Mohon tunggu...
Priyadi
Priyadi Mohon Tunggu... Lainnya - Menyukai buku

Baru belajar nulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Obituari Abdul Hadi WM: Tentang Puisi, Tuhan, dan Petani

19 Januari 2024   11:26 Diperbarui: 19 Januari 2024   11:29 444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Unsplash.com/Sandy Zebua

Persis setelah subuh tadi, pengeras masjid di kejauhan berbunyi. Ada kabar orang meninggal. Tentu, akan ada kesedihan yang terejawantah pada setiap kabar perpisahan seperti itu.

Akan ada yang menangis, bisa jadi sambil sesenggukan. Juga bakal ada yang sedih, tapi tak mau menunjukkannya karena mencoba tegar pada setiap takdir kepastian.

Saya bertanya kepada Bapakku yang duduk tepekur di ruang tamu, itu yang meninggal warga desa mana, karena suara pengeras tadi lindap dibawa angin? Bapakku menjawab pendek: desa sebelah.

Ada tiga desa yang berbatasan dengan desaku. Aku tak mendapat informasi desa yang mana. Yang jelas jika desa sebelah, berarti itu tak terlalu jauh dari desaku.

Namun tak lama setelah itu, ketika pagi suram datang digelayuti mendung yang hitam, seorang kawan mengabarkan kematian yang lain: Abdul Hadi WM.

Bagiku, nama ini dekat meski jauh. Ia telah menjadi bagian dari biografi hidupku. Meski aku tak pernah berjumpa dengannya, buku Madura, Luang Prabhang karyanya pernah ku baca.

Esai-esai garapan Abdul Hadi WM yang memiliki kejelian dalam pembahasan beraroma sufistik, juga pernah ku baca.

Memang, saya tidak terlalu intens menjumpa tulisan-tulisan sastrawan-budayawan ini. Namun, entah mengapa nama Abdul Hadi Widji Muthari dengan mudah kuingat. Mungkin karena nama itu terasa begitu dekat.

Sedekat apa? Saya sendiri tidak bisa mengukurnya. Tapi mengingat dekat, Abdul Hadi WM pernah menulis puisi Tuhan, Kita Begitu Dekat. 

Kita bisa menyimak rangkaian kalimat puitis yang tegas dari Sang Penyair:

Tuhan,

Kita begitu dekat

Sebagai api dengan panas

Aku panas dalam apimu

 

Tuhan,

Kita begitu dekat

Seperti kain dengan kapas

Aku kapas dalam kainmu

 

Tuhan,

Kita begitu dekat

Seperti angin dan arahnya

 

Kita begitu dekat

 

Dalam gelap

kini aku nyala

dalam lampu padammu.

Puisi ini bertahun 1979, jauh sebelum saya lahir. Tapi membaca puisi ini kembali tetap menjadikan diri dekat.

Bisa jadi ini hanya semacam tafsir personal pada sebuah puisi yang dianggap memiliki daya religiositas. Orang lain, mungkin akan memiliki tafsir yang berbeda.

Begitu pula dengan puisi Abdul Hadi yang lain: Nyanyian Seorang Petani. Saya menganggap puisi ini memiliki tingkat kedekatan yang tinggi pada realitas yang tersembunyi.

Berilah kiranya yang terbaik bagiku

tanah berlumpur dan kerbau pilihan

bajak dan cangkul

biji padi yang manis

 

Berilah kiranya yang terbaik

angin mengalir

hujan menyerbu tanah air

bila masanya buahnya kupetik

ranumnya kupetik

rahmat-Mu kuraih

Ketika melihat Bapakku tepekur di ruang tamu, saya tahu betul ada hal yang mengganjal dalam hatinya.

Ini karena dia tidak bisa pergi ke ladang sebab jalanan licin, cuaca mendung tidak bersahabat, dan tubuhnya yang belum selesai sepenuhnya dari sakit.

Meski berangkat ke ladang atau ke sawah tidak perlu absen sidik jari seperti pekerja kantoran, tapi sepertinya sesal yang ada dalam diri Bapakku lebih tebal dibanding sesal tidak berangkatnya pekerja kantoran.

Dan sebagai seorang petani desa, betapapun pertanian modern telah berkembang dan mampu menghitung perkiraan keuntungan-kerugian hasil panen, takdir utama mereka gantungkan pada rahmat Tuhan. Memetik ranumnya panenan untuk selanjutnya meraih rahmat Tuhan.

Apa pun kondisi panenan itu.

Petani adalah pekerjaan dalam ketidakpastian. Menanam adalah hal mudah, merawat adalah hal yang pelik, dan memaneh adalah hal yang melelahkan.

Semudah apa pun menanam, sepelik apa pun merawat dan selelah apa pun memanen, sebagian besar petani lawas seperti Bapakku, memiliki keyakinan bahwa tanaman punya keterhubungan dan kepekaan spiritualitas dengan Sang Pencipta.

Dengan tanaman yang tidak bisa "berkomunikasi", maka bentuk komunikasi petani mesti mendekat kepada yang "memiliki" tanaman itu: Tuhan.

Dan Abdul Hadi WM menjelaskan kepelikan yang dekat itu dengan puitis.

Selamat jalan Sang Penyair Sufistik. Di desaku, pagi ini mendung terus menggelayut, entah akan berlangsung sampai kapan. Aku mengingat bait bertama Bunga Gugur dari puisimu:

Gerimis pecah berderai

seperti airmataku

Bunga lepas dari tangkai

gugur dan layu

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun