Mohon tunggu...
Priyadi
Priyadi Mohon Tunggu... Lainnya - Menyukai buku

Baru belajar nulis

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Menjadi Pengawas Partisipatif dalam Pemilu

3 Desember 2023   19:10 Diperbarui: 8 Desember 2023   11:47 691
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Memasukan surat suara pemilu. (Sumber: Unsplash.com)

Pertengahan tahun lalu, ketua Bawaslu Rahmat Bagja mengatakan bahwa lembaganya kekurangan personel. Komentar itu muncul terkait banyaknya tenaga honorer di banyak wilayah yang melepas jabatannya.

Lebih dari itu, sebenarnya jajaran pengawas pemilu khususnya di tingkat kecamatan dan desa memang terkesan sedikit. Untuk satu kecamatan, ada tiga Panwaslu Kecamatan yang bertugas, didukung oleh beberapa staf. Untuk satu desa, hanya ada satu Panwas Kelurahan/Desa (PKD) tanpa staf.

Kita bisa membayangkan: satu desa hanya satu PKD. Dia memiliki kewajiban mengawasi semua tahapan pemilu, mengawasi kegiatan non-tahapan, mengawasi penyelenggara pemilu (jajaran KPU), mengawasi peserta pemilu, mengawasi puluhan calon legislatif (caleg) di daerah pemilihannya, serta mengawasi calon DPD.

PKD juga masih memiliki kewajiban untuk melakukan kerja pencegahan, termasuk sosialisasi aturan pemilu. Mereka juga memiliki keharusan administratif seperti membuat laporan secara berkala sebagai bukti kinerja, dilengkapi foto atau video.

Dan ingat, masih ada aktivitas media sosial yang di dalamnya berhamburan berbagai macam informasi, termasuk pertengkaran politik, hoaks, atau bahkan mungkin saling menghina dan memfitnah antar peserta pemilu atau pendukungnya.

Peraturan Pemilu tentang Sosialisasi

Jika beberapa waktu lalu ada beberapa video viral yang menunjukkan atribut partai atau caleg yang terpasang serampangan di tempat publik, keluhan ditumpahkan kepada Bawaslu. Mungkin itu boleh saja, tetapi juga tidak kemudian memojokkan bahwa Bawaslu tidak berfungsi.

Sebenarnya ada mekanisme pemasangan atribut tersebut. Dari sudut pandang waktu, maka ada masa bernama sosialisasi peserta politik. Ini sebelum masa kampanye dimulai secara resmi pada 28 November. Perihal tersebut bisa dilihat pada Pasal 79 PKPU 15/2023.

Di pasal tersebut, peserta pemilu diperbolehkan memasang alat peraga sosialisasi (APS) bendera dengan nomor urutnya. Peserta pemilu juga diperbolehkan melakukan pertemuan di internal.

Apa yang tidak diperbolehkan? Menyebar Bahan Kampanye (BK) kepada umum, memasang Alat Peraga Kampanye (APK) di tempat umum dan media sosial. Penjelasan ini ada di Pasal 70 dan 71. Larangan lainnya adalah, dalam sosialisasi kepada umum tidak boleh melakukan ajakan untuk memilih.

Di lapangan, terkadang ada APS berasa seperti APK. Ini yang kerap menimbulkan kebingungan dan perdebatan. Masyarakat dapat melaporkan pelanggaran yang dilakukan peserta pemilu kepada Bawaslu di jajarannya, misalnya di Bawaskab, Panwaslu Kecamatan atau PKD.

Tentang Kampanye

Kampanye mulai dilakukan pada 28 November 2023 hingga 10 Februari 2024. Rapat umum seperti yang biasa kita lihat melibatkan banyak orang; dengan melakukan konvoi atau berkumpul di lapangan terbuka, baru boleh dilakukan pada 21 Januari hingga 10 Februari 2024. Jadwal ini bisa dilihat dalam lampiran PKPU 15/2023.

Sebelum tanggal 21 Januari 2024, peserta pemilu diperbolehkan memasang APK dan BK, juga boleh melakukan pertemuan terbatas dan tatap muka. Pihak yang ingin melakukan kampanye dengan metode pertemuan, harus memiliki surat izin dari kepolisian.

Aturan tempat pemasangan APK dan BK ini diatur di Pasal 70 dan 71 pada PKPU 15/2023. Pemasangan yang melanggar aturan, bisa dilaporkan kepada jajaran Bawaslu. Muatan materi dalam APK-BK yang melanggar, juga bisa dilaporkan.

Tapi saya agak heran dengan pasal tersebut di atas. Ini karena untuk jenis APK hanya ada tiga yakni reklame, spanduk dan umbul-umbul. Tidak dituliskan baliho di poin tersebut.

Padahal caleg banyak yang memasang baliho. Mungkin baliho dimasukkan dalam klasifikasi reklame. Tapi kalau menurut KBBI, definisi baliho dan reklame itu berbeda.

Lalu tentang kampanye pertemuan tatap muka.

Jika ada dari kita melihat kegiatan kampanye di lingkungan tetangga, boleh saja menanyakan apakah tim atau pelaksana kampanye mereka sudah mendapat izin dari kepolisian. Jika tak berizin, kita bisa melaporkannya kepada jajaran Bawaslu.

Di perdesaan, kasus seperti ini kadang terjadi. Peserta pemilu seperti caleg, mencari celah dengan cara datang di acara kerja bakti atau pertemuan warga. Mereka kemudian melakukan kampanye meski tidak memiliki izin resmi.

Cara seperti itu kerap luput dari pengawasan. Ini membutuhkan keterlibatan masyarakat luas untuk bisa saling berbagi informasi. Caleg yang melakukan kampanye sesuai izin, ada tanggal dan lokasi kampanye. Jika caleg melakukan kampanye di luar jadwal yang diizinkan, maka bisa dijerat Pasal 492 UU Pemilu dengan ancaman hukuman maksimal satu tahun penjara atau denda Rp12 juta.

Eh, jangan lupa! Masih ada lagi yang rawan.

Perangkat desa, anggota Badan Permusyawaratan Dewa (BPD) dan kepala desa tidak boleh ikut kampanye. Kalau ada dari kita yang melihat mereka ikut kampanye, bisa melaporkan ke jajaran Bawaslu.

Kepala desa, BPD atau perangkat desa yang membuat keputusan merugikan atau menguntungkan salah satu pihak, bisa dijerat pidana pemilu. Pasal 490 UU Pemilu menyebutkan hukuman paling banyak satu tahun atau denda Rp12 juta.

Bagaimana dengan Ketuga RT atau RW? Mereka tidak termasuk dalam larangan.

Politik Uang 

Politik uang adalah kutukan bagi Bawaslu. Sejak badan pengawas ini berdiri, masalah politik uang sulit diselesaikan. Membangun sejuta candi kemungkinan lebih mudah dibanding memberantas kebiasaan politik uang.

Ini karena persoalan sudut pandang dan mentalitas.

Jika masyarakat yang memiliki hak pilih, sadar bahwa politik uang adalah hal paling busuk dalam sistem pemilu, maka tidak perlu melakukannya.

Tapi jika masih menganggap "lumayan dapat duit sebagai ganti libur kerja karena hari coblosan," maka masa depan bangsa ini juga tak akan menjanjikan seperti yang diimpikan.

Politik uang itu seperti kita membangun gedung pencakar langit tapi pondasinya dari roti bolu yang sudah busuk dan lumer. Mustahil gedung itu akan berdiri tegak dan bertahan lama secara menakjubkan.

Politik uang masuk dalam pidana pemilu. Pasal 515 UU Pemilu menyebutkan, hukumannya kurungan penjara maksimal tiga tahun atau denda Rp36 juta rupiah. Baik yang memberi atau menerima bisa dijerat.

Gotong-royong Mengawasi Pemilu

Ada banyak aturan dalam pemilu yang memerlukan pemahaman lebih lanjut dan komprehensif. Penting bagi kita sebagai masyarakat awam untuk memahaminya. 

Bawaslu sebagai lembaga pengawas juga perlu untuk dibantu pengawasannya. Laporan dugaan pelanggaran kepada Bawaslu biasanya dapat dilakukan di wilayah masing-masing sesuai jajarannya, baik itu di Bawaskab, Panwaslu Kecamatan atau PKD.

Tapi apakah laporan itu akan ditindak-lanjuti? Jika bukti formil dan materil dari sebuah laporan itu memenuhi, maka jajaran Bawaslu wajib untuk menindak-lanjuti laporan tersebut. Jika tidak, mereka bisa dijerat Pasal 543 UU Pemilu dengan ancaman kurungan penjara dua tahun atau denda Rp24 juta.

Penting untuk mengingat kata filusuf Frans Magnis Suseno bahwa "Pemilu bukan untuk memilih yg terbaik, tapi untuk mencegah yang terburuk berkuasa."

Begitu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun