Bagaimana rasanya jika kita dijodohkan secara paksa oleh orang tua? Terlebih lagi ternyata kita dijodohkan pada seseorang yang menginginkan kita karena hawa nafsu semata, hingga berakhir dengan kehormatan kita diambil secara paksa. Membayangkannya saja bisa membuat hati pedih, apalagi bila hal kejam itu benar-benar terjadi.
Magi Diela, perempuan berpendidikan yang menjadi korban adat kawin tangkap. Tanpa tahu-menahu kehormatannya direnggut oleh Leba Ali yang mengatasnamakan adat. Kenyataan pahit lain yang harus ditelan oleh Magi adalah fakta bahwa Ama Bobo (Ayah) lah yang 'menjual'nya kepada Leba Ali. Saat hendak memperjuangkan keadilan untuk dirinya sendiri, Magi justru terjebak karena orang-orang di kampungnya akan menganggapnya melawan adat dan tidak bisa mendapat jodoh lagi sebab sudah tidak perawan.
Adat kawin tangkap adalah adat yang berasal dari Sumba. Adat ini dilaksanakan dengan cara menculik seorang perempuan untuk dinikahkan. Pada dasarnya, adat ini dilakukan untuk mempererat hubungan kekerabatan antara dua keluarga, jadi pihak laki-laki seharusnya memilih perempuan yang sudah berkerabat dekat. Selain itu, adat kawin tangkap ini dilakukan pihak laki-laki yang belum ada kesepakatan antara dua keluarga mengenai belis atau mahar yang diajukan, sehingga harus 'menculik' pihak perempuan agar tidak pihak perempuan tidak menerima tawaran pihak lain. Pelaksanaan adat kawin tangkap ini seharusnya dilakukan atas persetujuan kedua pihak.
Sayangnya, orang-orang yang berpikiran jahat justru memanfaatkan adat kawin tangkap untuk memuaskan hawa nafsu sendiri. Tradisi yang seharusnya menjadi kekayaan budaya, justru dijadikan kedok untuk melakukan sesuatu yang buruk. Karena tindak jahat dari oknum tertentu, adat kawin tangkap dianggap sebagai kegiatan yang melanggar hak-hak perempuan.
Sempat beredar sebuah video yang menjadi bukti tindakan kawin tangkap secara paksa. Berdasarkan artikel yang dirilis CNN Indonesia (2023), dalam video tersebut diperlihatkan seorang perempuan yang diculik oleh sekumpulan pria dan dibawa dengan mobil pick up. Kejadian itu sudah jelas merupakan tindak kriminal dan pelanggaran hukum.
Adat kawin tangkap sudah dilencengkan oleh oknum-oknum jahat. Awalnya adat itu memiliki tujuan yang masuk akal, tapi hal itu justru disalahartikan. Masyarakat Sumba yang masih setia pada adatnya itu akhirnya menganggap remeh tindakan menyimpang yang terjadi tanpa mereka sadari.
Seperti yang dilakukan Leba Ali terhadap Magi. Leba Ali 'menculik' Magi secara paksa karena sudah mengincarnya sejak lama. Magi pun diperkosa oleh Leba Ali dan Magi harus menahan beban akib yang melanda dirinya. Terlebih lagi, orang-orang di kampung Magi tak ada yang mendukung, mereka malah menjelekkan Magi karena sudah tidak perawan.
Terdapat sebuah naskah drama yang mengangkat isu tentang penyimpangan adat kawin tangkap dari Sumba. Naskah drama tersebut berjudul Perempuan Yang Menangis Kepada Bulan Hitam yang ditulis oleh Jesy segitiga. Menceritakan tentang malangnya nasib Magi Diela sebagai penyimpangan adat yang merenggut kehormatannya itu.
Naskah drama Perempuan Yang Menangis Kepada Bulan Hitam diadaptasi dari novel dengan judul yang sama. Penulis asli novel tersebut adalah Dian Purnomo, kemudian dinaskahteaterkan oleh Jesy Segitiga. Ditinjau dari arsip dokumentasi pra pementasan teater dari mahasiswa PBSI UMK Kudus yang diunggah pada website isuu.com, bisa diketahui tujuan dibuatnya naskah drama tersebut adalah untuk kepentingan pementasan drama yang dilakukan mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UMK.
Baik Dian Purnomo dan Jesy Segitiga bisa dikatakan sebagai penulis yang luar biasa. Dian Purnomo selaku penulis novel perempuan yang sudah membuat beberapa cerita lain sebelumnya. Karya lain dari Dian Purnomo yaitu Angel of Mine, Kita dan Rindu yang Tak Terjawab. Perempuan yang Menunggu di Lorong Menuju Laut, dan beberapa karya lain yang dapat dilihat dalam laman goodreadsnya. Sementara itu, kemahiran Jesy Segitiga dalam menulis cukup terlihat dalam penulisan naskah teater Perempuan Yang Menangis Kepada Bulan Hitam ini. Karya-karya Jesy lainnya masih belum bisa ditemukan, namun mungkin di masa yang akan datang kita dapat menunggu karya-karya luar biasa lainnya atas nama Jesy Segitiga.
Pada hasil wawancara yang dilakukan untuk arsip pra-pementasan teater mahasiswa PBSI UMK, Dian Purnomo menjelaskan alasan dibuatnya novel Perempuan Yang Menangis Kepada Bulan HItam. Ide untuk menulis novel tersebut didapatkan setelah Dian Purnomo melakukan residensi kepenulisan ke Sumba pada tahun 2019. Awalnya, Dian Purnomo akan menulis mengenai isu-isu agraris di Sumba, bahkan beliau sudah mengantongi datanya. Namun, beliau mengubah pikirannya karena terus dibayangi perihal adat kawin tangkap yang terjadi.
Dian Purnomo melakukan wawancara seputar adat kawin tangkap. Narasumber memberi informasi mengenai adat kawin tangkap saat perayaan Wula Poddu, semacam perayaan lebaran yang dilakukan oleh masyarakat Sumba (Ruji, 2023). Dahulu adat kawin tangkap dilaksanakan pada saat perayaan Wula Poddu (Ruji, 2023). Hal tersebut dikarenakan segala kegiatan yang dilakukan selama Wula Poddu dipercaya akan mendapat berkah dari Tuhan.
Semakin digali, semakin membuat penasaran. Dian Purnomo mencari tahu lebih banyak tentang ada kawin tangkap. Beliau mengira jika adat tersebut sudah tak dilakukan lagi, tapi ternyata beliau melihat kejadian kawin tangkap melalui Youtube. Setelah menemukan fakta itu, beliau melakukan riset lebih lanjut.
Diketahui bahwa praktik adat kawin tangkap dilakukan hanya berdasarkan ayah dari perempuan dan pihak laki-laki. Dengan mengawini si perempuan, maka tidak akan lagi yang mengingini perempuan tersebut. Praktik adat yang seakan menimbulkan ketimpangan gender itu pun diangkat sebagai isu atau konflik utama dalam novel Perempuan Yang Menangis Kepada Bulan Hitam.
Penulisan naskah drama oleh Jesy Segitiga dibuat dengan sangat baik. Novel berisi 300 halaman berhasil dikemas sedemikian rupa menjadi naskah drama yang padat namun tetap menjaga inti dari cerita. Jesy menyusun dialog dan narasi sesuai dengan model naskah drama modern yang rapi dan teratur.
Jesy mengakui adanya kesulitan yang dihadapi dalam penulisan naskah drama. Tantangan terbesarnya adalah alihmedia dari novel ke naskah drama. Bukan pertama kalinya Jesy mengalihmediakan suatu karya, namun tantangan dan rintangannya tetap ada.
Pola teks novel dan penokohan disesuaikan menjadi naskah drama yang padu. Pola teks novel biasanya lebih bisa dinikmati tanpa suara, maka dari itu harus ada perubahan agar naskah drama dapat dinikmati dengan suara nyaring. Demikian pula dengan penokohan. Diperlukan pembentukan tokoh yang sesuai dengan bentuk dan alur pementasan.
Adanya banyak tantangan dan rintangan yang dihadapi Jesy tak membuatnya putus asa. Ia benar-benar teliti mendalami segala aspek dan unsur. Dari situlah Jesy mampu menghasilkan naskah drama yang luar biasa.
Penyajian aspek dalam naskah drama bisa dikatakan sudah sangat cukup, mulai dari situasi bahasa dan unsur-unsur alurnya. Narasi mengenai penjelasan situasi disampaikan dengan jelas dan sederhana, sehingga pembaca dapat membayangkan tampilan dari gambaran tersebut. Latar cerita dibuat seperti pada novel yang tak lain dan tak bukan adalah Sumba, tempat asli terjadinya adat kawin tangkap.
Dialog disesuaikan dengan latar cerita. Terdapat banyak campur kode antara bahasa Indonesia dan bahasa Sumba yang terjadi dalam dialog. Ada sedikit kata dalam bahasa Sumba yang akan membingungkan pembaca, namun kalimat lain yang menggunakan bahasa Indonesia cukup membantu pembaca memahami apa yang hendak disampaikan.
Jesy menceritakan adat kawin tangkap melalui narasi dan dialog. Sebagaimana terdapat pada awal naskah yang memberi pengantar mengenai Sumba dan salah satu adat kejamnya; adat kawin tangkap. Dengan memberikan deskripsi tentang keadaan di Sumba, pembaca dapat memahami dan merasakan keadaan yang dijelaskan. Selain itu, emosi yang dirasakan tokoh akibat dari adat tersebut didukung dengan dialog.
Penggambaran situasi dibuat dengan sarana langsung dan sarana tidak langsung. Sarana langsung dapat berupa berita-berita atau pemaparan informasi tentang penyebab suatu kejadian, sementara sarana tidak langsung berupa wujud konkret dari latar cerita dengan bahasa yang khas untuk mengisyaratkan situasi atau keadaan psikologis. Terdapat narasi atau teks petunjuk yang menjelaskan situasi secara eksplisit, ada pula dialog antar-tokoh yang mengungkapkan konflik yang sedang terjadi.
Karakter setiap tokoh dibuat benar-benar hidup. Adanya dialog yang penuh emosi sangat mendukung pembentukan karakter pada tokoh. Seperti kesengsaraan yang dirasakan oleh Magi, jahatnya Leba Ali, dinginnya Ama Bobo, kelembutan Ina Bobo, serta ketulusan hati Dangu. Dengan dialog antartokoh yang baik, pembaca dapat membayangkan laku karakter dalam cerita.
Membaca naskah drama Perempuan Yang Menangis Kepada Bulan Hitam yang dibuat oleh Jesy Segitiga merupakan pengalaman yang menyenangkan. Menyelami kisah Magi Diela sekaligus belajar tentang adat yang unik di Indonesia meninggalkan bekas kesan yang campur-aduk. Kekaguman, emosi, hingga rasa penasaran menyelimuti hati saya sebagai pembaca. Semoga ke depannya anak-anak muda dan penulis Indonesia mampu menghasilkan lebih banyak naskah drana yang menghibur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H