Dengan suara sedikit bergetar, Rhein bersuara lirih di sebelah telingaku sambil memeluk lebih erat.
“Doakan aku, . Doakan semoga bisa menjalani dengan baik.”
Aku eratkan pelukan. Cemara yang terpasang di kepalanya terguncang di wajah sebelah kananku.
“Benarkah kamu akan melakukannya, Rhein? Tidakkah engkau pikir sekali lagi?” tanyaku tak menjawa permintaannya. Aku belum yakin kalau Rhein, sahabatku benar benar melakukan yang dalam logikaku tidak bisa aku terima.
“Sudah, aku sudah yakin dan siap apapun yang terjadi.” Jawab Rhein masih dengan getar dan isak.
Rhein melepaskan pelukan. Dengan jemariku, aku hapus tetes tetes bening di ujung matanya.
“Udah, jangan menangis. Aku selalu doakan dirimu, Rhein. Sekarang bukan waktunya untuk menangis.
Cepatlah masuk. Penghulu sudah siap di sana.”
--***---
Sudah hampir setahun, Rhein tidak ada kabar. Sejak kepindahan ke tempat suaminya. Handphone Rhein jarang sekali aktif. Dan seminggu ini, dia seperti hilang. Di media sosialpun tidak ada update an. Status terakhirnya adalah pas hari pernikahan dirinya. Pernikahan dengan seorang duda dan beranak satu, seorang perempuan seumuran anak SMU. Kawan kawan yang lainpun heran. Tidak bisa berkomunikasi.
Aku melangkah keluar dari sebuah minimarket saat sekilas kulihat sosok yang terasa tidak asing, baru turun dari mobil. Sendiri, sedang mobil masih menyala. Seseorang di belakang stir diam. Dingin
“Rhein, kemana saja kamu?” Aku menghambur ke arah Rhein.
Rhein yang kaget, langsung memeluk diriku. Setelah cipika cipiki, Ku pandangi Rhein dengan seksama.
. “ Kamu kok kurus banget, sih?”
“ Ah, biasa saja kok.” Rhein tersenyum.
DINNN… DINNN
Suara klakson mobil, membuyarkan rasa surprise yang ada. Rhein, reflek menoleh ke arah mobil.
“Iya, ya sebentar…” Suara Rhein terdengar tergesa. “Retno, aku belanja dulu, ya..kamu pulang dulu silahkan, kapan kapan kita ketemu lagi.”
Tanpa menunggu jawabanku, Rhein langsung masuk ke minimarket. Dengan rasa terkejut dan heran, aku memandangi punggung Rhein. Tidak suka kah dia bertemu denganku? Sehingga aku merasa seperti disuruh pergi. Tidak, tidak mungkin Rhein seperti itu. Dia sahabat terbaikku. Dan sebaliknya. Aku perlahan berjalan menuju motorku yang terparkir di sebelah mobil yang Rhein tumpangi. Mataku menuju orang di balik stir. Sebagai orang yang punya sopan santun, aku berusaha menyapa seseorang yang bersama dengan orang yang sangat aku kenal. Meski hanya sebatas anggukan saja. Apalagi, bila dia adalah suaminya. Di mana aku juga tidak sebentar pernah bertemu saat hari pernikahannya. Tapi yang ku jumpai hanya sebidang wajah dingin. Tanpa senyum.
--***---
Dua tahun sejak pertemuan dengan Rhein, aku tidak pernah bertemu lagi. Hingga sebuah pesan pendek terbaca di handphone ku.
Retno, cepetan ke rumahku, kita akan ke tempat Rhein. –MISYEL—
Ada resah tiba tiba hinggap di hatiku. Rhein, ada apa dengan Rhein? Kenapa yang SMS malah Misyel, yang juga teman dari Rhein dan tentu temanku juga. Aku segera meluncur ke rumahnya yang berjarak sekitar sepuluh menit naik mobil.
“Ada apa, Mis? Ada apa dengan Rhein?”
Aku langsung bertanya dengan nada khawatir. Misyel sedang tertunduk sambil menatap layar handphonenya. Mendengarku datang, dia mendongakan kepala. Matanya merah. Basah. Dan suara tangisnya seketika terdengar sembari memelukku.
“Rhein… Rhein…Retno, Rheiiinnn..” Tangis meledak lebih keras.
“Rhein kenapa, Mis? Kenapa?”
“Rhein, meninggal. Meninggalkan kita tanpa pernah berkata kata sejak dia nikah. ..”Suara Misyel tidak begitu jelas berbaur dengan tangisan.
