Dian Purnomo melakukan wawancara seputar adat kawin tangkap. Narasumber memberi informasi mengenai adat kawin tangkap saat perayaan Wula Poddu, semacam perayaan lebaran yang dilakukan oleh masyarakat Sumba (Ruji, 2023). Dahulu adat kawin tangkap dilaksanakan pada saat perayaan Wula Poddu (Ruji, 2023). Hal tersebut dikarenakan segala kegiatan yang dilakukan selama Wula Poddu dipercaya akan mendapat berkah dari Tuhan.
Semakin digali, semakin membuat penasaran. Dian Purnomo mencari tahu lebih banyak tentang ada kawin tangkap. Beliau mengira jika adat tersebut sudah tak dilakukan lagi, tapi ternyata beliau melihat kejadian kawin tangkap melalui Youtube. Setelah menemukan fakta itu, beliau melakukan riset lebih lanjut.
Diketahui bahwa praktik adat kawin tangkap dilakukan hanya berdasarkan ayah dari perempuan dan pihak laki-laki. Dengan mengawini si perempuan, maka tidak akan lagi yang mengingini perempuan tersebut. Praktik adat yang seakan menimbulkan ketimpangan gender itu pun diangkat sebagai isu atau konflik utama dalam novel Perempuan Yang Menangis Kepada Bulan Hitam.
Penulisan naskah drama oleh Jesy Segitiga dibuat dengan sangat baik. Novel berisi 300 halaman berhasil dikemas sedemikian rupa menjadi naskah drama yang padat namun tetap menjaga inti dari cerita. Jesy menyusun dialog dan narasi sesuai dengan model naskah drama modern yang rapi dan teratur.
Jesy mengakui adanya kesulitan yang dihadapi dalam penulisan naskah drama. Tantangan terbesarnya adalah alihmedia dari novel ke naskah drama. Bukan pertama kalinya Jesy mengalihmediakan suatu karya, namun tantangan dan rintangannya tetap ada.
Pola teks novel dan penokohan disesuaikan menjadi naskah drama yang padu. Pola teks novel biasanya lebih bisa dinikmati tanpa suara, maka dari itu harus ada perubahan agar naskah drama dapat dinikmati dengan suara nyaring. Demikian pula dengan penokohan. Diperlukan pembentukan tokoh yang sesuai dengan bentuk dan alur pementasan.
Adanya banyak tantangan dan rintangan yang dihadapi Jesy tak membuatnya putus asa. Ia benar-benar teliti mendalami segala aspek dan unsur. Dari situlah Jesy mampu menghasilkan naskah drama yang luar biasa.
Penyajian aspek dalam naskah drama bisa dikatakan sudah sangat cukup, mulai dari situasi bahasa dan unsur-unsur alurnya. Narasi mengenai penjelasan situasi disampaikan dengan jelas dan sederhana, sehingga pembaca dapat membayangkan tampilan dari gambaran tersebut. Latar cerita dibuat seperti pada novel yang tak lain dan tak bukan adalah Sumba, tempat asli terjadinya adat kawin tangkap.
Dialog disesuaikan dengan latar cerita. Terdapat banyak campur kode antara bahasa Indonesia dan bahasa Sumba yang terjadi dalam dialog. Ada sedikit kata dalam bahasa Sumba yang akan membingungkan pembaca, namun kalimat lain yang menggunakan bahasa Indonesia cukup membantu pembaca memahami apa yang hendak disampaikan.
Jesy menceritakan adat kawin tangkap melalui narasi dan dialog. Sebagaimana terdapat pada awal naskah yang memberi pengantar mengenai Sumba dan salah satu adat kejamnya; adat kawin tangkap. Dengan memberikan deskripsi tentang keadaan di Sumba, pembaca dapat memahami dan merasakan keadaan yang dijelaskan. Selain itu, emosi yang dirasakan tokoh akibat dari adat tersebut didukung dengan dialog.
Penggambaran situasi dibuat dengan sarana langsung dan sarana tidak langsung. Sarana langsung dapat berupa berita-berita atau pemaparan informasi tentang penyebab suatu kejadian, sementara sarana tidak langsung berupa wujud konkret dari latar cerita dengan bahasa yang khas untuk mengisyaratkan situasi atau keadaan psikologis. Terdapat narasi atau teks petunjuk yang menjelaskan situasi secara eksplisit, ada pula dialog antar-tokoh yang mengungkapkan konflik yang sedang terjadi.