Ketika melihat Bapakku tepekur di ruang tamu, saya tahu betul ada hal yang mengganjal dalam hatinya.
Ini karena dia tidak bisa pergi ke ladang sebab jalanan licin, cuaca mendung tidak bersahabat, dan tubuhnya yang belum selesai sepenuhnya dari sakit.
Meski berangkat ke ladang atau ke sawah tidak perlu absen sidik jari seperti pekerja kantoran, tapi sepertinya sesal yang ada dalam diri Bapakku lebih tebal dibanding sesal tidak berangkatnya pekerja kantoran.
Dan sebagai seorang petani desa, betapapun pertanian modern telah berkembang dan mampu menghitung perkiraan keuntungan-kerugian hasil panen, takdir utama mereka gantungkan pada rahmat Tuhan. Memetik ranumnya panenan untuk selanjutnya meraih rahmat Tuhan.
Apa pun kondisi panenan itu.
Petani adalah pekerjaan dalam ketidakpastian. Menanam adalah hal mudah, merawat adalah hal yang pelik, dan memaneh adalah hal yang melelahkan.
Semudah apa pun menanam, sepelik apa pun merawat dan selelah apa pun memanen, sebagian besar petani lawas seperti Bapakku, memiliki keyakinan bahwa tanaman punya keterhubungan dan kepekaan spiritualitas dengan Sang Pencipta.
Dengan tanaman yang tidak bisa "berkomunikasi", maka bentuk komunikasi petani mesti mendekat kepada yang "memiliki" tanaman itu: Tuhan.
Dan Abdul Hadi WM menjelaskan kepelikan yang dekat itu dengan puitis.
Selamat jalan Sang Penyair Sufistik. Di desaku, pagi ini mendung terus menggelayut, entah akan berlangsung sampai kapan. Aku mengingat bait bertama Bunga Gugur dari puisimu:
Gerimis pecah berderai
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!