Survei dan berita-berita media sudah berjalan begitu jauh tentang pilpres 2024, seolah secara de fact hal itu sudah dimulai, meski secara legitimated (de yure) belum ada karena tahapan Pemilu memang belum dimulai. Seolah memperebutkan posisi di masyarakat sejumlah nama tampak menghiasi lembaran screen dunia maya dengan kegiatan riil ataupun virtual.
Dari sekian banyak seliweran status facebook yang dibrowsing dan ditouchscreen, Ketua DPR RI Puan Maharani salah satu yang mendapat tempat di hati masyarakat.Â
Kendati cucu Bung Karno ini didera oleh bias politik (bias kognitif), namun ketegarannya membuktikan sebuah sikap kenegarawanan. Salah satu sikap bias yang dimunculkan kalangan tertentu adalah sering melahirkan distorsi maksud-maksud baik menjadi sesuatu yang agak miring.Â
Dalam hal ini, jika menggunakan kacamata para ahli, ada kecenderungan sebagian kecil pengguna media sosial sulit berpikir lebih proporsional. Namun cenderung membenarkan pendapat politiknya sendiri yang menyebabkan terjadi bias. Mereka berpendapat namun tanpa melakukan eksplorasi informasi agar sikapnya rasional dan lebih netral.
Misalnya, pada akhir Mei 2021 lalu, ketika Puan Maharani mengatakan bahwa pemimpin ke depan adalah pemimpin yang ada di lapangan bukan di sosmed, pendapat yang mengandung kebaikan ini jadi bias.
Pernyataan Puan ini jika dieksplorasi maka diperoleh benang merah bahwa seorang pemimpin harus memiliki kegiatan nyata atau program-program nyata di masyarakat bukan hanya beraktivitas di medsos. Di medsos, bisa saja aktivitas virtual itu belum tentu akan sesuai dengan kenyataan.
Pendapat Puan ini tidak banyak dieksplorasi. Yang justeru berkembang adalah soal popularitas ketokohan seseorang yang follower IG nya jutaan dan terus menerus diblow-up di medsos.
Padahal bukan itu inti persoalannya. Melalui kegiatan yang nyata dan program-program yang riil di masyarakat, hal ini akan memberikan dampak yang lebih baik daripada sekadar mengisi aktivitas identitas virtual yang berada dalam skope dunia maya.
Diakui Puan, memang manfaat dari internet sangat besar untuk komunikasi dan penyebaran informasi. Namun kalau hal ini tidak diimbangi dengan kegiatan yang nyata di lapangan maka akan bersifat semu.
Bias politik dan sulit berpikir untuk lebih proporsional dalam mengeluarkan pendapat juga terlihat ketika Puan turun ke sawah di Yogyakarta bulan November 2021 lalu. Yang kemudian gaduh. Karena kalau menanam padi di saat hujan bisa disamber petir. Demikian yang berkembang di medsos. Sampai sampai tekno.tempo.co membuat tulisan soal ini dengan mewawancari penyuluh pertanian.
Padahal, di lapangan belum tentu terjadi seperti itu. Di video terlihat kalau itu bukan hujan deras yang bisa menimbulkan geledek dan petir. Bahkan sebagian melihatnya selintas hanya seperti embun turun.