Sebuah video ceramah yang menampilkan Gus Miftah baru-baru ini menjadi viral di jagat maya. Dalam video tersebut, ia menyebut seorang penjual es teh dengan kata "goblok". Terdegar agak kasar sehingga hal tersebut memicu reaksi keras dari netizen.Â
Di tengah ramainya diskusi, muncul sebuah respons sederhana namun tajam dari netizen melalui template story di Instagram yang berbunyi: "Mending jualan es teh daripada jualan agama."Â
Bagi penulis ini bukan sekadar kalimat kritik spontan, tetapi mencerminkan kekecewaan yang mendalam terhadap fenomena sosial yang sering terlihat: bagaimana profesi sederhana yang jujur kerap diremehkan, sementara agama---yang seharusnya menjadi pengayom---kadang dijadikan komoditas atau alat manipulasi. Sehingga tergerak pula hati penulis untuk sedikit berbagi pandangan penulis pribadi.
Menjual teh merupakan lambang pekerjaan yang sederhana dan jujur. Penjual teh, dan pekerja kecil lainnya, adalah bagian dari tulang punggung masyarakat yang menopang kebutuhan hidup sehari-hari. Dalam transaksinya, tidak ada kepalsuan atau manipulasi: segelas teh diberikan, harga dibayarkan. Profesi ini jauh dari glamor, tetapi penuh dengan perjuangan.Â
Di tengah badai ekonomi yang menghantam banyak orang, penjual teh adalah bukti nyata bagaimana masyarakat kecil terus bertahan, sekaligus memberikan kontribusi nyata bagi ekosistem sosial.Â
Namun, apa yang terjadi ketika pekerjaan seperti ini diremehkan? Ucapan yang menggambarkan penjual teh dengan kata-kata kasar seperti goblok bukan hanya sekadar penghinaan terhadap individu, tetapi juga cerminan dari bias kelas yang menempatkan profesi tertentu di strata terendah.Â
Ironisnya, ini sering datang dari narasi agama yang seharusnya menempatkan kerja keras sebagai sesuatu yang mulia.Â
Di sisi lain, "jualan agama" mengacu pada penggunaan agama sebagai komoditas atau alat manipulasi. Fenomena ini tidak asing, terutama ketika agama digunakan untuk kepentingan politik, ekonomi, atau popularitas pribadi. Agama, yang seharusnya menjadi panduan moral, malah disalahgunakan untuk menciptakan hierarki baru yang sering kali melanggengkan ketidakadilan sosial.
Apa yang terjadi ketika agama dijadikan alat? Nilai-nilai luhur agama itu sendiri tergerus. Alih-alih menjadi pembebas, agama justru berubah menjadi beban bagi masyarakat kecil, yang dipaksa untuk membayar "biaya spiritual" yang tidak mereka pahami.Â
Ucapan keras yang merendahkan penjual teh mengingatkan kita pada salah satu bentuk ini: bagaimana narasi agama kadang melupakan keberpihakannya kepada mereka yang berada di bawah.
Ali Syariati, salah satu pemikir Islam modern yang paling berpengaruh, menyatakan bahwa agama sejati selalu berpihak pada kaum tertindas. Dalam pandangannya, agama adalah kekuatan pembebasan yang membantu manusia melawan ketidakadilan dan eksploitasi. Konsep ini ia ungkapkan dalam istilah mustadh'afin, yang merujuk pada kaum lemah dan tertindas.
Bagi Syariati, agama harus menjadi daya dorong bagi perubahan sosial yang adil. Ia mengkritik keras penyalahgunaan agama oleh elit yang menjadikannya alat untuk menindas atau mengontrol masyarakat.Â
Dalam konteks ini, menghina penjual teh atau pekerja kecil lainnya menunjukkan pengabaian terhadap prinsip dasar agama itu sendiri. Sebab, pekerjaan jujur yang dilakukan dalam kondisi sulit adalah simbol keteguhan moral yang jauh lebih bernilai daripada retorika agama tanpa tindakan nyata.
Pandangan Buya Hamka, seorang ulama dari Minangkabau yang tentu pemikirannya sangat dekat dengan penulis juga relevan dalam menanggapi hal ini. Dalam bukunya Tasawuf Modern, Buya Hamka menekankan pentingnya keikhlasan dalam setiap pekerjaan.Â
Menurutnya, setiap pekerjaan yang dilakukan dengan jujur dan penuh tanggung jawab, tidak peduli betapa sederhananya, memiliki nilai yang tinggi di mata Tuhan.
Buya Hamka juga berulang kali mengingatkan bahwa agama seharusnya mengangkat martabat manusia, bukan menjatuhkannya. Beliau menulis bahwa salah satu tujuan utama agama adalah untuk memupuk kasih sayang dan penghormatan terhadap sesama, terutama mereka yang berada dalam kondisi sulit. Merendahkan orang karena pekerjaannya adalah bentuk kesombongan yang bertentangan dengan inti ajaran Islam.
Dalam konteks ini, seorang penjual teh yang bekerja dengan jujur telah menjalankan prinsip ketulusan yang dihormati oleh agama. Sebaliknya, menjadikan agama sebagai sarana untuk merendahkan orang lain atau mencari keuntungan pribadi justru melanggar nilai-nilai yang diajarkan Islam.
Pandangan Pramoedya Ananta Toer menambah kedalaman tulisan ini. Dalam karya-karyanya, seperti Bumi Manusia, Pram menekankan bahwa kerja adalah esensi dari manusia itu sendiri. Ia percaya bahwa manusia dinilai bukan dari kelas sosial atau statusnya, tetapi dari kejujuran dan kontribusinya terhadap masyarakat melalui kerja.
Pramoedya berulang kali mengangkat narasi tentang kaum kecil---petani, buruh, pedagang---yang menjadi korban eksploitasi oleh mereka yang lebih kuat. Dalam pandangannya, menghina pekerjaan sederhana adalah bentuk dehumanisasi, sebuah upaya merampas martabat seseorang yang sejatinya terikat pada kerja keras mereka.
Dalam konteks ucapan Gus Miftah, pandangan Pram mengingatkan kita bahwa seorang penjual teh, dengan kerja kerasnya, adalah simbol keteguhan manusia dalam menghadapi ketidakadilan. Mereka yang bekerja jujur adalah penjaga nilai-nilai kemanusiaan, sementara mereka yang merendahkan pekerjaan tersebut menunjukkan keterasingan dari realitas sosial dan moral.
Ungkapan "Mending jualan es teh daripada jualan agama" adalah kritik tajam terhadap praktik yang merendahkan profesi jujur dan sederhana. Ini adalah pengingat bahwa agama harus menjadi alat pembebasan dan pengangkat martabat manusia, bukan sarana untuk merendahkan mereka yang bekerja keras.
Baik melalui pandangan Ali Syariati maupun Buya Hamka ataupun Pram, kita diingatkan bahwa agama sejati adalah agama yang berpihak pada kaum lemah. Seorang penjual teh yang bekerja dengan jujur telah menjalankan nilai-nilai luhur ini lebih baik daripada mereka yang menjadikan agama sebagai alat manipulasi.
Untuk Gus Miftah, kritik ini adalah kesempatan untuk kembali memperkuat pesan-pesan dakwahnya dengan menampilkan Islam sebagai agama yang ramah, penuh kasih, dan berpihak pada semua golongan. Dengan begitu, ia dapat kembali merebut hati umat yang mengharapkan pembimbing moral yang rendah hati dan bijaksana.Â
"Karena nila setitik, rusak susu sebelanga"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H