Mohon tunggu...
Khaidir Asmuni
Khaidir Asmuni Mohon Tunggu... Penulis - Penulis lepas

Alumnus filsafat UGM

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Catatan Kritis di Balik Pro dan Kontra UMP DKI Jakarta

16 Januari 2022   13:24 Diperbarui: 16 Januari 2022   13:55 357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Eva Paus menggambarkan pengembangan kemampuan berproduksi dalam negeri di negara yang terjebak MIT adalah dibutuhkannya waktu untuk belajar, dalam proses produksinya. Juga perlu dibangunnya struktur kelembagaan yang diperlukan yang memungkinkan dan mendukung inovasi.

Tentu saja  waktu yang tersedia untuk mencapai daya saing dalam kegiatan bernilai tambah lebih tinggi menjadi lebih singkat.

Ditambah lagi banyak pemain bersaing di pasar internasional dan perubahan teknologi lebih cepat (Revolusi Industri 4.0). Misalnya China yang makin memberi tekanan pada negara-negara berpenghasilan menengah melalui produknya.

Karena China adalah negara terpadat di dunia, pembukaannya untuk perdagangan internasional telah menawarkan peluang ekspor baru yang luar biasa bagi seluruh dunia.

Mereka tidak saja mampu bersaing dalam produk standar berteknologi rendah seperti pakaian non-desain, tetapi juga dalam produk berteknologi tinggi, khususnya produk elektronik dan komputer. Antara tahun 2000 dan 2014, pangsa China dalam impor barang-barang berteknologi rendah dunia naik dari 19,6 persen menjadi 29,3 persen, sementara pangsanya dalam impor berteknologi tinggi juga meningkat. Ini terjadi 7 tahun lalu dan dapat dipastikan kini kian meningkat.

Indonesia memang terus berupaya mengembangkan kemampuan berproduksi dalam negeri dengan melakukan teansfer teknologi.
PT. Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), misalnya. Mereka mengklaim sukses melakukan transfer teknologi kepada para pekerja Indonesia yang didominasi pekerja lokal, sehingga penggunaan tenaga kerja asing semakin menurun.

PT. Sulawesi Mining Industri, seperti diberitakan Kantor Berita Antara, merupakan perusahaan pertama yang membangun smelter nikel di IMIP, pada awalnya 80 persen tenaga kerjanya adalah TKA asal China, namun sekarang hampir tidak ada lagi TKA di situ.

Untuk mempercepat transfer teknologi ini, IMIP telah membuka Politeknik Industri Pertambangan yang akan mendidik generasi muda untuk menjadi tenaga siap pakai di sektor pertambangan.

Lahan di Indonesia masih luas. Potensi bahan baku untuk pengembangan industri pertambangan di Morowali sangat besar, karena selain nikel, daerah itu juga memiliki potensi industri baja, mangan dan besi. Sedangkan industri hilir yang potensial dibangun adalah baja karbon (carbon steel dan bateray lithium).

Sekarang ada satu investor yang sedang membangun pabrik bateray lithium. Kalau pabrik ini beroperasi, maka IMIP akan menjadi produsen bateray lithium terbesar di dunia.

Memang berat untuk bangkit dari MIT. Tidak saja perjuangan tapi juga sikap Istiqamah untuk menghadapinya. Transfer teknologi menjadi jalan yang on the track untuk berinovasi dan memulai kemampuan Indonesia di pasar internasionsl.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun