Mohon tunggu...
Kertas Putih Kastrat (KPK)
Kertas Putih Kastrat (KPK) Mohon Tunggu... Dokter - Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM IKM FKUI 2022

Kumpulan intisari berita aktual // Ditulis oleh Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM IKM FKUI 2022 // Narahubung: Jansen (ID line: jansenjayadi)

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Stereotip: Kontemplasi Manusia dalam Memahami Dunia

13 November 2020   20:06 Diperbarui: 13 November 2020   20:12 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Chicago employment law attorneys at LAD Law Group PC. Fighting Race Discrimination: Our Chicago Employment Lawyer Will Protect Your Rights [Internet]. 2015 [cited 2020Nov13]. Available from: www.ladlawgroup.com

"Orang jawa itu munafik", "cina itu pelit", "cewek itu harus lemah lembut!'. Sering kali kita mendengar ucapan-ucapan seperti itu dalam keseharian kita, bukan? Stereotip telah menjadi hegemoni tersendiri dalam masyarakat kita. 

Narasi yang sering dilantunkan orang terdekat kita saat kita kecil seperti "Kamu jangan main sama orang etnis X ya, nanti kamu Y" membuat persepsi kita terhadap sesuatu menjadi tak kritis dan holistik dalam menilai sesuatu. 

Stereotip sendiri menurut Cambridge Dictionary berarti seperangkat gagasan yang dimiliki orang tentang seperti apa seseorang atau sesuatu itu, terutama gagasan yang salah.(1) Stereotip ini sendiri tak ubahnya seperti udara, ada tetapi tak terlihat. Dalam konteks kehidupan sosial, kita semua pasti memiliki suatu karakteristik tertentu untuk menjadi objek stigma.(2) Stigma dan stereotip yang melekat pada diri kita memang harus kita abaikan tetapi sangat sulit untuk melakukan hal tersebut.

Dalam beberapa dekade terakhir, para ilmuwan menemukan bahwa efek dari stereotip yang melekat pada diri kita memiliki dampak yang signifikan terhadap performa kita. Dampak ini disebut dengan stereotype threat.(2,3,4) Dalam studi tersebut, orang berkulit hitam dan kaukasoid diuji. Mereka yang berkulit hitam mengalami performa di bawah rata-rata ketika tes tersebut dilabeli dengan tes diagnostik kecerdasan (dalam kondisi stereotype threat). 

Di sisi lain, ketika tes tersebut non-diagnostik, performa antara keduanya relatif sama. Hal ini mengacu pada rasa takut melakukan sesuatu yang akan menimbulkan persepsi negatif terhadap kelompok yang mengalami stigmatisasi dimana kita menjadi anggotanya.(2,4) Akibatnya, dampak false beliefs dapat timbul terhadap kemampuan yang ada pada diri kita. Pada spektrum yang lain, stereotip digunakan sebagai validasi penindasan, eksploitasi, kekerasan, kekuatan dan hegemoni korupsi secara struktural.(4,5) Lantas, bagaimana stereotip bisa mengakar sangat kuat pada manusia?

Stereotip: konsekuensi revolusi kognitif manusia

Otak manusia telah diasah oleh proses seleksi biologis untuk mengidentifikasi dan mengelola berbagai tantangan reproductive fitness, termasuk ancaman dan peluang yang diberikan oleh kehadiran dan tindakan orang lain.(2,6) Tingginya kemampuan kognitif manusia merupakan 'ultimate perk' yang membedakan kita dengan organisme lain sekaligus membuat kita sangat dependen dari segi kehidupan sosial. Revolusi kognitif yang terjadi sekitar 70.000 tahun yang lalu membuat otak kita mengembangkan kemampuan berbahasa, berimajinasi, kesadaran yang memperkokoh premis manusia sebagai makhluk sosial. 

Framework evolusi tersebut memberikan dasar argumen yang kuat, terintegrasi, dan generatif untuk memahami proses-proses ini dan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar pada studi tentang stereotip. Mengapa kita melakukan stereotip? Kita melakukannya sebagai upaya otak kita untuk memprediksi secara cepat oportunitas dan ancaman yang akan terjadi. Otak kita membuat persepsi akan lingkungan berdasarkan apa yang dia lihat; kita bahkan tidak dapat melihat dunia tanpa memfilternya melalui lensa asumsi kita.(7,8)

Stereotip adalah cara utama otak kita menyederhanakan dunia sosial kita; mengurangi jumlah pemrosesan berpikir yang harus kita lakukan ketika kita bertemu orang baru.(7) Dalam perspektif evolusi, stereotip berguna untuk identifikasi individu sebagai anggota dari suatu social group lalu menyimpulkan bahwa individu tersebut memiliki sifat yang identik dengan social group tempatnya berada. 

Pemahaman secara historis manusia ialah stereotip berfungsi untuk menyederhanakan dunia bagi kognitif (information processing). Dengan melihat individu tertentu sebagai anggota khas dari suatu kelompok, seseorang tidak perlu terlibat dalam upaya yang lebih rumit dan panjang untuk memahami dia sebagai individu yang unik.(9) 

Dengan mengelompokkan orang ke dalam kelompok dengan berbagai sifat yang diharapkan membantu kita menavigasi dunia tanpa berkontemplasi oleh banyaknya input informasi. Faktanya, stereotip sendiri muncul sebagai fungsi dari proses konstruksi sosial yang dibangun, bukan sesuatu yang bawaan (innate).(10) Apabila konstruksi sosial ini mengakar sangat kuat pada manusia, lantas siapa yang perlu disalahkan?

Siapa yang perlu disalahkan?