Aku terhenyak. Kaaku. Otakku terasa hang. Tidak, aku tidak percaya Rhein sudah meninggal.
“Jangan bercanda, Mis!” kataku pada Misyel. Yang aku tahu itu perkataan bodoh. Tidak mungkin Misyel berbohong. Apalagi dengan tangisan seperti itu.
“Bacalah SMS dari adik Rhein ini.”
Aku hanyak bisa menarik nafas panjang. Berusaha mencari oksigen yang rasanya tidak bisa ku dapati saat benar benar yakin kabar meninggalnya Rhein.
--**--
Pemakaman sudah selesai. Aku dan Misyel hendak pamitan pada keluarga. Saat bersalaman dengan Zahra, Zahra menarik tanganku.
“Kak Retno, ini ada sesuatu untuk Mbak, saya temukan, di dalam tas pribadi Kak Rhein. Di situ tersebut nama Kak Retno. Sepertinya Kak Retno juga berhak untuk tahu. Tapi mohon kalau sudah selesai, kakak kembalikan ya, ke aku, bukan ke Mas Darso, suaminya.” Tangan Zahra masuk ke kantong baju lalu keluar dengan sebuah buku. Seperti buku diary. Akupun menerimanya. Bersama Misyel aku pulang.
Aku dan Misyel membaca buku yang Zahra serahkanke aku. Sebuah Diary. Diary seorang Rhein. Membuka lembar pertama, tertulis tanggal pernikahan.
25 Juni
Hari ini, adalah pernikahanku. Sebuah keputusan yang sebenarnya berat sebenarnya. Di mana aku mempertaruhkan seluruh hidupku kepada sseorang. Sebuah fase baru yang harus aku jalani. Bukan masalah status, ataupun wajah, ataupun harta. Aku menikah karena Allah, ingin menggenapkan Dien demi kesempurnaan menjadi hamba. Berkahilah kami Ya Allah.
Lembar selanjutnya berisi tentang hal hal keceriaan para pengantin. Hingga sampai bulan ke dua pernikahan. Tulisan Rhein terbaca menyesakan nafasku.
“Ya, Allah, inikah ujianMU? Aku harus menghadapi suami yang sering memukulku. Selalu menyalahkanku. Dan juga anaknya yang dengan lancang menyuruhku seperti pembantu?
Aku melipat dahi.Di tulisan berikutnya, jelas terlihat semua curahan hatinya yang merasa merana dengan sikap dan perlakukan suami dan anak tirinya. Ah, Rhein..
Tidak, Aku tak akan katakana pada mas Darso dan Nely bahwa aku telah divonis kanker oleh dokter. Apalagi, aku harus membantu mas Darso, agar bisnisnya bangkit dari kebangkrutan. Seburuk buruknya suamiku, dia tetap suamiku, yang harus aku bantu. Jikapun dia tidak bisa jadi imam, aku yang harus maju untuk mengingatkan dan tetap membantu dalam kehidupan ini. Inilah hidup. Bukan hanya tentang harta dan tercukupi kebutuhan. tapi juga pengabdian akan pada sebuah komitmen hidup Biar Allah yang Tahu. Biar Allah yang semua yang terjadi pada diriku. Aku tak mau kelurga tahu, apapun perlakuan suamiku pada ku. Aku tak mau kehormatan dirinya jatuh di mata keluargaku. Sebagai istri aku harus menjaga izzah suami. Semoga Allah member hidayah pada suamiku dan anak tiriku. Ah, jadi teringat dengan Retno juga Misyel. Maafkan aku sahabat, aku tidak bisa lagi seperti dulu. Di mana kita bercanda dan berbagi cerita. Tugas hidupku telah menyita waktuku dari kalian. Semoga kalian selalu dalam kesehatan dan kebahagiaan. Aku mencintai kalian.
Ya Allah, raga ini rasanya tidak kuat. Selain harus menerima ujian sakit dariMU, juga harus menerima perih pukulan dari suamiku. Kuatkanlah diri hamba.
Mataku langsung panas, Air langsung tumpah dari mataku. Rhein, ternyata dengan pernikahan, dirimu lebih menderita. Tapi,masih saja engkau sembunyikan dari orang lain. Seperti kebiasaanmu dari dulu. Aku hanya bisa membatin dan melayang ke masa yang kulalui bersama Rhein. Ku lihat Misyel pun sama denganku.
‘Rhein.. selamat jalan.. semoga engkau tenang di samping Allah..”
=========
Tulisan ini spontan, terisnpirasi dari status mbak Dee Daveenar .. yang merupakan true stoery
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H