“Rhein kenapa, Mis? Kenapa?”
“Rhein, meninggal. Meninggalkan kita tanpa pernah berkata kata sejak dia nikah. ..”Suara Misyel tidak begitu jelas berbaur dengan tangisan.
Aku terhenyak. Kaaku. Otakku terasa hang. Tidak, aku tidak percaya Rhein sudah meninggal.
“Jangan bercanda, Mis!” kataku pada Misyel. Yang aku tahu itu perkataan bodoh. Tidak mungkin Misyel berbohong. Apalagi dengan tangisan seperti itu.
“Bacalah SMS dari adik Rhein ini.”
Aku hanyak bisa menarik nafas panjang. Berusaha mencari oksigen yang rasanya tidak bisa ku dapati saat benar benar yakin kabar meninggalnya Rhein.
--**--
Pemakaman sudah selesai. Aku dan Misyel hendak pamitan pada keluarga. Saat bersalaman dengan Zahra, Zahra menarik tanganku.
“Kak Retno, ini ada sesuatu untuk Mbak, saya temukan, di dalam tas pribadi Kak Rhein. Di situ tersebut nama Kak Retno. Sepertinya Kak Retno juga berhak untuk tahu. Tapi mohon kalau sudah selesai, kakak kembalikan ya, ke aku, bukan ke Mas Darso, suaminya.” Tangan Zahra masuk ke kantong baju lalu keluar dengan sebuah buku. Seperti buku diary. Akupun menerimanya. Bersama Misyel aku pulang.