Bagi Syariati, agama harus menjadi daya dorong bagi perubahan sosial yang adil. Ia mengkritik keras penyalahgunaan agama oleh elit yang menjadikannya alat untuk menindas atau mengontrol masyarakat.Â
Dalam konteks ini, menghina penjual teh atau pekerja kecil lainnya menunjukkan pengabaian terhadap prinsip dasar agama itu sendiri. Sebab, pekerjaan jujur yang dilakukan dalam kondisi sulit adalah simbol keteguhan moral yang jauh lebih bernilai daripada retorika agama tanpa tindakan nyata.
Pandangan Buya Hamka, seorang ulama dari Minangkabau yang tentu pemikirannya sangat dekat dengan penulis juga relevan dalam menanggapi hal ini. Dalam bukunya Tasawuf Modern, Buya Hamka menekankan pentingnya keikhlasan dalam setiap pekerjaan.Â
Menurutnya, setiap pekerjaan yang dilakukan dengan jujur dan penuh tanggung jawab, tidak peduli betapa sederhananya, memiliki nilai yang tinggi di mata Tuhan.
Buya Hamka juga berulang kali mengingatkan bahwa agama seharusnya mengangkat martabat manusia, bukan menjatuhkannya. Beliau menulis bahwa salah satu tujuan utama agama adalah untuk memupuk kasih sayang dan penghormatan terhadap sesama, terutama mereka yang berada dalam kondisi sulit. Merendahkan orang karena pekerjaannya adalah bentuk kesombongan yang bertentangan dengan inti ajaran Islam.
Dalam konteks ini, seorang penjual teh yang bekerja dengan jujur telah menjalankan prinsip ketulusan yang dihormati oleh agama. Sebaliknya, menjadikan agama sebagai sarana untuk merendahkan orang lain atau mencari keuntungan pribadi justru melanggar nilai-nilai yang diajarkan Islam.
Pandangan Pramoedya Ananta Toer menambah kedalaman tulisan ini. Dalam karya-karyanya, seperti Bumi Manusia, Pram menekankan bahwa kerja adalah esensi dari manusia itu sendiri. Ia percaya bahwa manusia dinilai bukan dari kelas sosial atau statusnya, tetapi dari kejujuran dan kontribusinya terhadap masyarakat melalui kerja.
Pramoedya berulang kali mengangkat narasi tentang kaum kecil---petani, buruh, pedagang---yang menjadi korban eksploitasi oleh mereka yang lebih kuat. Dalam pandangannya, menghina pekerjaan sederhana adalah bentuk dehumanisasi, sebuah upaya merampas martabat seseorang yang sejatinya terikat pada kerja keras mereka.
Dalam konteks ucapan Gus Miftah, pandangan Pram mengingatkan kita bahwa seorang penjual teh, dengan kerja kerasnya, adalah simbol keteguhan manusia dalam menghadapi ketidakadilan. Mereka yang bekerja jujur adalah penjaga nilai-nilai kemanusiaan, sementara mereka yang merendahkan pekerjaan tersebut menunjukkan keterasingan dari realitas sosial dan moral.
Ungkapan "Mending jualan es teh daripada jualan agama" adalah kritik tajam terhadap praktik yang merendahkan profesi jujur dan sederhana. Ini adalah pengingat bahwa agama harus menjadi alat pembebasan dan pengangkat martabat manusia, bukan sarana untuk merendahkan mereka yang bekerja keras.
Baik melalui pandangan Ali Syariati maupun Buya Hamka ataupun Pram, kita diingatkan bahwa agama sejati adalah agama yang berpihak pada kaum lemah. Seorang penjual teh yang bekerja dengan jujur telah menjalankan nilai-nilai luhur ini lebih baik daripada mereka yang menjadikan agama sebagai alat manipulasi.