Menurut social contract theory, stereotip sendiri bukanlah produk dari sistem kognitif individu sendiri melainkan produk kolektif dan ideologi. Banyak argumen menyatakan bahwa stereotip adalah hal yang ada dengan sendirinya di alam dan telah terprogram di otak kita. Hal ini merupakan kesalahan naturalistic fallacy di mana konstruksi sosial sangat kuat pengaruhnya dan dapat menggesernya. Di abad ke-21 ini, media berekspansi sangat cepat melalui televisi dan media sosial via internet. 

Media memiliki influental power untuk mengatur niat, opini, kepercayaan, dan sikap. Mereka mengelompokkan apa yang akan dikonsumsi oleh kita berdasarkan fenomena bubble effect. Bubble effect adalah fenomena di mana manusia akan dikelompokkan berdasarkan yang mereka sukai dan apa yang cocok untuk mereka. 

Hal ini bertujuan untuk memberikan kemudahan bagi industri periklanan dengan mempermudah pengiklan menyasar pasarnya. Selain itu, bubble effect juga membuat orang semakin attach dengan media sosial ini karena manusia akan dikelompokkan dengan yang sepemikiran dengan mereka. Fenomena echo chamber ini membuat kita 'fragmented while connected' di mana kita terbatas secara intelektual dan cenderung membuat stigma dan stereotip atas apa yang tidak sepemikiran dengan kita.

 Media juga acap kali melakukan half-truth dan membuat stigma berlebih, contohnya adalah ketakutan atas pesawat jatuh. Padahal, pesawat adalah moda transportasi yang secara statistik paling minim tingkat kecelakaannya, namun media menggembor-gemborkan pesawat jatuh sebagai sesuatu hal yang kerap terjadi (availability heuristic). 

Selain media, yang patut kita salahkan adalah mereka (social group, institusi, organisasi, dan individu) yang melayangkan stereotip tersebut (indirect personal responsibility).(11) Stereotip, prasangka, dan rasisme telah digunakan sebagai alat untuk keuntungan ekonomi atau sosial suatu kelompok terhadap kelompok lain. 

Kelompok/individu yang melayangkan premis stereotip kepada yang lain memiliki burden of proof untuk kompensasi dan membenarkan klaim tersebut. Stereotip ini harus diberantas hingga di level pemikiran kita sendiri dengan menganggap bahwa sifat/karakteristik seseorang secara individu belum tentu dapat menggambarkan karakteristik suatu kelompok secara menyeluruh. 

Hal ini dikarenakan stereotip menimbulkan self-fulfilling prophecy (pygmallion effect) di mana apa yang kita pikirkan baik di level individu maupun masyarakat dapat memengaruhi sikap dan tindakan kita terhadap orang/kelompok lain. Sebaliknya, tindakan kita juga akan dipengaruhi oleh bagaimana orang/kelompok lain membuat stigma kepada kita.

Sumber gambar: career.iresearchnet.com
Sumber gambar: career.iresearchnet.com
Self-fulfilling prophecy tersebut memberikan narasi refleksi singkat mengenai siapa yang bersalah dalam sejarah panjang stereotip ini. Media memang sering membentuk standar destruktif yang dibentuk oleh media terhadap stereotip kita, seperti "Orang berkulit hitam adalah si pelaku kriminal," "Islam adalah teroris," dan "Wanita selalu dilecehkan," adalah lagu lama yang selalu dilantunkan. 

Dengan menggunakan template berita stereotip tersebut, tentunya media mendapatkan keuntungan dan popularitas daripada menonjolkan prestasi-prestasi mereka yang menjadi dampak stereotip tersebut. Akan tetapi, perlu kita kaji lebih dalam lagi, sudahkah kita menganggap individu yang kita temui sebagai jati diri individu seutuhnya atau kita masih melakukan stigma?

OLEH: Fadhlan Dira dan Faiz Amirullah

Referensi

1. STEREOTYPE | meaning in the Cambridge English Dictionary [Internet]. [cited 2020 Nov 6]. Available from: here

2. The terrifying power of stereotypes -- and how to deal with them [Internet]. [cited 2020 Nov 6]. Available from: here

3. Stereotypes | Simply Psychology [Internet]. [cited 2020 Nov 6]. Available from: here

4. Twenty Years of Stereotype Threat Research: A Review of Psychological Mediators [Internet]. [cited 2020 Nov 6]. Available from: here

5. Stereotype Accuracy: A Displeasing Truth | Psychology Today [Internet]. [cited 2020 Nov 6]. Available from: here

6. Sng O, Williams KEG, Neuberg SL. Evolutionary Approaches to Stereotyping and Prejudice. In: Sibley CG, Barlow FK, editors. The Cambridge Handbook of the Psychology of Prejudice [Internet]. Cambridge: Cambridge University Press; 2016 [cited 2020 Nov 6]. p. 21--46. Available from: here

7. Theory of predictive brain as important as evolution -- Prof. Lars Muckli | Horizon: the EU Research & Innovation magazine | European Commission [Internet]. [cited 2020 Nov 6]. Available from: here

8. Scientists show how we start stereotyping the moment we see a face - The Washington Post [Internet]. [cited 2020 Nov 6]. Available from: here

9. Human brain is predisposed to negative stereotypes, new study suggests | Science | The Guardian [Internet]. [cited 2020 Nov 6]. Available from: here

10. Rethinking Racial Stereotyping, Prejudice, and Discrimination [Internet]. [cited 2020 Nov 6]. Available from: here

11. Novoustinos M, Walker I. The Construction of Stereotypes within Social Psychology: From Social Cognition to Ideology. Theory Psychol [Internet]. 698 Oct 6 [cited 2020 Nov 6];8(5):629--52. Available from: here

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun