Jika aku harus memilih dua buah yang mewakili kesempurnaan di kelasnya, aku tentu saja memilih durian dan jeruk sebagai raja dan ratu buah (Alfred Russel Wallace)
Hingga detik saya membuat tulisan ini, saya tak bisa menilai mana buah durian yang enak atau tidak. Apakah yang enak itu yang manis ada pahitnya, apakah yang manis dan lumer di mulut, apakah yang berwarna jingga atau kuning cerah, atau lainnya.
Saya baru benar-benar bisa memakan dan menelan durian sekitar satu tahun terakhir ini.
Sebelumnya, saya tidak suka durian. Aromanya membuat perut mual dengan pelan. Jika terus bertahan dengan aroma tersebut dan tidak segera menghindar, maka bisa memicu muntah.
Musababnya yakni, ketika kecil dulu saya pernah memakan buah yang disebut sebagai raja buah ini. Tetapi, saya muntah-muntah sehingga berujung trauma.
Baru dalam sekitar satu tahun terakhir, saya kembali mencoba memakan durian karena ditraktir oleh atasan saya. Buah durian yang dibeli adalah buah yang dipanen dari kebun-kebun di Tuntang, daerah antara Salatiga-Ungaran.
Awalnya saya ragu.
Tapi kemudian saya mencoba mengambil satu biji dari buah yang dibuka, memasukkan ke dalam mulut sambil menahan nafas, mengklamutinya, lalu menelannya.
Secara bertahap, saya mencoba menikmati buah ini. Dan pada tahap selanjutnya, sepertinya lidah, perut dan bagian tubuh saya yang lain mampu beradaptasi. Termasuk hidung.
Tentu saja sampai saat ini masih ada orang-orang yang tidak suka durian. Saya menulis ini bukan untuk mempengaruhi agar orang-orang tersebut mau belajar menyukai buah yang bernama latin Durio zibethinus.