Mohon tunggu...
Khaidir Asmuni
Khaidir Asmuni Mohon Tunggu... Penulis - Penulis lepas

Alumnus filsafat UGM

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Catatan Kritis di Balik Pro dan Kontra UMP DKI Jakarta

16 Januari 2022   13:24 Diperbarui: 16 Januari 2022   13:55 357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita tidak memahami apakah ini latar belakang dikeluarkannya argumen dari Manoarfa tersebut terkait UMP DKI Jakarta. Namun selayaknya Bappenas yang memiliki kredibilitas memberi argumen-argumen yang profesional. Yang tidak menggunakan istilah dukung-mendukung.  Melainkan terdapat penjelasan panjang mengenai latar belakang dikeluarkannya PP No.36/2021.

Ketiga, sense of objectivity sangat dibutuhkan oleh setiap lembaga negara. Saat ini orang memandang Anies Baswedan tidak saja sebagai Gubernur DKI Jakarta tapi juga sebagai calon presiden yang telah dideklarasikan sejumlah pihak. Artinya apa yang dilakukan Anies Baswedan bisa saja terkait interrest yang berpengaruh pada unsur-unsur yang lebih bersifat politis.

Stuck dalam MIT?

Seperti halnya sebuah jebakan, makna "trap" dari MIT adalah sesuatu yang menangkap kita sehingga kita sulit meloloskan diri. Kita tertangkap. Jika menggunakan istilah Eva Paus, profesor ekonomi dari Massachusetts, A.S., yang telah meneliti persoalan MIT di Amerika Latin, untuk lolos harus dengan upaya sangat keras.

Analisis Eva Paus dalam artikel berjudul "Escaping The Middle Income Trap: Innovate or Perish" yang dirilis Asian Development Bank Institute, tahun 2017 lalu, jika direfleksikan, masih sangat relevan dengan kondisi saat ini.

Persoalan UMP misalnya seolah/terkesan terlepas dari masalah MIT. Padahal dia merupakan bagian dari diterapkannya omnibus law yang berlatarbelakang pada upaya efisiensi upah agar Indonesia lolos dari jebakan berpenghasilan menengah yang berkepanjangan.

Dasar pemikirannya adalah keinginan meningkatkan daya saing produk secara internasional. Sebab, dengan kondisi produk yang dihasilkan dari padat karya yang terstandarisasi, upah relatif terlalu tinggi. Juga tidak dapat menjamin produk mampu bersaing karena produktivitas relatif terlalu rendah.

Selain itu, dengan kondisi upah yang tinggi sulit untuk menarik investor. Ditambah lagi dengan transformasi teknologi melalui otomatisasi (revolusi industri 3.0) membuat produktifitas dari hasil teknologi lebih menjanjikan dalam kuantitas dan kualitasnya dibanding dari padat karya. Itulah sebabnya, jalan untuk lolos dari MIT adalah berinovasi.

Karena peraturan 36/2021 mengenai UMP tersebut berlatar belakang dari upaya untuk melakukan kepastian hukum, efisiensi dan  kecepatan, maka ini harus disesuaikan dengan konteks jangka menengah dan panjang.

Misalnya dalam memandang pengaruh konsumsi rumah tangga terhadap pertumbuhan ekonomi. Ini tak harus membius kita mengabaikan upaya meningkatkan industri manufaktur. Sehingga tidak terjebak pada deindustrialisasi.

Indonesia tidak bisa selamanya mengabaikan industrialisasi dan hanya menekankan komoditas. Atau juga terlalu berpihak pada sisi kebijakan pragmatis yang mungkin lebih populis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun