"...tetapi di Borneo aku mendapati sebuah durian matang di atas tanah, dan memakannya di luar rumah, seketika aku menjadi pemakan durian yang fanatik."
Pujian yang diberikan Wallace terhadap durian, bahkan dinilainya memberikan sensasi baru dan setimpal dengan perjalanan jauhnya ke Timur. Dia juga menjelaskan, saat melakukan perjalanan di kampung Dayak, buah ini ketika masih mentah bisa diolah menjadi sayur.
Kisah menarik lainnya bisa kita dapatkan dari tesis The Stinky King a Social and Cultural History of The Durian (2011) garapan Andrea Montanari.
Dia menjelaskan ada beberapa catatan masa lalu, khususnya yang terekam pada abad ke-15 oleh pedagang Italia bernama Nicolo de Conti. Pedagang ini disebut kerap bepergian dari Venesia ke Champa (Vietnam).
De Conti menjelaskan tentang "duriano," buah yang tumbuh di "Sciamuthera (Sumatera)". Dia menggambarkan rasa buah itu seperti keju.
Lalu Tome Pires dari Portugis yang tinggal di Malaka antara tahun 1512 dan 1515 Â dan terkenal dengan buku mahakarya Suma Oriental, menjelaskan "duryes" tidak hanya lezat tetapi juga menawan, memiliki rasa yang kaya dan eksotis.
Catatan-catatan masa lalu tersebut bisa digunakan untuk membangun citra durian sebagai komoditas unggulan. Ini khususnya untuk orang-orang Eropa modern yang berwisata ke Asia Tenggara, dan mereka tidak menyukainya.
Tidak sedikit orang-orang Eropa di era kiwari, baik itu penulis, presenter televisi atau pengulas makanan yang menilai bahwa durian adalah buah yang buruk karena aromanya yang menyengat dan rasanya yang dianggap tidak enak. Meski begitu, faktanya buah ini tetap menjadi buah unggulan dan favorit dibanding buah lain di Indonesia khususnya, dan di Asia Tenggara pada umumnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H