

Ruang dan waktu kadang tak bersahabat. Kadang dia harus berpikir di tengah badai.

Penulis: Khaidir Asmuni (Democracy Care Institute)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun