Siapa yang perlu disalahkan?
Menurut social contract theory, stereotip sendiri bukanlah produk dari sistem kognitif individu sendiri melainkan produk kolektif dan ideologi. Banyak argumen menyatakan bahwa stereotip adalah hal yang ada dengan sendirinya di alam dan telah terprogram di otak kita. Hal ini merupakan kesalahan naturalistic fallacy di mana konstruksi sosial sangat kuat pengaruhnya dan dapat menggesernya. Di abad ke-21 ini, media berekspansi sangat cepat melalui televisi dan media sosial via internet.Â
Media memiliki influental power untuk mengatur niat, opini, kepercayaan, dan sikap. Mereka mengelompokkan apa yang akan dikonsumsi oleh kita berdasarkan fenomena bubble effect. Bubble effect adalah fenomena di mana manusia akan dikelompokkan berdasarkan yang mereka sukai dan apa yang cocok untuk mereka.Â
Hal ini bertujuan untuk memberikan kemudahan bagi industri periklanan dengan mempermudah pengiklan menyasar pasarnya. Selain itu, bubble effect juga membuat orang semakin attach dengan media sosial ini karena manusia akan dikelompokkan dengan yang sepemikiran dengan mereka. Fenomena echo chamber ini membuat kita 'fragmented while connected' di mana kita terbatas secara intelektual dan cenderung membuat stigma dan stereotip atas apa yang tidak sepemikiran dengan kita.
 Media juga acap kali melakukan half-truth dan membuat stigma berlebih, contohnya adalah ketakutan atas pesawat jatuh. Padahal, pesawat adalah moda transportasi yang secara statistik paling minim tingkat kecelakaannya, namun media menggembor-gemborkan pesawat jatuh sebagai sesuatu hal yang kerap terjadi (availability heuristic).Â
Selain media, yang patut kita salahkan adalah mereka (social group, institusi, organisasi, dan individu) yang melayangkan stereotip tersebut (indirect personal responsibility).(11) Stereotip, prasangka, dan rasisme telah digunakan sebagai alat untuk keuntungan ekonomi atau sosial suatu kelompok terhadap kelompok lain.Â
Kelompok/individu yang melayangkan premis stereotip kepada yang lain memiliki burden of proof untuk kompensasi dan membenarkan klaim tersebut. Stereotip ini harus diberantas hingga di level pemikiran kita sendiri dengan menganggap bahwa sifat/karakteristik seseorang secara individu belum tentu dapat menggambarkan karakteristik suatu kelompok secara menyeluruh.Â
Hal ini dikarenakan stereotip menimbulkan self-fulfilling prophecy (pygmallion effect) di mana apa yang kita pikirkan baik di level individu maupun masyarakat dapat memengaruhi sikap dan tindakan kita terhadap orang/kelompok lain. Sebaliknya, tindakan kita juga akan dipengaruhi oleh bagaimana orang/kelompok lain membuat stigma kepada kita.
Dengan menggunakan template berita stereotip tersebut, tentunya media mendapatkan keuntungan dan popularitas daripada menonjolkan prestasi-prestasi mereka yang menjadi dampak stereotip tersebut. Akan tetapi, perlu kita kaji lebih dalam lagi, sudahkah kita menganggap individu yang kita temui sebagai jati diri individu seutuhnya atau kita masih melakukan stigma?
OLEH: Fadhlan Dira dan Faiz Amirullah