Mohon tunggu...
Khaidir Asmuni
Khaidir Asmuni Mohon Tunggu... Penulis - Penulis lepas

Alumnus filsafat UGM

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Metaverse di 2024, Akankah Jadi Pertarungan Avatar Para Politisi?

19 Desember 2021   04:39 Diperbarui: 26 Desember 2021   22:30 2056
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rencana Ikatan Alumni ITB membangun ibukota baru di metaverse menunjukkan bangkitnya adrenaline untuk mengeksplorasi lebih jauh keberadaan metaverse. Tidak menutup kemungkinan hal yang sama terjadi di bidang lainnya. Misalnya politik. Salah satunya adalah menjelang Pemilu dan Pilpres 2024, di mana metaverse juga ada kemungkinan bisa diterapkan.

Sejauh yang dijelaskan para ahli, metaverse tidak hanya bisa diimplementasi ke sisi ekonomi, budaya, maupun sosial, tetapi juga dalam kehidupan politik.

Pada tahun 2020, Andrew Yang mengubah dirinya menjadi avatar dan berkampanye di metaverse. Demikian Cathy Hackl menulis di Forbes bulan Juni 2021 lalu.

Andrew Yang menggunakan metaverse untuk mengkampanyekan diri menjadi walikota New York dan merupakan kandidat terdepan dalam pemilihan walikota Demokrat Kota New York. 

Dia memasukkan teknologi imersif dan metaverse dalam konferensi pers metaverse pertamanya pada 10 Juni 2020. Dia melakukannya di salah satu platform metaverse yang tumbuh paling cepat, Zepeto. Andrew Yang terlibat dengan audiensnya sebagai avatar.

Sebetulnya tidak hanya Andrew Yang menggunakan cara ini. Pada tahun yang sama, kampanye Biden Harris meluncurkan peta di Fortnite. Juga, anggota Kongres AS Alexandria Ocasio-Cortez melakukan tur virtual dalam game Animal Crossing.

Pada 22 Agustus 2021 lalu Yonhap News Agency memberitakan calon presiden Partai Demokrat Korea Selatan meluncurkan kampanye online di kamp metaverse mereka. Artinya, Korsel juga telah memulai kampanye 3 dimensi metaverse.

Penggunaan Metaverse Bisa Lebih Cepat?

Dari gambaran di atas, penggunaan avatar (metaverse) telah memiliki contoh. Kendati secara global, sebagian menilai masih bersifat konseptual. 

Namun apabila terjadi percepatan penggunaan metaverse di berbagai negara akibat dari tingginya animo untuk memanfaatkan teknologi tersebut, maka bagi politisi penguasaan teknologi ini menjadi suatu keharusan.

Pertama, tren yang tumbuh di masyarakat tidak bisa diabaikan begitu saja. Apalagi melawan arus mainstream dari sesuatu yang digandrungi masyarakat.

Kaum milenial, misalnya, yang juga merupakan pemilik suara potensial tidak bisa di abaikan begitu saja ketika mereka mulai menyukai metaverse. Sangatlah tidak taktis apabila secara politik metaverse diabaikan.

Di masa lalu, saat Facebook muncul, masyarakat sangat antusias. Gambaran peristiwa politik bahkan diukur dari viral atau tidaknya di media sosial.

Keterkaitan facebook dengan dinamika politik di suatu negara tidak diragukan. Publik bisa melihat dari Pilpres AS yang melambungkan nama Trump. Ataupun begitu hangatnya pilgub DKI Jakarta beberapa tahun lalu akibat keberadaan facebook. Akankah hal yang sama terjadi dengan metaverse?

Kendala penerapan metaverse sebetulnya ada pada peralatan VR yang dinilai cukup mahal. Keluaran Facebook sendiri yaitu Oculus Quest 2 lebih dari Rp5 juta. Hanya yang menarik jika kita browsing dari Bukalapak, Shopee dan lain-lain, ada harga VR antara Rp250.000 sampai Rp500.000. 

Ini mungkin lebih terjangkau meski dari sisi lain misalnya kualitas akan berbeda dengan keluaran Facebook. Lagi pula masih butuh penjelasan apakah ini bisa digunakan untuk metaverse?

Kedua, masa pandemi yang belum sepenuhnya berakhir membuat masyarakat masih terbiasa untuk berada di rumah dan melakukan aktivitas di media sosial.

Tentu saja gambaran kebiasaan masyarakat ini harus di imbangi oleh para politisi dengan mencari cara untuk mensosialisasikan berbagai program secara efektif dan efisien yang dapat meraih simpati dari masyarakat secara luas.

Bukan hanya itu, situasi pandemi yang belum sepenuhnya usai masih membuat pengumpulan massa untuk berkampanye menjadi sesuatu yang belum memungkinkan. Sehingga dicari cara yang lebih efektif untuk melakukan sosialisasi politik.

Sebelumnya kondisi ini dilakukan secara virtual (zoom) dan lain-lain. Tidak saja dilakukan oleh masyarakat, tapi juga Pemerintah. Maka dengan adanya metaverse ruang tiga dimensi, hal ini menjadi tantangan yang menarik bagi politisi.

Saat Korea Selatan berkeinginan merayakan tahun baru 2022 di Balaikota yang dihadiri oleh masyarakatnya di sana secara virtual tiga dimensi, menunjukkan bahwa ada kemungkinan menggunakan metaverse di dalam menjalin pertemuan-pertemuan politik.

Di Amerika Serikat, warganya mengungkapkan pada April 2020, mereka termasuk di antara 27 juta pengunjung unik yang menyaksikan Travis Scott mengadakan konser virtual di Fortnite. Jumlah 27 juta itu 67 kali lipat jumlah orang yang pergi ke Woodstock pada 1969 yang berjumlah sekitar 500 ribu orang.

Ketiga, mungkinkah liputan media massa nantinya akan bersifat metaverse? Artinya, apa yang diliput oleh wartawan adalah kegiatan yang dilakukan di dunia maya? Termasuk dengan liputan kampanye jika dilakukan secara virtual tiga dimensi.

Contohnya yang dilakukan masyarakat di Korea Selatan yang merayakan malam tahun baru di balai kota di negara tersebut tentu saja liputannya bukanlah bersifat liputan nyata. Melainkan liputan yang masuk ke dunia virtual.

Juga di sana akan terlihat apakah ada air mancur kembang api atau berbagai pesta yang dilaksanakan oleh masyarakat di sana.

Itulah sebabnya liputan metaverse berbeda dengan liputan dunia nyata yang selama ini dilakukan oleh para wartawan. Bagaimana mungkin seorang wartawan akan mengetahui peristiwa yang berada dalam virtual metaverse tersebut jika tidak masuk ke dalamnya.

Lebih jauh lagi, selama ini adanya pelanggaran money politics, misalnya, biasanya langsung ditayangkan atau diberitakan melalui media dengan begitu cepat.

Bagaimana jika terjadi bagi-bagi crypto apakah itu termasuk sebuah pelanggaran? Karena bisa saja bagi-bagi crypto mempengaruhi sikap masyarakat untuk memilih seseorang.

Tampaknya aturan Pemilu digital sudah saatnya dipikirkan. Jika terjadi "crypto politics" dan itu dinilai sebuah pelanggaran, maka wartawan metaverse harus segera melaporkan.  

Time, untuk pertama kalinya menerbitkan liputan metaverse lewat buletinnya. Dalam tulisan Andrew Chow 18 November 2021 lalu digambarkan bagaimana seluruh istilah-istilah intrinsik yang dimunculkan adalah berkaitan dengan metaverse. 

Seperti jual beli menggunakan mata uang chrypto. Kemudian dalam menjelaskan NFT ataupun transaksi ekonomi di dunia virtual. Semua merupakan istilah-istilah yang muncul dalam metaverse.

Tulisan perdana Time dalam versi metaverse ini memang sangat menarik. Kita tunggu saja Time membuka kantor di dunia metaverse yang bisa diikuti media lainnya.

Avatar Pintar

Metaverse menawarkan Avatar yaitu bentuk virtual kita di ruang tiga dimensi. Avatar seorang politisi ataupun capres dapat melakukan pertemuan-pertemuan dengan masyarakat dengan cara yang sangat efektif cepat efisien serta terhindar dari sorotan protokol kesehatan.

Dengan pertemuan virtual tiga dimensi dengan masyarakat tersebut politisi bisa menjangkau seluruh Indonesia. Tidak bergantung pada hujan panas atau cuaca buruk ketika pesawat harus menuju lokasi acara.

Bukan hanya itu. Dengan kecanggihan teknologi artificial intelligence (AI) maka Avatar yang diciptakan bisa dibuat pintar, dengan cara memasukkan berbagai pengetahuan atau data ke Avatar tersebut.

Avatar dinilai mampu melakukan komunikasi politik melalui berbagai program acara, tayangan iklan, atau pun postingan melalui media sosial. Komunikasi politik ini tentunya dirumuskan untuk mempengaruhi sikap pemilih.

Jika diperhatikan tampilan lain para politisi di media sosial memang kelihatan ada upaya yang tinggi untuk merebut simpati masyarakat. Terutama kalangan milenial.

Ketika Airlangga Hartarto muncul dengan sebutan Paman AHA dan kemudian dia terlihat sedang latihan Kungfu Wing Chun tampak menggoda para milenial untuk mengenal lebih jauh tentang Airlangga Hartarto.

Hal yang sama juga bisa disaksikan ketika Prabowo Subianto dengan menggunakan topi Cow Boy. Termasuk Ganjar Pranowo dengan sepedanya. 

Serta berbagai gambaran lain dari para tokoh nasional yang terlihat di media sosial. Seperti Puan Maharani, Erick Thohir dan tokoh lainnya. Semua itu sebetulnya bisa saja menjadi tampilan avatar. Bisa juga tidak.

Kehadiran Avatar dari politisi ataupun capres adalah sesuatu yang revolusioner. Jika selama ini masyarakat mengenal blusukan untuk pendekatan ke masyarakat, maka avatar bisa dikondisikan melakukan itu. Politisi bisa mengubah cara-cara kampanye lebih modern. Sebab, dia memiliki karakter kedua: Avatar.

Hal ini akan bergantung dari narasi-narasi politik yang dibangun agar relevan dengan masalah-masalah di masyarakat dan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat.

Avatar bisa mengambil peran pada sifat-sifat penokohan yang tritagonis atau protagonis.  Apabila dalam figur protagonis dia akan lebih bersifat heroik. Sedangkan untuk meraih simpati maka pada figur tritagonis dimunculkan untuk dapat membantu menyelesaikan masalah-masalah yang ada di masyarakat.

Apabila avatar avatar ini hadir menghiasi Pemilu dan Pilpres 2024, maka masyarakat melalui perangkat metaverse bisa menyaksikan pertarungan para avatar politisi dengan berbagai narasi yang dibangun.

Karena avatar merupakan identitas virtual (bisa menjadi karakter kedua dari politisi) maka jangan heran akan hadirnya watak baru yang bisa berbeda dari yang selama ini diketahui masyarakat.

Bagaimana jika watak penokohan avatar berbeda dengan wataknya yang riil? Oh, itu bisa karena masalah teknis keavataran dan narasi yang berhasil dibangun oleh politisi.

(KHAIDIR ASMUNI/Democracy Care Institute)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun