Mohon tunggu...
Priyadi
Priyadi Mohon Tunggu... Lainnya - Menyukai buku

Baru belajar nulis

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Orang Eropa Masa Lalu Menilai Durian

22 Januari 2024   21:44 Diperbarui: 30 Januari 2024   00:05 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Durian buah asal wilayah Asia Tenggara yang disematkan sebagai raja dan ratu buah (Sumber ilustrasi: Unsplash/JIM TEO)

Jika aku harus memilih dua buah yang mewakili kesempurnaan di kelasnya, aku tentu saja memilih durian dan jeruk sebagai raja dan ratu buah (Alfred Russel Wallace)

Hingga detik saya membuat tulisan ini, saya tak bisa menilai mana buah durian yang enak atau tidak. Apakah yang enak itu yang manis ada pahitnya, apakah yang manis dan lumer di mulut, apakah yang berwarna jingga atau kuning cerah, atau lainnya.

Saya baru benar-benar bisa memakan dan menelan durian sekitar satu tahun terakhir ini.

Sebelumnya, saya tidak suka durian. Aromanya membuat perut mual dengan pelan. Jika terus bertahan dengan aroma tersebut dan tidak segera menghindar, maka bisa memicu muntah.

Musababnya yakni, ketika kecil dulu saya pernah memakan buah yang disebut sebagai raja buah ini. Tetapi, saya muntah-muntah sehingga berujung trauma.

Baru dalam sekitar satu tahun terakhir, saya kembali mencoba memakan durian karena ditraktir oleh atasan saya. Buah durian yang dibeli adalah buah yang dipanen dari kebun-kebun di Tuntang, daerah antara Salatiga-Ungaran.

Awalnya saya ragu.

Tapi kemudian saya mencoba mengambil satu biji dari buah yang dibuka, memasukkan ke dalam mulut sambil menahan nafas, mengklamutinya, lalu menelannya.

Secara bertahap, saya mencoba menikmati buah ini. Dan pada tahap selanjutnya, sepertinya lidah, perut dan bagian tubuh saya yang lain mampu beradaptasi. Termasuk hidung.

Tentu saja sampai saat ini masih ada orang-orang yang tidak suka durian. Saya menulis ini bukan untuk mempengaruhi agar orang-orang tersebut mau belajar menyukai buah yang bernama latin Durio zibethinus.

Saya hanya terkejut dan terpukau, bahwa rupanya buah ini telah memiliki eksistensi setidaknya selama lebih dari 1300 tahun di Nusantara.

Satu bukti nyata bagaimana durian ini telah menjadi buah favorit sejak lama adalah relief di candi Borobudur. Durian menjadi salah satu buah sesembahan untuk raja, termasuk juga dibawa untuk diperjualbelikan sejak abad ke-8 Masehi.

Bagi saya, hal itu cukup memukau. Namun, saya masih ragu mengapa kemudian buah ini disebut sebagai "raja buah."

Jangan-jangan, ini hanya semacam strategi penjualan agar durian tetap dianggap buah istimewa sehingga harganya bisa terus didongkrak.

Baru kemudian ketika saya membaca buku Sejarah Nusantara (The Malay Archipelago), penyematan "raja buah" pada durian rupanya telah dilakukan sejak lama.

Buku ini terbit pertama kali pada 1869, ditulis oleh naturalis Inggris Alfred Russel Wallace. Dia melakukan perjalanan dari satu pulau ke pulau lain di Indonesia dari 1854 hingga 1862.

Dalam penjelajahannya di Borneo (Kalimantan), Wallace menjelaskan secara rinci tentang pengalamannya terhadap durian. Dari mulai Orangutan yang kerap terlihat memakan buah ini, cara memanennya, hingga pujiannya terhadap rasa durian.

Sebelum Wallace memuji buah ini, dia mengutip catatan masa lalu. Dia menulis:

"Seorang penjelajah atau pengelana tua Linschott, yang menulis di tahun 1599, mengatakan: ..."Buah ini memiliki rasa yang sangat enak melebihi rasa buah-buah lainnya di dunia."

Wallace, naturalis yang terkenal dengan pencipta Garis Wallace itu, juga memiliki kasus yang mirip dengan orang-orang yang awalnya tidak suka durian.

Dia pertama kali mencoba buah tersebut di Malaka. Ketika durian dibawa masuk ke rumah, dia tidak tahan dengan aromanya.

"...tetapi di Borneo aku mendapati sebuah durian matang di atas tanah, dan memakannya di luar rumah, seketika aku menjadi pemakan durian yang fanatik."

Pujian yang diberikan Wallace terhadap durian, bahkan dinilainya memberikan sensasi baru dan setimpal dengan perjalanan jauhnya ke Timur. Dia juga menjelaskan, saat melakukan perjalanan di kampung Dayak, buah ini ketika masih mentah bisa diolah menjadi sayur.

Kisah menarik lainnya bisa kita dapatkan dari tesis The Stinky King a Social and Cultural History of The Durian (2011) garapan Andrea Montanari.

Dia menjelaskan ada beberapa catatan masa lalu, khususnya yang terekam pada abad ke-15 oleh pedagang Italia bernama Nicolo de Conti. Pedagang ini disebut kerap bepergian dari Venesia ke Champa (Vietnam).

De Conti menjelaskan tentang "duriano," buah yang tumbuh di "Sciamuthera (Sumatera)". Dia menggambarkan rasa buah itu seperti keju.

Lalu Tome Pires dari Portugis yang tinggal di Malaka antara tahun 1512 dan 1515  dan terkenal dengan buku mahakarya Suma Oriental, menjelaskan "duryes" tidak hanya lezat tetapi juga menawan, memiliki rasa yang kaya dan eksotis.

Catatan-catatan masa lalu tersebut bisa digunakan untuk membangun citra durian sebagai komoditas unggulan. Ini khususnya untuk orang-orang Eropa modern yang berwisata ke Asia Tenggara, dan mereka tidak menyukainya.

Tidak sedikit orang-orang Eropa di era kiwari, baik itu penulis, presenter televisi atau pengulas makanan yang menilai bahwa durian adalah buah yang buruk karena aromanya yang menyengat dan rasanya yang dianggap tidak enak. Meski begitu, faktanya buah ini tetap menjadi buah unggulan dan favorit dibanding buah lain di Indonesia khususnya, dan di Asia Tenggara pada umumnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun